Sebelum masuk ke inti pembahasan. Kepada Kaum Pembaca Judul, Gegana dimaksud bukan berarti tulisan ini membahas kegagahan dari salah satu bagian kesatuan Brimob yang rela bertaruh nyawa sebagai resiko kerja. Bukan juga Gegana dari paparan KBBI, terdiri atas tiga silabel ge, ga, dan na, yang memiliki arti :1. udara; awan; 2. yang menimbulkan suara keras atau ledakan (halilintar, dinamit, granat, dan sebagainya). Gegana ini disadur dari kamus gaul tahun dua ribu empat belasan, akronim dari; gelisah, galau, dan merana. Sebuah ungkapan yang pernah bertahan usia kepopulerannya hingga 2 tahunan dalam perbendaharaan kosakata para anak muda dengan segala kebucinan. Selanjutnya, kata-kata hidup berdamai dalam judul tulisan juga sempat populer karena dianggap kontroversial saat dicetuskan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada tahun lalu. Lantas, di mana korelasi Gegana dan hidup berdamai?
Meski jarang sekali diucapkan sebagai ungkapan perasaan di masa kini, di tahun 2020 Gegana tiba-tiba hadir di hati dan jiwa masyarakat Indonesia. Setelah diliputi was-was dan kepanikan atas informasi resmi pemerintah tentang telah masuknya virus Corona ke Indonesia. Ditambah lagi pada tahun 2020 lalu, tepatnya tanggal 7 Mei, dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden yang kemudian ramai diberitakan media massa, terkait statement Presiden Joko Widodo yang mengajak warganya untuk menjalani New Normal dengan cara hidup berdamai dan bahkan berdampingan dengan Covid-19. Tips menjalani New Normal ala Mister President ini sontak menimbulkan pro kontra di tengah-tengah warga +62. Tidak hanya menjadi perdebatan bagi netijen dengan segala kemahabenarannya, para tokoh seperti Opa Jusuf Kalla juga menghakimi keambiguan hidup berdamainya Pak Jokowi. Banyak media menayangkan pernyataan Opa Jusuf yang secara tegas mengatakan, Covid-19 merupakan virus ganas yang musti diperangi bukan diajak berdamai. Keesokan harinya, kegaduhan baik dari para pemangku jabatan maupun di lingkungan warganet, membuat Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin meluruskan dan menjelaskan maksud ucapan Presiden Joko Widodo.
“Bahwa Covid-19 itu ada, dan kita terus berusaha agar Covid segera hilang. Tapi kita tidak boleh menjadi tidak produktif, karena adanya Covid-19 menjadikan adanya penyesuaian dalam kehidupan,” kata Bey kepada wartawan kala itu.
Oke fix. Saya tidak ingin dicap sebagai haters atau dianggap seorang oposisi oleh para Jokowers. Mari ambil jalan damai dari kata hidup berdamai. Mungkin maksud sebenarnya dari ucapan Pak Jokowi, sebagaimana yang diluruskan oleh orang-orangnya. Mungkin. Namun, seiring berjalannya waktu, hidup berdamai sepertinya sangat jauh dari menghadirkan kedamaian. Gegana begitu akrab menghiasi hari demi hari dan hati demi hati masyarakat. Apa saja yang membuat masyarakat didera Gegana di tengah perjuangan ekstra pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19?
Gelisah. Rasa ini tidak hanya dialami Obbie Messakh saat menunggu seseorang yang spesial di sudut sekolah. Kegelisahan tingkat dewa juga dirasakan seluruh masyarakat Indonesia, tatkala Covid-19 kian mewabah, membuat ekspektasi hidup berdamai menjadi patah. Masyarakat diliputi rasa ketidaktenangan menyaksikan angka-angka fantastis data terpapar Covid-19 yang dikeluarkan tim Gugus Tugas atau yang sekarang bernama Satgas Percepatan Penanganan Covid-19. Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) malah membuat masyarakat tertekan karena menghambat pekerjaan. Puncaknya adalah lahirnya slogan pemberontakan “lebih baik mati karena Corona dari pada mati kelaparan”.
