Lahat, wartabianglala.com – Seperti biasa, di sela lamunan malam dan persiapan menuju pembariangan, saya sempatkan berselancar di beberapa jejaring media soisal, tidak terkecuali akun facebook. Menelusuri beranda FB, Saya tertarik dengan status dari salah satu kawan, Iyan, dengan akun facebooknya Ferdians, yang sedikit memancing tangan untuk berkomentar dan mengetik beberapa uraian.
Status Iyan ditulis secara lugas, tepat, dan menyentuh. Meski, kalimat semacam itu sebenarnya sudah sering dikemukakan oleh banyak kalangan, bagi saya menarik jika dikaitkan dengan apa yang terjadi di negeri kita saat ini. Tulisan statusnya seperti ini: Terkadang penampilan tidak bisa mencerminkan kepribadian seseorang…. Saya tertarik, karena kalimatnya diawali dengan kata terkadang. Dalam artian tidak semuanya, karena subjectnya seseorang. Maknanya tentu saja akan beda lagi, jika hanya ditulis: Penampilan Tidak Bisa Mencerminkan Kepribadian Seseorang.
Tentu semua orang tahu dan atau tidak asing dengan idiom berbahasa Inggris, Don’t judge a book by its cover. Artinya Jangan Menilai Sebuah Buku dari Sampulnya. Merupakan kiasan yang populer dimaknai; Jangan Menilai Seseorang dari Penampilan Luarnya. Hubungannya dengan status Ferdians? Baik, sebelum menyimpulkan hubungan dengan status maupun hubungan tanpa status, saya coba ajak pembaca untuk melihat fenomena yang terjadi di kehidupan masa kini.
Petuah Jangan Menilai Seseorang dari Penampilan sepertinya menjadi sebuah nasihat andalan bagi setiap insan. Semua kalangan, baik pejabat sampai ke ustadz, kerap mencetuskan kalimat ini di forum-forum atau juga di depan khalayak, dan bahkan diajarkan ke anak-anak. Sederhananya, orang yang berpenampilan buruk jangan dinilai hatinya juga buruk, orang yang berpenampilan bagus belum tentu hatinya juga bagus. Sepakat, kan?
Hanya saja, ucapan ini kebanyakan kontradiktif dengan tindakan. Sadar atau tidak sadar, orang-orang saat ini menciptakan aturan yang mengangkangi petuah itu sendiri. Kebanyakan demi kepentingan.
Ambil contoh begini; Seorang calon wakil rakyat saat berkampanye, ia pasti akan datang ke masyarakat kelas bawah. Mau itu kuli bangunan, pengumpul rongsokan (asal ada KTP-nya), petani, pemulung, bahkan pekerja malam sekali pun akan didekati tanpa melihat status dan tampilan. Mereka sampaikan visi dan misi, menjadi corong aspirasi untuk menyejahterakan masyarakat kecil. Akan tetapi, setelah mereka duduk di kursi empuk gedung parlemen, untuk ditemui, mana bisa dengan pakaian yang dipakai sehabis mengais sampah. Mana bisa dengan pakaian bau tanah selepas dari kebun, apalagi tanpa alas kaki. Mana bisa ditemui dengan pakaian ala pekerja malam. Mana boleh ditemui dengan celana pendek dan sandal jepit. Pasti di pintu masuk akan dihadang satuan Pol PP dan disuruh tunggu di luar saja. Kemudian staff si wakil rakyat bakal nasehati, “Pak/Buk/Mba/Mas, lain kali kalau ke sini pakaiannya yang rapi, ya. Ini kantor, ada aturannya!”. Nah, lho?! Berarti masih menilai seseorang dari penampilan, dong! Kalau ditempatkan ke ranah etika, kesopanan dari pakaian? Bukan dari kelakuan? Bukan dari hati? Lantas, pak tani, pemulung, kuli, harus beli atau pinjam baju bagus agar bisa dinilai berniat tulus? Untungnya kejadian seperti ini hanya terjadi di gedung parlemen Negeri Latanahsilam. Tidak (mungkin) terjadi di Negara Indonesia dan (mungkin) tidak akan terjadi di Kabupaten Lahat.
Kita ambil contoh lainnya. Sebuah kantor instansi pemerintahan yang berdiri kokoh, sejuk, dan empuk. Pastinya dibangun dari uang rakyat, fasilitas dari uang rakyat, dan pegawainya digaji juga dari uang rakyat. Kemudian instansi tersebut memajang spanduk peringatan “Untuk masuk ke kantor ini, tidak boleh menggunakan baju kaos dan mengenakan sandal jepit!”. Nah, lho?! Ini lebih terang-terangan lagi menilai penampilan dan terkesan diskriminatif. Kalau kaos kenapa, kalau sandal jepit kenapa? Etika dan kesopanan lagi? Apakah etika berpakaian menentukan nilai baik dan buruk hati seseorang? Apakah cara berpakaian bisa menjamin orang tersebut bayar pajak atau tidak? Jelas, kan, mengangkangi Don’t judge a book by its cover. Akan tetapi hal ini hanya ada di kantor instansi Negeri Latanahsilam. Tidak (mungkin) berlaku di kantor instansi pemerintah Kabupaten Lahat. Iya, kan?
Semisal Iyan, yang dahulunya berambut gondrong, bukan berarti dia preman, kan? Buktinya sekarang jadi organisator dan aktif di kegiatan sosial. Ye, kan? Misal lagi seorang wartawan bernama Dedi Firmansyah, masuk ke ruangan pejabat tanpa melepas topi. Jika melihat tampilan pastilah dikatakan tidak sopan. Padahal, Dedi hanya ingin menutupi kepalanya yang mengalami kebotakan.
Balik lagi ke status FB Ferdians. Saya rasa dari apa yang saya contohkan semua bisalah menyimpulkan. Terkadang, meskipun ada. Ya, ada juga, yang baik segi penampilannya, disertai pula dengan baik hatinya.
Tulisan ini hanya sebuah opini semata. Tidak niat menyinggung atau mendiskreditkan, baik lembaga mau pun pribadi seseorang. Tidak masalah jika ada yang beropini dengan sudut pandang berbeda. Kemarin di dekat rumah, saya mendengarkan seorang ustadz yang berceramah dan menyampaikan Surat Al Hujurat : 13; “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. Kemudian ustadz tersebut menyampaikan lagi ayat ke 216 dari Quran Surat Al Baqarah, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Lahat, 8 Februari 2021 – Aan Kunchay