Pembuka
Saya mengucapkan selamat kepada Wartabianglala karena telah mengadakan Lomba Cipta Puisi dan Cerpen yang bertemakan “Kebudayaan Lahat”. Apresiasi setinggi-tingginya kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lahat yang telah mendukung lomba ini; suatu sikap yang tentunya atas dasar pemikiran bahwa kemampuan masyarakat terhadap sastra dapat meningkatkan intelektulitas dan itu menjadi pendorong dari kemajuan peradaban sebuah daerah.
Pada kesempatan ini, sebelum saya mengurai mengenai karya-karya yang dinilai di dalam perlombaan, saya perlu menyampaikan bahwa dari lomba ini, terlepas apakah para peserta sepenuhnya memenuhi unsur-unsur puisi dan cerpen atau tidak, melalui 6 karya terbaik pada masing-masing kategori menunjukkan sesuatu yang amat menarik: keberadaan Kabupaten Lahat didekati dengan berbagai perspektif. Karya-karya mereka menyuguhkan ke-Lahat-an yang kental. Siapa saja yang membacanya, setidaknya dapat menjejakkan imajinasi ke nuansa tradisi Lahat sekaligus dunia modernnya. Layak kiranya untuk diterbitkan, kemudian menjadi salah satu souvenir pemerintah Kabupaten Lahat dan bahan bacaan di perpustakaan-perpustkaan masyarakat. Dengan catatan, terlebih dahulu melalui proses pengeditan di tangan editor berpengalaman untuk memastikan naskah secara teks dan konteks telah benar-benar rapi.
Mengenai apa yang saya amati selama proses penjurian, yang pada pengembangannya, para pembaca, wabil khusus para peserta, dapat memahami aspek penilaian apa saja yang benar-benar diterapkan, saya akan menyampaikan beberapa catatan secara teknis terkait kekurangan-kekurangan yang ada di dalam karya para peserta dan rekomendasi perbaikan. Ini sangat perlu, sebab di zaman serba terbuka ini, para peserta yang menang dan mereka yang belum mendapatkan kesempatan baik dalam perlombaan, berhak mendapatkan pengetahuan yang memadai agar tidak ada kecurigaan antarpeserta juga kepada juri.
Cerpen
Mula-mula saya ingin mengajak para peserta untuk bersama-sama mengingat bahwa dalam menulis cerita pendek, yang perlu didalami terlebih dahulu adalah bagaimana bercerita, bukan bagaimana menulis cerita. Kemampuan bercerita adalah modal pertama, kemampuan menulis cerita adalah modal kedua. Modal pertama perlu ada, modal kedua perlu ada. Artinya, kemampuan menulis tidak cukup tanpa kemampuan bercerita untuk dapat menulis sebuah cerpen yang menarik. Sebab cerpen atau bahkan novel, kontennya adalah cerita. Jika sebuah cerita tidak dapat mengantarkan cerita yang bercerita, di situlah kegagalannya. Di situlah dapat diketahui bahwa penulisnya belum memiliki kemampuan bercerita.
Berlatih bercerita amat mendesak bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis cerita atau yang lebih dikenal dengan sebutan pengarang. Kita dapat melihat kelihaian bercerita pada para pendongeng di kampung-kampung dalam khazanah kelisanan kita. Tokoh, berikut karakter lengkap dengan tabiatnya; nuansa ruang dan waktu; tegangan dalam adegan-adegan yang dapat dengan segera terbayangkan oleh para pendengar; semuanya dihadirkan walau hanya melalui cerita lisan. Penulisan cerita pun perlu melakukan pendalaman serupa. Kembali lagi, menulis cerita pendek berarti bercerita.
