Oleh : Hefra Lahaldi (Pegiat Sastra)
“Perdamaian adalah maslahat kemanusiaan yang begitu agung, tetapi manusia terkadang tidak mencintainya dari awal”
-M. Anis Matta-
Selalu ada yang tidak ingin kita hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Salah satu caranya adalah dengan menyebarkan rasa ketakutan. Salah satu skenario yang dibuat untuk membuat kita tidak tenang dan dalam menjalani hidup bersama adalah dengan membuat kita saling mencurigai satu sama lain. Berakhir saling tuduh dan menyalahkan, berselisih, gaduh dan “Buuum,” bom sosial sesungguhnya meledak dahsyat, waktunya terus berjalan setiap detik, harus ada yang mematikan.
Jika tujuan sang teroris melakukan aksinya adalah menyoal jiwa, itu hanya bonus. Untuk menyebarkan rasa takut pun lagi-lagi itu hanya bonus. Korban jiwa hanya pelaku bom itu sendiri. Rasa takut, hampir semua kita tak ada kamusnya untuk itu. Yang tersisa memang rasa saling curiga sesama kita. Polarisasi berbangsa rasanya ingin dimainkan kembali oleh king-maker setiap kejadian teror bom itu. Dua kutub yang harus berseberangan, mereka yang mengutuk aksi kekerasan dan mereka yang dianggap mendukung kekerasan. Padahal, tidak pernah ada yang akan mendukung setiap aksi kekerasan dan teror. Lagi-lagi yang kita khawatirkan adalah rasa saling curiga dan saling tuduh.
Semua sepakat bahwa aksi teror yang baru saja terjadi atau sebelum-sebelumnya tidak ada kaitannya dengan agama manapun. Walau, ada juga yang masih memaksa menyatakan tidak mungkin sang pelaku teror tidak punya agama. Lagi-lagi dibolak-balik dan dipersempit kembali ruang berpikir kita. Seolah pernyataan ini menggiring dengan alur begini. Pelaku ada agama, selidiki agamanya dan umumkan keruang publik “bla..bla..bla..” dan intinya tujuan teror berhasil. Saya dan kamu saling curiga kemudian saling menyalahkan.
Kejahatan dan teror bisa hadir dari manapun dan dari orang yang beragama apapun. Tapi menyalahkan agama yang dianut penyebar teror adalah hal yang sangat tidak bisa diterima. Sejak bangsa ini didirikan bermusuhan adalah kata yang begitu tabu dipikiran kita. Karena pendiri bangsa menggerakkan bangsa ini dengan Ruhani (iman) sekaligus rasa kemanusiaan. Ketika iman dan rasa kemanusiaan (agama) dijadikan alasan sebagai cikal-bakal atau akar dari adanya tindakan kekerasan yang mengakibatkan rasa permusuhan. Maka iman dan rasa kemanusiaan (agama) harus dipisahkan dari kehidupan manusia kedepan. Ini tujuan dari aksi kekerasan berdarah sesungguhnya. bukan sekadar menyoal pada korban jiwa atau rasa takut semata dalam grand-desainnya. Dan ini lah agenda musuh-musuh agama sekaligus bangsa.
Persoalan rumit lainnya, tentu saja pertanyaan apakah agama menjadi sumber konflik yang sesungguhnya? Di sini diperlukan kehati-hatian untuk menjawabnya. Agar tak tertuduh sebagai “si-pemancing di air keruh,” kita perlu mengkajinya kembali dengan seksama.
Dalam bentang sejarah manusia dalam konteks peperangan apakah agama menjadi sumber konflik? Kita ambil contoh yang paling sedikit. Ketika seorang Yahudi bernama Dzu Nuwas menghabisi lawannya di Yaman hingga turun surat yang menceritakan raja dengan kekejaman apinya. Atau kemudian Yaman (Dzu Nuwas) kembali di gempur oleh Jenderal agresif Abrahah yang beragama Nasrani, Kemudian merambah ke kota Mekkah tersebab ada bangunan yang mengalahkan Katredal miliknya.
Di dunia modern dahulu, adalah George W. Bush Junior terpeleset lidah dengan menyatakan “Crusader” jilid selanjutnya pra-penyerangan invansi militer yang didukung dunia secara brutal ke Negara Irak? Atau baru-baru ini Houthi Yaman menghantam kilang-kilang minyak di Arab Saudi, dan kemudian dibalas oleh kerajaan dengan penyerangan ke Yaman?! Apakah motifnya hanya soal politik, ekonomi? Atau kelemahan para raja dan Emir disana?
Agama tidak akan pernah menjadi sumber konflik, semua agama mengajarkan cinta kasih dan kedamaian. tetapi, tanggapan ini biarlah dibuat menggantung. Harus ada yang mematikan “bom” ini secepatnya. Atau justru kesemua itu adalah anomali dari apa yang pernah dikatakan oleh Saddam Husain sang maestro peperangan;
“Jika kalian mencintai kedamaaian, maka terbiasa lah mencintai peperangan”
– Saddam Husain-
Terkadang saya itu bingung, kenapa kok Jepang dan China jarang ribut ya sekarang ini?! Laaaah era sengoku jiddai dan era samkok (tiga kerajaan) mereka sudah pernah ribut panjang berabad-abad.
Indonesia jangan gaduh..
Indonesia jangan ribut..
Indonesia jangan saling curiga dan tuduh..
Aku Indonesia.
Lahat, 30 Maret 2021