Tanah Penghabisan
Karya : Pinasti Z Zuhri
Wak Amat tampak sumringah, tak henti ia manggut-manggut dan menggelengkan kepala, sesekali tangannnya mengusap-usap lampu sepeda motor yang baru ia beli tadi pagi. Ia tak menyangka, rezeki hari ini membuatnya mampu membelikan dua sepeda motor dan satu mobil minibus untuk anaknya, Wak Amat tak menyangka akan meraihnya dengan begitu mudah, karena menabung 50 tahun pun pasti uang Wak Amat masih takkan cukup untuk membeli dua sepeda motor dan mobil itu. Rumah panggung tempat ia tinggal pun sudah direhab, puluhan sak semen, batu bata dan pasir sudah menumpuk di halaman samping rumahnya, beberapa kaleng cat berwarna putih dan biru pun sudah ia dibeli. Rezeki hari ini yang ia nikmati setelah bertahun tahun berangan-angan.
Tak hanya Wak Amat, kehidupan masyarakat lainnya di Desa Barum menjadi berwarna, kerlap kerlip lampu seakan bertepuk tangan melihat kegembiraan mereka. Rumah rumah panggung kayu dan papan sudah jarang terlihat, hampir semua telah berganti dengan tembok beton. Hari ini, Batu bara membuat hidup mereka menjadi sedikit lebih indah, mempunyai sepeda motor, Mobil dan sedikit uang sisa belanja material untuk merehap rumah dan upah tukang.
***
“Pak, besok anak kita mau beli baju dan celana sekolah, uang hasil ibu berdagang tidak cukup,” kata Wak Minah, sang istri yang puluhan tahun sudah, setia menemani Wak Amat dalam suka dan duka.
“Iya, besok bapak ke kebun, mungkin getah getah karet kita sudah berkumpul,“ jawab Wak Amat
“Sekalian, beli beras, ibu juga mau belanja ke kalangan,” kata Wak Minah sambil tersenyum.
Lalu perbincangan pun mengalir, sebuah keluarga yang berbahagia, dua orang anak Wak Amat dan Wak Minah membolak balik buku pelajaran, sementara dua orang anaknya lagi memilah milah biji kopi dalam karung karung yang berjajar di ruang tamu. Bagi masyarakat Desa Barum, bertani adalah nafas mereka, turun temurun tanah diwariskan untuk dijaga dan dirawat agar dapat memberikan manfaat dalam hidup mereka.
***
Secangkir kopi, beberapa potong ubi rebus, menemani pagi di teras rumah Mang Amat, sedikit bekal ia bawa pula di kantong. Pagi ini Wak Amat akan mengunjungi kebun karet, mengambil getah yang telah disadapnya seminggu yang lalu. Ia sengaja menjejakkan kaki telanjangnya di tanah yang masih lembab, di setiap langkahnya, sejuk udara menyapa rongga paru paru. Di kebun di tepian rimba Wak Amat menjemput rezeki untuk hidup keluarganya.Tegur sapa sapa beriring, tatkala Wak Amat bertemu petani lainnya, pagi itu, ramai masyarakat berjalan menuju sawah, kebun, ladang dan kolam ikan mereka, rutinitas setiap hari sebagai petani yang mencintai tanahnya dari para petani yang tak pernah melupakan sebuah pesan dari para pendahulunya.
Tanah yang begitu subur, hingga setiap jengkalnya tak tersela dari anugrah. Sayuran tumbuh menghijau, kebun kopi, durian, hamparan sawah dan kokohnya pohon karet memberi kehidupan dalam sebuah kedamaian batin. Wak Amat berjalan pulang, beberapa ikat daun ketela pohon ditenteng di tangan. Sore menjelang di penghujung pandangan mata, Wak Amat menyeka tubuhnya dengan air sungai yang mengalir dari perbuktian di tengah Rimba, air jernih penawar dahaga yang dapat langsung mengalir ke tenggorokan. Rezeki hari ini cukuplah untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan membeli beras.
***
“Kemana lagi ayah harus mencari uang bu?” tanya Wak Amat, air matanya mengalir melihat istrinya menampi beras yang hanya secanting.
Beberapa tahun yang lalu, rengekan anaknya dan keinginan seorang ayah untuk membahagiakan anaknya harus ditukar dengan puluhan hektar kebun karet. Satu orang anaknya pun harus ia relakan pergi akibat kecelakaan, mobilnya hancur dan dijual dengan harga murah. Tak ada lagi yang tersisa, dua buah sepeda motor tinggalah besi rongsokan, kebun karet pun sudah menjadi kawah bebatuan cadas. Tak ada lagi tempat berburu, pohon pohon telah tumbang Kebun terakhir milik Wak Amat pun sudah dijual, dalam waktu sekejab, para makelar tanah yang beraksi dengan seribu muslihat akhirnya berhasil menyulap kebun Wak Amat menjadi sekantong uang. Debu dan kebisingan kini menjadi kegelisahan yang tiada henti, menutupi semua pandangan mata hati dari sejuta sesal yang takkan pernah mampu mengembalikan lagi kebun dan anaknya yang telah pergi.
Kini Wak Amat hanya bisa memandangi tanah dengan lubang yang menganga, tanah yang kini bukan lagi miliknya. Wak Mat tetap bertahan hidup bersama sebuah kegelisahan, saat debu-debu berterbangan menyelimuti masa depan cucunya yang pada masanya nanti akan menuntut keadilan.
Lahat, 02 Oktober 2020