Adapun kemampuan menulis, ianya adalah modal teknis. Jika seseorang memiliki kemampuan bercerita yang baik tanpa kemampuan menulis yang baik, yang terjadi adalah keterbata-bataan. Cerita tidak mengalir karena kurang lihai merangkai kata, membentuk kalimat, membangun paragraf, dan hal-hal lain yang diliputi serta meliputinya. Karenanya dalam penilaian, hal-hal teknis itu menjadi salah satu bagian penting untuk ditelisik dan dibedah sebelum akhirnya dinilai. Ini kiranya mudah dipahami.
Catatan lain, mengingat tema yang ditetapkan panitia, tidak sedikit peserta yang terjebak dalam penautan nama-nama makanan, penautan tempat-tempat yang secara umum berusaha menunjukkan keindahan Lahat, dan produk-produk budaya tidak hadir sebagai bagian dari sebuah cerita. Penautan-penautan itu pada banyak cerpen hanya ditempel-tempelkan, beberapa penautan bahkan benar-benar merusak cerita; menjatuhkan cerpen dari cerita dan mendekatkannya pada narasi-narasi yang bernuansa “iklan yang verbal”.
Tidaklah salah menautkan hal-hal yang memang khas Lahat, karena sebuah karya sastra, sebagaimana dikatakan oleh kritikus dan pengamat sastra kita, A. Teeuw, tidak dapat terlepas dari kebudayaannya yang dapat kita artikan secara sederhana adalah penghadiran hal-hal yang diliputi suatu kebudayaan, dalam lomba ini berarti yang berkaitan dengan Lahat. Tetapi hal yang tidak boleh dilupakan adalah cerita. Para penulis mesti menahan diri untuk tidak memasukkan sesuatu yang tidak ada urusan dengan jalannya cerita, apatah lagi mengabsen lalu selintasan mendeskrisipkan seolah wajib ada padahal mestinya tidak ada.
Lomba menulis bertema memang seringkali menjebak “prasangka peserta” di dalam ketidakbebasan. Mungkin juga ada yang berandai-andai, andai saj lomba tanpa tema akan lebih menyenangkan. Tetapi lomba tanpa batas tema sulit untuk dinilai. Dalam lomba harus ada yang dinilai. Aspek penilaian haru memiliki batas yang jelas agar tidak terjadi bias di sana. Oleh karenanya tema perlu ada, bahkan kalau memungkinkan, genre karya sastra apa yang ditulis juga ditentukan. Misal, membatasi lomba cipta puisi pada puisi lirik atau puisi naratif. Itu memudahkan penilaian karena secara langsung memperkecil kesalahan dengan tegasnya batas aspek penilaian.
Meski begitu, saya melihat ada yang berlebihan di dalam karya beberapa peserta. Tema “Kebudayaan Lahat” diartikan secara sempit, sehingga menjebak diri mereka sendiri dalam karya-karya klise, yang menerangjelaskan kebudayaan hanya dengan meminjam produk kebudayaan, semisal tarian. Padahal kebudayaan memiliki pengertian yang sangat luas. Dapat meliputi begitu banyak hal, termasuk cara orang Lahat duduk dan berdiri; bermain dan tertawa; bertamu dan menerima tamu.
Lebih mengerucut pada urusak teknik penulisan, masih banyak yang, dalam penciptaan kalimat terlalu mendayu-dayu, sehingga membuat pembaca tidak dapat segera masuk di dalamnya. Hal tersebut dikarenakan peserta lebih sering menggunakan kata sifat. Misalkan, indah, mengagumkan, memukau, dan sebagainya. Padahal dalam membuat kalimat di dalam sebuah cerita mestinya penulis lebih mengedepankan kata kerja dan kata benda. Kata kerja untuk bangunan kejadian demi kejadian, kata benda untuk menghadirkan citra atau gambar-gambar. Di sinilah saya pikir perlu mengingatkan, keindahan kata-kata bukan terletak pada pilihan kata yang “berkonotasi” indah, misal bunga, lembayung, bayu, dan semacamnya. Keindahan kata-kata terletak pada ketepatan penempatannya.
