Lahat, wartabianglala.com – Beberapa waktu lalu, tepatnya di hari Kamis (11/02/2021), selepas makan siang saya bersama kawan sesama jurnalis Dedi Firmansyah (Dedi), bertandang ke kediaman seorang kepala desa, Dafit Apriansyah (Dafit). Tujuan kedatangan kami, seperti biasanya tidak lain untuk bersilaturahmi. Karena memang, momen jeda dari kegiatan liputan, berbincang dengan Kepala Desa Gunung Agung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat ini biasanya akan melahirkan pengetahuan baru nan bermutu. Obrolan hangat semakin lengkap tatkala gelas-gelas berisi seduhan kopi turut menemani.
Banyaknya pesan masuk di akun whatsapp, membuat saya lebih banyak berkutat dengan layar HP, sembari menyimak obrolan Dedi dan Dafit. Agar tidak timbul kesan mengacuhkan, sesekali saya pasang wajah ikut memperhatikan obrolan. Sejurus kemudian, kembali saya asyik memainkan jari di layar HP.
Tidak lama berselang, terdengar sebuah pertanyaan dilontarkan Dedi, membuat aktifitas per-HP-an saya auto terhenti.
“Dengan popularitas Kak Dafit saat ini, adakah niatan ke depan untuk mencalonkan diri dalam kontes pemilihan anggota DPRD Lahaf?” tanyanya.
Menarik. Saya letakkan HP di bangku, pertanda kesiapan untuk fokus menyimak perbincangan dua orang ini. Dafit tertawa renyah mendengar pertanyaan yang mungkin dianggapnya menggelikan.
“Tidak! Saya tidak tertarik!” jawab Dafit tegas.
Sedikit tercengang saya perhatikan mimik muka Dafit yang penuh keseriusan. Kulirik Dedi, sepertinya juga diliputi kekagetan yang sama dengan saya.
Jelas jawaban Dafit membuat saya dan Dedi keheranan. Karena kami tahu betul, kinerja sosok pria ini sebagai kepala desa sangatlah membanggakan. Beliau telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan sangat luar biasa. Bahkan, terobosannya kerap menjadi inspirasi karena mencetus gagasan yang jarang terpikirkan. Salah satu terobosan Dafit Apriansyah yang pecah dan viral, saat dengan kerelaannya mendonasikan gaji tri wulan untuk dibelanjakan beras, yang kemudian dibagikan ke warga desanya. Aksi pribadinya ini sebagai wujud bantuan pangan bagi warga, saat awal-awal masa Pandemi Covid-19.
Begitu juga dalam hal menjalankan roda pemerintahan, Dafit tidak pernah tersandung masalah hukum. Bahkan, Pemdes Gunung Agung dikenal aktif dalam menjalankan peran mereka. Jadi, sepintas pikiran kami, jikalau Dafit mengambil peranan lebih besar sebagai anggota DPRD Lahat, tentu akan banyak membawa perubahan.
“Daripada mencalonkan diri menjadi anggota DPRD, lebih baik saya mencalonkan diri jadi kepala desa satu periode lagi.” Dafit melanjutkan ucapannya.
Dedi mengernyitkan kening, sebelum kembali melontarkan tanya, “Alasannya? Apa yang membuat jabatan kepala desa lebih menarik dari pada sebagai anggota DPRD dalam pandangan seorang Dafit Apriansyah?”.
“Sebagai Kepala Desa, saya bisa lebih fokus mengurus masyarakat. Tidak banyak DL-nya,”-Dafit sedikit tertawa-“Sebenarnya, yang saya impikan itu, menjadi seorang bupati!”.
Kalimat terakhir yang diucapkan Dafit kembali menghentak suasana. Terlihat Dedi kembali kaget, bahkan melebihi kekagetan pertama. Pun begitu dengan saya. Bagaimana tidak, impian tinggi menjadi seorang bupati, biasanya diawali dari impian kecil, seperti menjadi anggota DPRD terlebih dahulu. Biasanya.
Sebelum kekagetan berbuntut keheningan panjang. Sebelum kerutan di kening Dedi lipatannya semakin bertambah banyak, Dafit buru-buru mencairkan suasana dengan ucapan lanjutan.
“Tetapi, ada syaratnya,” -Dafit senyum-senyum-“Saya siap mencalonkan diri sebagai Bupati Kabupaten Lahat dengan syarat khusus,” katanya menegaskan ucapan awal.
Dedi hanya diam, menanti penjelasan lebih lanjut dari Dafit. Sepertinya, beragam pertanyaan telah menghampiri kepalanya yang saat ini mulai didera kebotakan. Bisa jadi, beragam pertanyaan itulah yang mengunci laju suaranya.