Menyikapi kegelisahan yang mendera warganya, pemerintah Republik Indonesia yang baik hati mencoba memberikan solusi dengan meluncurkan program bantuan. Bantuan dalam bentuk tunai maupun non tunai seperti pembagian Sembako, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD), BLT UMKM, Kartu Pra Kerja, dan sederet bantuan lainnya dihadirkan. Sayangnya, maksud hati memberi amunisi hidup berdamai, malah membuat keadaan menjadi tidak damai. Hampir setiap daerah memiliki catatan pemberitaan buruk dengan terjadinya aksi protes dan kericuhan dari banyak warga yang tidak terdaftar sebagai penerima bantuan. Warga merasa, di masa Pandemi semuanya memiliki status sama sebagai manusia yang terdampak. Naasnya, gejolak di tengah masyarakat, hanya berujung pada kegelisahan tak berujung. Pemerintah di daerah hanya bisa menjawab lesu, “Kami hanya menjalankan perintah dari pusat.”. Kepala desa pusing disatroni warga setiap hari. Camat bingung mau jawab itu-itu lagi. Bupati boring diminta datang penyerahan bantuan lagi, selepas itu melayani yang pertanyaan berulang lagi, “Kenapa kami tidak dapat, Pak? Kami, kan, juga layak?”. Semua mau jawab apa? Yang ada, sampai kini, kepastian berakhirnya masa pandemi, hanyalah pertanyaan tanpa jawaban.
Galau. Kata galau menjadi bagian dari akronim yang masih eksis sampai saat ini dibandingkan kepanjangan Gegana lainnya. Jika selama ini kegalauan identik mendera korban dari mata panah Dewa Amor. Kini kegalauan yang dalam artian perasaan tidak menentu hingga berujung kesedihan melanda segenap warga +62. Bermula dari PHP menteri-menteri di lingkaran pemerintahan Jokowi sebelum wabah Covid-19 masuk ke Indonesia. Perkataan para orang pintar itu tentang kemustahilan Corona masuk ke Indonesia, ternyata hanya sebatas angin surga semata. Kita simak lagi ucapan bernada kesombongan yang dilontarkan pembesar negeri saat Corona masih heboh di Wuhan, China. Pada 11 Februari 2020, ketika sejumlah peneliti asing menengarai wabah Covid-19 telah muncul di Indonesia, Menteri Kesehatan pada masa itu, Terawan Agus Putranto, dengan jemawa membantahnya sambil menantang para peneliti itu untuk datang ke Indonesia (Kini posisi Terawan sebagai Menkes telah digantikan oleh Budi Gunadi). Begitu juga Menko Polhukam Mahfud MD mengutip kelakar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa Corona tidak bisa masuk Indonesia karena perizinannya berbelit-belit pada 15 Februari 2020. Kemudian Menko Marves Luhut B Panjaitan, pada 10 Februari, berseloroh Corona sudah lama pergi. Selorohannya merujuk pada mobil sedan tipe corona yang tak diproduksi lagi. Selain itu ada pula Menhub Budi Karya Sumadi yang pada 17 Februari 2020 berguyon bahwa Covid-19 tak masuk ke Indonesia karena setiap hari orang-orang di sini makan nasi kucing sehingga kebal. Padahal di sisi lain, tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menilai memprediksi virus Corona telah masuk ke Indonesia sejak minggu ke-3 Januari 2020.
Bagaimana tidak galau, ternyata candaan bapak-bapak menteri tersebut cuma bagian dari PHP (Pemberi Hiburan Palsu). Guyonan receh mereka semakin membuat ngilu dengan kegagapan pemerintah dalam penanganan awal Covid-19. Sempat terjadi kelangkaan masker dan handsanitizer di tengah masyarakat, ditambah lagi banyaknya Rumah Sakit yang belum siap, baik dari segi fasilitas maupun kelengkapan APD, meski ditetapkan sebagai rujukan. Jika di film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) pelampiasan kegalauan Cinta dengan mengatakan, “Apa yang kamu lakukan ini, jahat Rangga!”. Maka, di AADC versi Ada Apa Dengan Corona, hanya bisa dilampiaskan di dalam hati saja. Penangkapan seorang driver ojek online bernama Rahman pada 8 April 2020 hingga penahanan Jerinx SID, hanya sebagian dari sekian banyak tumpahan kekesalan yang berujung penahanan. Ancaman UU ITE dan UU Kesehatan telah berhasil membuat kritik-kritik warga menjadi gumpalan permen yang habis dikunyah di mulut saja. Niat hati tuk mengungkapkan, apa daya terhalang tahanan. So, tahu kan rasanya, punya rasa tapi tak bisa berkata? Galau.
Merana. Bulan April hingga Mei sepertinya menjadi bulan merana di tahun 2020. Bagaimana tidak, pemerintah memperketat PSBB, termasuk dikeluarkannya aturan larangan mudik. Mau tidak mau para perantau menjalani ibadah puasa dan berlebaran di kos-kosan, tanpa terkecuali yang masih hidup sendirian. Nun, di kampung halaman, air mata menjadi saksi kerinduan para emak terhadap anak di penghujung Ramadhan. Belum lagi kesedihan para gadis yang menanti janji pinangan selepas lebaran, dari sang pujaan di tanah rantuan. Sementara pemberitaan data Covid-19 mulai dihiasi angka kematian. Lantas bagaimana jika sebuah moment kepulangan bukan membawa keceriaan pun pinangan, melainkan cerita kesedihan tentang hilangnya pekerjaan akibat pengurangan karyawan? Sepertinya kemalangan jenis ini tidak masuk dalam daftar solusi imbas pandemi. Tetap tidak sebanding dengan Sembako dan BLT yang digelontorkan. Gagal pulang tiada mengapa, gagal nikah bagaimana menanggungnya?