Pembentukan paragraf pada gilirannya juga menjadi catatan penting dalam perlombaan ini. Sebuah paragraf terdiri dari satu kalimat utama dan penjelas. Paragraf-paragraf rumpang yang saya temukan di dalam beberapa cerpen disebabkan bertindihannya kalimat utama dalam satu paragraf, bahkan ada yang tidak memiliki kalimat utama sama sekali: hanya berupa penjelasan-penjelasan yang tidak jelas apa yang sesungguhnya dijelaskan. Maka, jelas jadinya bahwa paragraf yang dibangun sebagai bangunan sebuah cerita telah gagal diperankan.
Jika saya berbicara bahwa banyak peserta yang perlu mempelajari lagi cara menulis paragraf, itu mungkin menimbulkan kesan berlebihan. Pelajaran tentang paragraf telah diajarkan sejak SMP, atau mungkin di masa kini telah diajarkan sejak SD. Tetapi nyatanya di lapangan, di tingkat umum, tidak hanya melihat cerpen-cerpen peserta lomba ini, masih banyak yang bermasalah dalam urusan paragraf, sebagaimana masih bermasalahnya dalam urusan penulisan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai “awalan”; penempatan spasi setelah tanda baca; dan penulisan nama tempat, kota, serta sebutan lainnya di kalangan penulis pemula. Karenanya, tidak perlu merasa ada yang salah ketika orang dewasa kembali membuka buku-buku pelajaran menulis di tingkat dasar, terlebih memang untuk kategori SD dan SMP, para peserta masih ada di tahap itu.
Terakhir mengenai cerpen, yang ini dapat juga diperhatikan oleh peserta lomba cipta puisi, adalah bagaimana menentukan judul. Selama ini kita sering mendengar bahwa judul menggambarkan isi. Sekilas seperti tidak ada yang salah dari pernyataan itu, tapi konsepsinya tidak tepat karena menciptakan kebingungan informasi dalam ingatan atau konteks yang ditunjukkan oleh suatu ungkapan dan apa konsekuensi-konsekuensinya. Relasi judul dengan seluruh tulisan adalah pengembangan dari relasi subjek dengan predikat pada sebuah kalimat. Kalimat adalah subjek– predikat; paragraf adalah kalimat utama–kalimat penjelas; tulisan adalah judul– tulisan. Dengan kata lain, yang tepat adalah isi menggambarkan atau menjelaskan judul, bukan sebaliknya.
Puisi
Rata-rata peserta ingin mengisahkan begitu banyak hal tentang Lahat secara historis atau biografis, sayangnya itu ditulis dalam bentuk puisi lirik. Ini menarik untuk disimak. Umumnya, puisi-puisi dengan tema kebudayaan sebuah daerah, dari perspektif apa pun, lebih menggunakan puisi naratif. Hal tersebut dikarenakan karakteristik puisi naratif yang memiliki plot, latar, karakterisasi, konflik, resolusi/konklusi, dan sebagainya dapat menjadi rumah yang apik bagi begitu banyak kisah atau kejadian, termasuk untuk mengaitkan peristiwa historis atau biografis. Menulis dalam bentuk puisi lirik untuk peristiwa historis atau biografis menyeret para penulisa pada karya-karya klise yang penuh dengan ungkapan super-relatif, misal, paling indah di jagat raya.
