wartabianglala.com – Adanya isu tentang ataran kebun yang dikelola para petani di beberapad desa di Kecamatan Merapi Selatan, Kabupaten Lahat, masuk dalam kawasan hutan lindung. Hal ini telah membuat para petani di desa tersebut diliputi kecemasan dan kebingungan. Jumat (05/03/2021).
Para petani cemas karena kebun yang sudah mereka kelola selama puluhan tahun, terancam bermasalah di kemudian hari. Mereka juga bingung, lantaran selama mereka berkebun di ataran tersebut, tidak pernah ada sosialisasi dan pemberitahuan yang menjelaskan bahwa kawasan tersebut merupakan hutan lindung.
Berdasarkan penelusuran awak media, mantan Kepala Desa Lubuk Betung tahun 1986 – 1997, Tapiri, mengatakan sejak dirinya menjabat kepala desa, belum pernah ada pemberitahuan sebelumnya bahwa kawasan perkebunan yang meliputi Bukit Tunggul, Bukit Kuning, Matang Kahang, dan Talang Geradang merupakan kawasan hutan lindung.
“Pada zaman aku memerintah ataran itu merupakan kebun rakyat. Tidak pernah ada sosialisasi termasuk pemasangan patok atau pemasangan papan informasi,” tegas Tapiri saat dibincangi di kediamannya.
“Kami sangat berharap adanya kejelasan pasti terkait claim kawasan hutan lindung. Karena sejak zaman dahulu sudah dikebuni. Jangan sampai dicaplok sebagai hutan lindung. Mata pencaharian kami dari kebun itulah,” lanjutnya lagi.
Senada yang disampaikan Daryanto (53). Seorang tokoh masyarakat dan mantan Ketua BPD 2 periode (2006 – 2018) Desa Lubuk Betung. Menurutnya, lebib dari seribu KK yang menggantungkan hidupnya di ataran tersebut.
“Wilayah Bukit Tunggul, Bukit Kuning, Matang Kahang, dan Talang Geradang itu sudah dikebuni sejak zaman Jepang. Selain dulunya menjabat Ketua BPD, saya juga selaku tokoh adat yang tahu betul sejarah desa ini. Saya pribadi sudah berkebun sejak tahun 1986. Di ataran tersebut petaninya beragam, ada dari Desa Lubuk Betung, Geramat, Perangai, dan lainnya,” ungkapnya.
Daryanto menambahkan, mereka taat akan hukum, asalkan jelas sosialisasinya tentang hutan lindung yang kini diisukan.
“Kami selaku warga, pastinya taat akan hukum. Tapi kalau tidak jelas, kami jadi bingung dengan status lahan kami sendiri. Takut pastinya, karena tanah kami bisa tidak berharga. Pemerintah setempat juga tidak bisa mengeluarkan surat kepemilikan lahan. Pastinya isu beredar membuat kami merasa dirugikan. Ketakutan juga karena merasa saat ini kami menumpang di lahan yang telah kamo kelola sejak puluhan tahun. Sementara sampai saat ini, tidak ada patok dan papan informasi di ataran tersebut. Dari itu kami mengharapkan instansi terkait untuk ikut meluruskan persoalan ini. Ini dianggap pencaplokan, jadi kami berharap dikembalikan ke rakyat,” ujar Daryanto sembari kemudian menceritakan kejadian masa lampau.
“Pada tahun 1997, pernah ada pembuatan jalan perusahaan subcon PT BA yang memberikan ganti rugi ke pemilik lahan. Jadi itu membuktikan bahwa lahan tersebut adalah milik rakyat,” tandasnya.
Terpisah, Ahmad Kurnia selaku mantan Kepala Desa Geramat periode 2013 – 2019 juga mengatakan tidak jauh berbeda.
“Sampai saat ini kami juga bingung denga isu hutan lindung di ataran kebun warga desa kami. Karna selama ini tidak ada sosialisai dan pemberitahuan dari pihak terkait. Apalagi patok dan papan informasi, tidak ada sama sekali,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Menyikapai isu hutan lindung di Merapi Selatan, İsmet Taher selaku pemerhati lingkungan berharap, ke depan UPTD Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, dapat berperan aktif untuk bersosialisasi kepada masyarakat setempat dan memasang plang atau papan merk.
“Jadi tidak boleh mentang-mentang sumber daya alam melimpah dan tambang-tambang telah berdiri di sana, sehingga masalah ini di jadikan ajang politik bagi pihak penegak hukum. Jadi harus ditegaskan oleh pihak UPTD kehutanan bahwa di objek tersebut ada hutan lindung,” ungkapnya.
“Jadi saat ini masyarakat kebingungan karena kurangnya sosialisasi tentang batas wilayah hutang lindung dari UPTD kehutanan kepada masyarakat setempat. Jadinya kalau begini menjadi jebakan bagi masyarakat bahwa di sana ada hutan lindung di tempat mereka berladang,” terang İsmet.
Sementara Kapolres Lahat AKBP Ahmad Gusti Hartono S.I.K menjelaskan bahwa masyarakat yang sudah terlanjur berkebun di kawasan hutan lindung tetap boleh mengelolanya. Namun, yang tidak diperbolehkan membuat daerah baru apalagi melakukan ilegal logging di kawasan hutan lindung.
“Untuk ilegal logging di kawasan hutan lindung tidak boleh. Namun memang pihak intansi terkait bisa memberikan sosialisasi ke masyarakat agar masyarakat paham dan mengerti,” tambah Kapolres.
Sementara pihak UPTD Kikim Pasemah Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel menjelaskan bahwa kebun rakyat yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung, boleh mengelolanya. Namun memang membentuk kelompok tani lalu mengusulkannya ke pihak kehutanan dan akan diteruskan ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Tapi tidak boleh membuka kebun baru. Kalau kebun yang lama boleh dikelola dan masuk dalam program perhutani sosial,” ujar salah satu pria yang enggan namanya disebut lantaran untuk konfirmasi langsung ke Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel.
Ditambahkannya lagi, walaupun bisa dikelola oleh masyarakat, lahan tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Lalu terkait permintaan warga agar pihak dinas kehutanan bisa menemui masyarakat, diungkapkannya akan dijadwalkan.
“Kami ada penyuluhan. Nanti akan ke lapangan,” ungkapnya lagi.
Aan Kunchay