Lahat, wartabianglala.com – Ketika di bulan Oktober lalu tim Panoramic of Lahat jelajah Cughup Tebing Sialang dan di awal bulan Desember ini kembali melakukan jelajah cughup di desa Pulau Panas, Kecamatan Tanjung Sakti Pumi.
Kali ini jelajah ke cughup Martenang yang berjarak tempuh dari tepi jalan aspal di Desa Pulau Panas menuju lokasi cughup sekitar perjalanan 2 jam berjalan kaki. Secara umum jalanan relatif datar hanya tanjakan terjal dan panjang dari desa hingga Talang Padang Takur yang dikenal dengan Tebing Juk’ir sejauh sekitar 15 menit perjalanan kaki.
Setelah Talang Padang Takur menuju Talang Martenang jalanan relatif datar. Talang Martenang terbagi menjadi beberapa kelompok dangau atau pondok yang berjumlah sekitar 40 dangau. Lalu menuju Talang Bren yang terdapat sekitar 7 dangau dengan menyusuri kebun kopi selanjutnya menyeberangi ayek Melancar dengan lebar sekitar 5 meter dan kedalaman sebatas betis kaki kemudian bertemu dengan Talang Masjid.
Dari Talang Masjid menerobos kebun kopi dan menyusuri tepi ayek Melancar sejauh 500 meter lalu menyusuri dan berjalan di badan sungai Melancar dengan kedalaman sekitar 30 cm sejauh sekitar 300 meter dan Allahu Akbar…. di tengah belantara mengalir deras air jernih keputihan dari ketinggian tebing sekitar 30 meter dan jatuh kebawah membentuk lubuk atau danau dengan luas sekitar 5 meter dan kedalaman sekitar 3 meter trus mengalir ke ayek Melancar.
Sesampainya di cughup Martenang kami berbagi tugas masing-masing. Dalam jelajah ini yang dipimpin langsung Ketua Panoramic of Lahat Mario Andramartik bersama Bayu Purwanto Bendara dan Yandi Satari anggota dipandu oleh Devi Candra Pengelola Wisata Teladas Bahru dan Tardak, petani di Talang Martenang.
Mario dan Bayu menyiapkan kamera dan perlengkapan lainnya untuk pendataan dan dokumentasi termasuk alat GPS sedang Yandi, Devi dan Tardak menyiapkan makan siang dengan menu utama Ikan Ghuas yaitu ikan yang dimasak di dalam bambu. Bambu di ambil dari sekitar cughup lalu dibersihkan dan dimasukkan ikan yang telah dibumbui ke dalam bambu dicampur dengan umbi unji dan terong bulat yang di ambil dari Talang Bren.
Belum juga ikan ghuas masak tetapi hujan telah mengguyur seluruh tubuh kami dan kami pun basah kuyup. Beruntung kami dapat memanaskan diri di api pembakaran ikan ghuas. Ketika ikan ghuas sudah masak dan hujanpun tak kunjung reda sedang waktu telah bergeser ke angka 2 siang maka kami santap ikan ghuas yang masih hangat dengan nasi putih yang telah kami siapkan.
Alhamdulillah setelah kami selesai makan dan hujanpun reda lalu kami sempatkan untuk berfoto ria dengan latarbelakang cughup Martenang. Selanjutnya kami kembali menyusuri badan sungai Melancar menuju arah kembali ke desa tetapi kami berhenti di dangau Tardak karena istri Tardak telah menyiapkan kopi panas untuk kami.
Di dangau ini Tardak bersama istri selain berkebun kopi dan kayu manis juga berternak kambing. Dari 2 kandang kambing ada sekitar 25 ekor kambing dan ketika kami datang seekor kambing baru saja lahir. Kami berlima minum kopi sambil makan gorengan yang telah disiapkan istri Tardak. Kami berada di dangau Tardak sekitar 30 menit karena menunggu hujan reda.
Setelah hujan reda kami berpamitan dengan Tardak dan istri melanjutkan perjalanan pulang kembali ke desa Pulau Panas.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari perjalanan pergi. Alhamdulillah dari dangau Tardak hingga perjalanan ke desa Pulau Panas sampai kembali ke kota Lahat cuaca cerah dan kami kembali ke rumah tanpa kendala yang berarti dan berjuta kenangan indah selama perjalanan pergi dan pulang menjadi memori tersendiri.
Semoga keindahan cughup Martenang dapat dinikmati oleh semua orang lewat tulisan, foto dan video yang kami publikasi. Menurut Tardak yang telah berkebun di Talang Martenang puluhan tahun baru dua kali ini pihak luar desa yang datang, yang pertama dari pihak kota Pagaralam yang memasang patok perbatasan antara Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam yang berada dekat cughup dan yang kedua datang adalah tim Panoramic of Lahat.
(Desa Pulau Panas, 6 Desember 2020, Mario Andramartik)