Pernyataan-pernyataan super relatif di puisi para peserta yang menulis dalam bentuk puisi lirik itu, sebetulnya mudah dipahami dan dimaklumi. Tipikal puisi lirik memang mengekpresikan perasaan personal, bahkan emosional secara musikal (baca: musikalitas puisi). Bagian dari genre puisi yang istilahnya berasal dari kata “lyra”, bahasa Yunani, yang berarti alat musik lira dan “melic” yang berarti melodi ini, tidak berfungsi untuk mengisahkan sesuatu sebagaimana puisi naratif yang karakteristiknya memungkinkan untuk bercerita. Puisi lirik sangat fokus pada subjek, dan dengan itu berusaha menggugah emosi pembaca. Ketika puisi lirik diberi tugas mengisahkan, di situlah sesuatu hal telah salah sejak kata pertama ditulis untuk membentuk sebuah puisi.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa ada hal yang perlu didalami lagi terkait puisi, yakni tentang genre-genre puisi. Apa itu genre? Genre kerap didefinisikan sebagai jenis atau kategori. Dalam literatur, genre kerap dikategorikan mendasar pada konten dan bentuk. Di luar karya sastra, kita dapat melihat ini pada musik: blues, jazz, dangdut, dan sebagainya. Genre juga berfungsi sebagai “kontrak” antara penulis dan pembaca teks (Joliffe 279-280). Dalam kontrak ini, penulis menggunakan seperangkan konvensi yang telah ditetapkan sebelumnya, yang ditentukan oleh tujuan dan audiensi teks yang dimaksud. Pembaca pada gilirannya mengakui penggunaan konvensi dan tahu apa yang patut diharapkan dari teks. Pengetahuan dan pengakuan pembaca terhadap genre memudahkan pemahamannya tentang teks.
Dalam dunia penulis, “peruntukan tulisan” amat penting untuk diperhatikan, tapi di Indonesia, peruntukan-peruntukan tulisan seringkali bias, termasuk dalam teks-teks yang dibacakan anak-anak sekolah dasar dalam lomba baca puisi, yang sesungguhnya tidak memenuhi konvensi sastra anak, sehingga membahayakan dalam aspek perkembangan psikologi. Maka tidak dapat tidak, para penulis kita mesti memahami konvensi, termasuk genre-genre yang ada agar dapat menumbuhkembangkan kesusastraan yang sehat, yang dapat membangun intelektualitas, kehalusan yang berarti mendetail, peradaban, dan tentu saja, agar tidak ada kesalahan pemilihan bentuk puisi untuk suatu tujuan penulisan.
Hal lain, gairah. Puisi adalah karya yang sangat dekat dengan pengalaman batiniah seorang manusia, karenanya puisi perlu menghadirkan gairah. Puisi yang bergairah adalah puisi yang benar-benar memunculkan nuansa emosional (konotasi positif) sehingga pembaca tidak hanya membaca teks yang berisi rangkaian kata lalu selesai, namun bagaimana teks puisi benar-benar seperti aliran listrik yang menyengat para pembaca. Gairah yang dimaksud memang sulit untuk dibuktikan secara konkret, karena ini adalah soalnya ada pada rasa, tapi saya meyakini, para penulis dapat mengukur sendiri kapan ia benar-benar bergairah dan gairah itu menjalar ke puisi yang diciptakannya dan kapan ia hanya sedang merangkai kata yang kemudian disebut puisi tanpa ada gairah apa-apa di sana.
Pada masa lampau, sebut saja di zaman para Pujangga Indonesia, proses penulisan puisi melalui ritual-ritual nyepi atau bertapa. Pertapaan-pertapaan yang dilakukan untuk memastikan kebenaran yang akan ditulis, di dalamnya, gairah terhadap kebenaran itu sendiri. Di hari kita memang kita tidak perlu menyepi atau bertapa, tapi perlu kiranya menjadi “trance and stoned”, meminjam istilah W.S Rendra untuk menyatakan kemenyatuan seorang pengkarya sebagai pribadi dengan karyanya. Para peserta, yang dalam hal ini berbicara tentang Kebudayaan Lahat, masih banyak yang terjebak pada karya yang sekadar menyusun kata tanpa menunjukkan adanya gairah. Karena itu, hal yang seyogyanya dilakukan sebelum menulis puisi adalah menyatukan diri dengan apa yang ditulis: menyatukan diri dengan Lahat sampai lahir gairah, sampai bergolak dan bergejolak tumpah kepada darah denyut nadi puisi.