“Syaratnya, saya memiliki kekayaan lebih dari satu trilyun.”
Wah, niat main uang nih? Saya mulai didera suudzon.
“Karena begini. Kalau saya menjadi seorang bupati dengan memiliki dana melimpah, saya tidak akan mungkin menjadikan kekuasaan sebagai akses mengumpulkan harta. Uang satu trilyun lebih, akan saya jadikan sarana transportasi amal ibadah, bekal akhirat, melalui sebuah jabatan. Hidup ini hanya sekali, dan harta tidak akan abadi menyertai.” Dafit sedikit beringsut, mengubah posisi duduknya. Kini, pandangannya lebih dominan menghadap ke arah kami. Saya dan Dedi juga bertambah penasaran, menanti kata-kata lanjutan.
“Dalam artian, dengan kondisi seperti itu, saya tidak akan memikirkan uang lagi. Gaji sebagai bupati, tidak perlu diambil, donasikan saja untuk kegiatan sosial. Saya akan ajak kepala dinas menjala di sungai. Kalau dalam sepuluh kali kipas tidak dapat ikan, panggil kepala dinas terkait, suruh lepas ikan dengan jumlah tonan. Kalau tidak ada anggaran pakai dana pribadi saya. Kan, jadi pahala. Kemudian, seluruh kepala dinas yang tercium nakal, turunkan saja. Untuk apa dipertahankan! Tapi, kalau itu benar-benar terjadi, yang kasihan wakil saya. Tidak dapat lokak. Jadi, untuk menghiburnya, saya belikan saja mobil baru dan tambahan gaji, juga anggarannya dari kantong pribadi. Benar, kan? Uang kan banyak?!”.
Dedi mengangguk pelan pertanda terlarut. Entah menelaah atau bisa jadi asyik mendaki impian Dafit yang sangat tinggi.
“Dengan SDA yang dimiliki, Kabupaten Lahat selayaknya menjelma sebuah kota besar. Kalau jadi bupati, saya akan bangun Grand Mall agar para pendatang dari luar tidak lagi mencari kebutuhan ke kota lain. Selain itu, akan banyak menyedot tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan. Tidak akan ada bertaburan tenaga kerja asing di perusahaan-perusahaan, akan saya batasi. Kenapa harus takut kepada beking perusahaan, toh saya jadi kepala daerah dengan uang sendiri, bukan diikat kepentingan dan tidak minta sponsor. Selain itu saya akan membangun pesantren terbesar. Tujuannya agar membangun karakter generasi muda yang Islami atau soleh dan soleha.” Dafit menghentikan paparan impian, menyeruput kopi di hadapannya. Sementara Dedi, mungkin tidak ingin terlihat tegang, terlatahkan dengan turut menenggak kopi dan menyalakan sebatang rokok.
“Satu lagi, saya juga akan fokus membenahi kelengkapan fasilitas kesehatan di rumah sakit yang ada di Lahat. Jangan sampai terdengar, perkara bisul saja harus sibuk mengurus administrasi rujukan. Rumah sakit musti diutamakan fasilitas atau kelengakapan peralatan. Jadi intinya, dengan uang banyak, saya tidak akan tergoda untuk melakukan korupsi. Dengan uang banyak saya akan bebas membangun apa saja untuk kebaikan. Dengan uang banyak akan mewujudkan cita-cita sejati hidup, yaitu menghuni Surga. Begitulah kira-kira garis besarnya.” Dafit mengakhiri cerita impian dengan disertai senyum ramah. Dipandanginya saya dan Dedi satu per satu dengan tatapan penuh kepuasan. Puas mematahkan segala pikiran negatif dan puluhan pertanyaan di kepala lawan bicaranya.
Dedi tersenyum. Mengangguk-anggukkan kepala sebagai kode bahwa dia memahami maksud pemaparan Dafit.
“Tapi, apa ucapan Kak Dafit bisa dipegang? Apa Kak Dafit memang bakal maju di kontestasi Pilkada?” Kali ini saya ikut meramaikan obrolan dengan dua pertanyaan sekaligus.
“Makanya, doakan agar rezeki saya lancar dan memiliki kekayaan seperti yang saya ucapkan tadi!” satu kalimat tersebut dilontarkan Dafit sebagai jawaban dari dua pertanyaan saya. Kami tertawa bersama. Tawa menggema di tengah tebing menjulang menuju puncak sebuah impian.
Lahat, 13 Februari 2021
Penulis: Aan Kunchay