Merana juga dialami para keluarga yang saudara atau ayah atau ibu atau neneknya yang meninggal dunia dengan pemakaman sesuai standar protokoler kesehatan. Tidak ada saudara menghantar ke liang lahat. Hanya menatap dari kejauhan. Keluarga yang ditinggal diisolasi. Dinding rumah berubah warna lantaran diterpa bisik-bisik tetangga. Terkucil dari keramaian. Tiada sesiapa boleh menengok mereka. Saat hasil tes swab yang meninggal dunia keluar, hasilnya dinyatakan Negatif. Hey! Prank macam apa ini? Kalian tahu rasanya digunjing tetangga? Dijauhi keluarga? Terasing rasa terhina, pernah merasa? Kalian seperti pisang; punya jantung tak punya hati.
Meski merana, sejak itu manusia bersepakat menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama. Genderang perang ditabuh dengan digencarkannya kampanye hidup sehat dalam seruan mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi. Dana-dana penanggulangan Covid-19 dengan angka fantastis mulai dikucurkan. Kemudian pemerintah mulai disibukkan dengan rapat demi rapat penggunaan anggaran. Atas nama kemanusiaan para relawan sigap dalam gerakan pencegahan. Perusahaan-perusahaan berlomba dalam kebaikan dengan menyuplai bantuan. Perang pecah tidak terelakkan. Setiap warga bak menjalani wajib militer, dengan diberlakukannya sanksi berupa hukuman atau denda jika perlengkapan tidak dikenakan. Siap-siap dipermalukan di tengah keramaian jika kedapatan tanpa masker dan atau bersentuhan.
Perang terus dilakukan sampai hari ini. Hasilnya? Tidak ingin melukai perjuangan, saya tidak akan mengatakan telah mengalami kekalahan. Amunisi keluar dengan angka puluhan milyar, kampanye sehat terus disebar, razia Protkes secara gencar, Sembako dibagi tanggulangi lapar. Sayangnya, angka terinfeksi Covid-19 semakin membesar. Hey, sepertinya kita kualat. Bukankah presiden meminta kita berdamai? Bukan berperang!
Tiada duka melebihi batas wajarnya. Tiada Gegana tanpa kejengahan empunya. Tahun 2021 sepertinya menjadi kebangkitan warga +62 yang sudah terlatih menahan luka. Aktivitas kerja sudah berjalan seperti biasa. Pasar kembali ramai meski masih banyak masker hanya nyangkut di dagu saja. Kebebasan merupakan puncak dari kebosanan. Masyarakat bak menyadari, Gegana yang mendampingi sejak awal tahun 2020 sudah tidak pantas dipertahankan. Untuk apa bertahan dengan keterbatasan, jika kucuran anggaran hingga milyaran, bahkan trilyunan, tetap tidak mampu menekan angka positif Covid-19 yang terus meningkat secara signifikan. Saat masyarakat mati-matian mengatur pengeluaran lantaran minimnya pemasukan, pada 6 Desember 2020 Menteri Sosial Juliari Batubara diciduk KPK lantaran korupsi dana Bansos Covid-19. Masyarakat yang kini hidup dengan segala kekurangan, tertatih di antara 107 kasus dugaan penyelewengan dana Bantuan Sosial (Bansos) penanganan pandemi virus Corona atau Covid-19 yang ditangani penyidik. Temuan tersebut berdasarkan akumulasi dari 21 Polda se-Indonesia sepanjang tahun 2020. Sungguh, apa yang kalian lakukan ini jahat, Koruptor.
Sudahlah, mari kita hidup berdamai saja dengan virus Corona. Vaksin juga sudah beredar, kan?! Jika berperang malah merugikan, hidup berdamai dan berdampingan semestinya dilakukan. Ngerti, kan? Yang tidak ngerti, tanya presiden sana!
Kita hidup normal saja, biar Gegana jadi pengawalnya. Kita lihat saja, anggaran raksasa pengadaan vaksin dan rencana Presiden Joko Widodo untuk Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro yang akan dimulai pada 9 Februari 2021, mampukah menekan data di webbsite resmi Covid19.go.id? Dimana per tanggal 5 Februari 2021 menyatakan Positif 1.134.854, Sembuh 926.980, dan Meninggal 31.202.
Lahat, 6 Februari 2021