Bahwa ada (untuk tidak mengatakan banyak) peserta yang hanya menaut-nautkan objek-objek kebudayaan dan mengindah-indahkan kata di dalam puisi, saya pikir tidak perlu dihabas lagi di sini, karena pada catatan untuk peserta lomba cipta cerpen, telah saya bahas. Yang perlu dicatatkan di sini adalah ihwal bagaimana melihat sesuatu. Seorang penulis sebagaimana seorang fotografer, perlu membidik titik fokus. Sebelumnya, perlu memutuskan akan menulis dengan frame makro atau frame mikro. Itu perlu dilakukan agar tidak terjadi kekacauan di dalam teks puisi. Terlalu banyak yang disebutkan secara serampangan yang tidak jelas bidikannya mengakibatkan puisi sulit dimaknai, lemah secara teks dan konteks. Kehendak-kehendak penulis harus ditegaskan sejak awal, hendak berbicara sesuatu yang kecil secara spesifik atau sesuatu yang besar dengan pandang mata umum?
Mari kita ingat bagaimana dalam headline di media-media ketika ada tragedi jatuhnya sebuah pesawat. Katanlah, pewasat MH70. Ada dua berita, yang satu bertajuk “200 Penumpang Jadi Korban Jatuhnya Pesawat MH70” dan yang satu bertajuk “Seorang Pramugari Cantik Jadi Korban Jatuhnya Pesawat MH70”. Dari kedua tajuk itu, mana yang menarik pembaca? Dari sana, apa yang kemudian dapat dipahami dari penentuan titik fokus dalam menulis?
Selanjutnya, melengkapi tentang ketepatan judul sebagaimana telah disampaikan dalam pemaparan ihwal cerpen, mari perhatikan puisi berikut ini:
Bunga
Angin mendesir di daun-daun.
Kelepak elang berkisar di awan putih.
Pohon-pohon hijau
ditumbuhi embun pagi ini.
Aku melihat bunga di taman.
Oh indahnya alamku.
xxx
Pada contoh tersebut, begitu banyak yang dibicarakan, bukan hanya bunga. Posisi bunga adalah penjelas dari topik (kalimat utama). Dengan menggunakan pola induktif, puisi tersebut menempatkan larik terakhir: “Oh indahnya alamku.”, sebagai topik, bukan: “Aku melihat bunga di taman.” yang dijadikan alih-alih seolah puisi tersebut menjadikan bunga sebagai topik. Maka di sini jelas, penetapan judul “Bunga” pada (seakan-akan) puisi di atas tidak tepat.
Penetapan judul puisi sebenarnya sama sebagaimana penetapan judul di dalam makalah atau skripsi. Perbedaannya terletak pada pemilihan kata. Makalah atau skripsi menggunakan pilihan kata yang tidak ambigu alias lugas: sebisa mungkin tidak mengandung makna yang lebih dari satu. Hal tersebut berbeda dengan puisi, judul memungkinkan penafsiran luas. Di dalam makalah kesalahan penetapan judul bukan berarti tidak ada. Tidak sedikit makalah yang melebar kemana-mana, karena isinya terlampau luas dan menjauhi judul. Misalkan makalah berjudul “Ragam Umbi-umbian di Indonesia”. Tetapi isi makalah menerangkan (juga) bagaimana cara menanam umbi-umbian dan berbagai jenis makanan olahannya. Alasannya karena masih ada keterkaitan. Alasan tersebut tidak dapat diterima, karena boleh saja semua hal saling terkait, tapi dalam satu tulisan memiliki batasan-batasan yang jelas. Batasan-batasan tersebut yang menjadi rambu-rambu di dalam penulisan sebuah makalah.
Saya sengaja menghadirkan pembicaraan penetapan judul dalam makalah, agar sama-sama dipahami bahwa tidak ada bedanya “konsep dasar” penetapan judul puisi dengan penetapan judul makalah. Pelajaran tersebut sudah ada, setidaknya, sejak duduk di sekolah Menengah Pertama atau mungkin sudah ada sejak Sekolah Dasar. Lantas bagaimana memperbaiki kesalahan judul pada puisi yang dilampirkan di atas? Caranya: mengubah judul atau mengubah isi.
