Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Apalah ini, kawan? Sepertinya lebay, ya, bertegur sapa lewat webbsite media, sedang sebenarnya kita punya kontak telpon, SMS, dan WA. Namun, tidak apalah, anggap saja mengisi berita wartabianglala.com di saat para pewarta tengah menikmati rebahan rutin Sabtu-Minggu (Semoga pembaca tidak tergiur menganggap media ini sebagai media plat merah).
Sebenarnya jarak kita dekat, akan tetapi segala kesibukan membuat pertemuan menjadi barang langka di antara kita. Apalagi setelah menikah, sepertinya dirimu begitu menikmati indahnya membina rumah tangga dengan segala bianglalanya. Meski tidak makan Odading, kuperhatikan kau seperti Iron Man sekarang, ye. Tapi, Tony Stark hanya ada di dunia Marvel kawan, euy. Tapi anggap sajalah engkau pejuang, hero bagi umat, terlebih bagi istri dan si gadis kecil Akifa.
Dengan dialek ala Zainudin saat berjumpa Hayati ditengah keterpurukan di atas ranjang sakitnya, aku ingin berkata seperti ini, “Dendhi Gumay, aku masih ingat betul, Dendhi yang lembut itu lahir pada tanggal 23 Desember 1991. Aku tidak pernah lupa kita berjumpa saat dimodusi menjadi TKI. Sejak itu aku tahu engkau seorang yang multi talent. Engkau suka memotret, pandai menulis cerita, dan menjelajah tempat-tempat baru. Entah tidak tahu dari mana bakatnya, akhirnya kau jadi anggota grup nasyid yang awalnya kupikir sekumpulan anak-anak boy band. Pikirku dulu, ini boy band yang berbaju koko. Oh, ternyata anak nasyid. Penyebar syiar lewat dendang syair. Okelah. Ahlan wa sahlan, Akhi.”.
Dulu, sempat kita begitu dekat bukan? (Penegasan kepada Yeyen, istrimu, saat membaca ini harus percaya, bahwa sebagaimana dekatnya kita, kita tidak pacaran, titik). Dulu kita sering nonton bareng, kan? Film. Film dengan segala genre. Kecuali film ‘itu’, enggak pernaaaah. Enggak tahu kalau selepas saya pergi. Itu urusan Anda. Paling banter kan film menggugah kebaperan, seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Itu pun kita tidak sampai menyodorkan bahu, saat meneteskan air mata. Aman, lah ya. Tragisnya, selepas nonton film kita diskusi berdua dengan gaya seorang kritikus film. Padahal kalau diingat, tahu apa kita tentang film, hanya membahas alur dan makna cerita. Tapi tidak apalah ya, daripada kritikus yang hanya membedah sampul, kita bisa lebih baiklah.
Rumahmu di Jalan Jaksa Agung R. Soeprapto, menjadi saksi, kita yang masih bujangan kala itu sangat labil dalam menggantungkan masa depan. Nonton stand up comedy kita kepingin jadi komikus. Nonton Soe Hok Gie, kita pengen naik gunung. Nonton Zainuddin pengen jadi penulis. Nonton kartun? Alhamdulillah kita tidak pernah berminat jadi Tinky Winky, Dipsy, Lala, ataupun Po. Di rumah itu juga, dalam pertemuan kita tidak pernah sekalipun melewatkan pembahasan perihal pendamping idaman. Asyik.
Begitu maha kagumnya, tatkala dirimu berkomitmen mengambil pekerjaan sebagai tenaga kependidikan di sebuah sekolah swasta Islami. Dendhi yang kritis itu bertransformasi menjadi seorang yang santun, dalam ucap juga lakunya. Dendhi yang flamboyan itu begitu aktif dengan dakwahnya. Alhamdulillah. Barakallah. Lewat sebuah postingan tercetus kalimat yang sepertinya sudah menjadi motto hidupmu sekarang, it’s good to be a important people, but more important to be a good people.
Aku masih ingat, Dendhi bergabung bersama grup nasyid Serelo Voice sejak tahun 2015. Dari awalnya menjadi operator musik hingga naik pegang mic. Memang musik tidak asing bagimu. Karena sejak di bangku sekolah berbagai genre musik engkau tekuni, kembali lagi kelabilan seorang bujang membuatmu nyaman disebut anak band.
“Hanya saja bagi saya nasyid bukan sekedar musik, tapi salah satu media dalam bersyiar dan berdakwah. wallahu’alam!” katamu kala itu, saat melihat langsung proses latihan di markas besar, rumah Mr. Muhammad Hatta (sebutlah dia Murobbi).
Ingatkan saya Dendh, sudah menuliskan 2 lagu yang booming di ruang keluarga personil masing-masing. Wadidauu.
Berkecimpung di sekolah dasar tidaklah mudah kawan. Saya pernah menjajal dan akhirnya gagal. Walau saya yakin, saat ini kita sama-sama berjuang di jalan edukasi, dengan cara yang tidak sama.
“Menjadi tenaga kependidikan tak pernah terbayangkan oleh saya, jalannya begitu sulit untuk dijelaskan. Tapi satu yang saya yakini, rencana Allah Subhanahu wa ta’ala itu memang yang terbaik.” Ini katamu saat sharing tentang pekerjaan di masa kedekatan itu.
Dalam surat ini, aku tidak perlu bertanya kabar, bukan? Di akun media sosialmu aku tahu kau masih hidup dan sedang baik-baik saja. Secuek-cueknya kita, jangan lupa saling mendoakan. Oh, ya, kalau antum masuk Surga, sebut nama saya, ajak saya. Oke, deal.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Lahat, 28 November 2020
Masih Sekanca
Aan Kunchay