Berikut ini contoh cara mengubah isi dari judul puisi “Bunga”.
Bunga,
tumbuh di tepi rawa.
Merawat diri sendiri yang hanya setangkai
di antara akar-akar melata
dan kesepian hutan.
Perhatikan dengan seksama, meski tetap membicarakan selain bunga, ada rawa, akar, dan hutan, dengan menggunakan pola deduktif, topiknya jelas, bunga. Judul bunga tepat jika dibuat demikian, meski sebagai sebuah puisi, kekurangannya adalah tidak spesifik. Tidak jelas bunga apa. Namun karena pembicaraannya adalah ihwal judul, begitulah semestinya cara menggunakan judul yang sesuai dengan isinya, karena judul menggambarkan, merepresentasikan, mengungkapkan topik.
Contoh perbaikan tersebut tidak dalam rangka mengatakan bahwa puisi harus menggunakan pola bait deduktif agar tepat judulnya. Penyususunan bait puisi dapat menggunakan pola apa saja, asalkan dapat memastikan posisi topik tidak melebar kemana-mana. Misalkan, contoh di atas diubah lagi menjadi begini:
Di antara akar-akar melata
dan kesepian hutan
Bunga tumbuh di tepi rawa.
Merawat diri sendiri yang hanya setangkai
atau begini:
Bunga tumbuh di tepi rawa.
Di antara akar-akar melata
dan kesepian hutan
merawat diri sendiri yang hanya setangkai.
Terakhir, meski masih sangat banyak yang mesti diungkap tentang puisi, mengingat kekurangan yang ada pada puisi-puisi peserta, fungsi metafora adalah menjadikan yang abstrak menjadi konkret, karena metafora menjelas situasai, konsep, atau gagasan lebih ringkas dan komprehensif daripada diungkapkan secara harfiah yang membutuhkan kalimat yang lebih kompleks. Metafora sering dianggap sebagai alat yang efektif untuk menjelaskan sesuatu yang baru, karena metafora memungkinkan untuk menjelaskan, menggambarkan, dan menginterprestasikan sesuatu yang baru melalui sesuatu yang sudah dikenali sebelumnya agar mudah diterima karena hal yang baru tersebut diungkapkan melalui sesuatu yang telah diketahui.
“Aku ini binatang jalang” (Aku, Chairil Anwar), “Belas adalah/Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata” (Tigris, Goenawan Mohamad), “Diriku samudra/Dilayari kapal, perahu, bajak/Tiada jejak.” (Diriku, Ajip Rosidi) “Kesepian barangkali anjing penurut/yang ikut sibuk menjamu tamu dengan/juluran lidahnya. Kau tak perlu takut.” (Sore yang Bersahabat, Dedy Tri Riyadi) “Keluh kesah adalah badai /samudera yang mengepungku/dan keinginan adalah anjing/lapar yang menggonggongi/jam tidurku/di kemah asing ini.” (Kepada Musa, Muhammad Rois Rinaldi), itu semua adalah contoh pemberlakuan metafora. Bukan sibuk-sibuk membuat deskripsi tak perlu, semisal untuk mengatakan gelas di meja tidak perlu ditulis “sebuah benda terbentuk dari kaca terletak di sebuah benda terbuat dari kayu”. Itu membiaskan, bukan membuat konkret.
M. Rois Rinaldi
(Juri Lomba Cipta Cerpen dan Puisi Warta Bianglala 2020)
Penerima Anugerah Puisi Asia Tenggara 2014 (Numera, Dewan Bahasa & Pusaka Malaysia, 2014) dan Tokoh Sastra Asia Tenggara (HesCom Malaysia, 2015-2016)