Oleh : Agus Kurniawan (Pimred Wartabianglala.com)
Editing Naskah : Dee Hwang (Redaktur Rubrik Sastra Wartabianglala.com)
Manusia sejatinya adalah makhluk simbol. Namun terkadang manusia rapuh dalam hal memaknai simbol itu sendiri. Di antara 100 kendaraan yang berhenti di persimpangan lampu merah, misalnya, tak jarang ditemukan manusia-manusia bebal yang nekat menerobos. Seperti halnya di antara ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, masih banyak yang belum menangkap rambu “Dilarang Parkir”, yang disimbolkan dengan Huruf “P” yang dicoret. Dengan demikian, tak jarang pula kita temui di berbagai tempat umum—yang mana di tempat itu tidak diperkenankan adanya kendaraan yang boleh terparkir dengan maksud tertentu—justru seakan tidak ada gunanya bagi sebagian orang. Entah apa yang menjadi persoalan, terpaksakah atau karena memang tidak peduli, atau memang ada alasan lain seperti halnya miskinnya literasi?
Berangkat dari banyaknya contoh kasus demikian, mengharuskan peringatan seperti rambu dilarang parkir, yang seharusnya cukup dengan ditandai dan disimbolkan dengan huruf P yang dicoret, namun justru harus ditambahi beserta teks-nya; “DILARANG PARKIR” guna mempertegas, sudah sangat jelas menggambarkan bahwa betapa rendahnya kesadaran kita khususnya masyarakat indonesia dalam hal memaknai simbol, yang tidak hanya berlaku bagi rambu peringatan saja, yang mana ia ada dan dibuat dikarenakan memiliki alasan dan tujuan tertentu. Apalagi memahami makna dari simbol-simbol yang lain seperti simbol suatu agama.
Jika kejadian Teror yang terjadi di Makassar—pada beberapa waktu lalu sempat menimbulkan perdebatan mengenai ada atau tidaknya tendensi dari suatu agama, yang sengaja dilakukan guna memperkeruh suasana antar penganut agama yang satu dengan yang lainnya—maka hari ini, pada aksi teror yang terjadi di Mabes Polri yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan mengenakan atribut, yang seperti biasa dikenakan oleh kaum perempuan beragama Islam di Indonesia (kerudung/jilbab), mungkin, dari rekaman CCTV yang tersebar, sebagian dari mereka yang berdebat hari ini telah mendapatkan jawabannya.
Namun apabila ini menjurus lebih berat ke satu agama, dalam hal ini Islam, kenapa banyak pula dari mereka yang menganut agama tersebut? Bahkan banyak ulama-ulama besarnya yang tidak membenarkan aksi teror bahkan ikut mengecam keras. Beberapa alasannya ialah dikarenakan islam adalah agama yang sangat mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan (habluminannas), sebagaimana umat islam meneladani sabda Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah bagi mereka, yang kemudian setiap ucapan bahkan tindakannya dicatat sebagai hadist untuk dijadikan sebagai suri tauladan bagi setiap orang islam. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda :
“Barang siapa yang didatangi saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak yang benar ataupun yang salah, apabila tidak melakukannya (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (Akhirat).” (HR. Al-Hakim).
Dari riwayat hadist di atas, menunjukkan dan mencerminkan bagaimana umat dari agama yang satu ini semestinya berlaku. Jangankan membunuh, melukai dan menyakiti sesama saja diwajibkan untuk meminta maaf sebelum meminta ampun kapada Allah SWT.
Lebih jauh kepada pemaknaan dari nilai-nilai Islam sendiri, yang mana arti dari akar kata Islam berasal dari kata Assalmu yang berarti; Damai, kedamaian, kemudian Aslama yang berarti; berserah diri, kemudian Saliim; bersih, suci dan Salaam; Selamat, Keselamatan. Sangat jelas dan tegas bahwa Islam merupakan agama yang memiliki nilai-nilai kebaikan. Pun di rasa setiap agama apapun dan berasal dari manapun, jua demikian mengedepankan kedamaian bagi pemeluknya.
Bisa disimpulkan bahwa keributan yang terjadi, curiga bahkan menuduh, bahwa islam adalah muasal dari adanya tindakan teror yang terjadi di dalam negeri bahkan dunia, adalah tidak benar. Dapat dilihat dari sedikit saja penjelasan di atas, untuk kita dapat memahami dan menarik garis dari apa yang sebenarnya orang di balik aksi teror tersebut ingin lakukan. Tidak bisa dikatakan teroris atau apapun itu, apabila ia tidak mencerminkan apa makna islam yang sudah dijelaskan secara singkat di atas. Lebih jelas islam adalah agama penutup sekaligus penyempurna. Rahmatan lil alaamiin yang bermakna rahmat bagi semesta alam. Yang mencerminkan nilai-nilai keberserahan diri akan kuasa dan Kehendak-Nya, yang memuliakan sesama dan mengedepankan azas perdamaian.
“Loh, Jadi apa kalau bukan Islam? Orang dia jelas kok menggunakan atribut islam (Kerudung/Jilbab). Juga dengan surat wasiat yang ditinggalkan di rumah sebelum aksi, yang bernada meminta keluarganya agar jangan tinggalkan sholat 5 waktu serta melakukan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan keislaman?”
Di sinilah letak pentingnya literasi. Kesadaran spiritual dan kecerdasan intelektual yang menjadi pondasi bagi diri kita untuk kritis terhadap sesuatu yang bersifat irasional ataupun bertentangan dengan prinsip nalar sehat, menjadi tolok ukurnya. sekalipun ia berkenaan dengan apa yang menjadi keputusan mutlak untuk diyakini tanpa harus di pertanyakan. Dengan daya berpikir kritis yang ada, setidaknya kita bisa sejenak mem-filter segala yang dilihat ataupun didengar, untuk kita lakukan kajian dan perbandingan.
Dengan begitu, kita tidak menjadi sumbu pendek yang cenderung mudah menyimpulkan sesuatu hanya dari satu sudut pandang yang ada, kemudian dengan mudahnya terpancing, terhasut dan terprovokasi, tanpa pernah mencari lebih jauh tentang benar atau tidaknya sesuatu tersebut dengan mencoba melihat dan mendengar dari sudut pandang yang lain. Dalam agama, memang yang hak dan bathil adalah suatu keharusan (mutlak), sehingga padanyalah kebenaran sejati terletak, dan di luar dari pada itu adalah salah. Namun menjadi perpanjangan dari tangan tuhan untuk melakukan suatu tindakan yang seharusnya adalah hak prioritas Tuhan itu sendiri hanya karena menganggap apa yang di luar dari yang ia yakini adalah kesalahan, adalah kesalahan besar.
Hal demikian terjadi dalam setiap kelompok agama. inilah yang pada akhirnya membuat umat beragama dalam memahami konsep ketuhanan guna mencapai tingkatan spritual dengan cara berkelompok, menjadi terkotak-kotak. Terjadi selisih dan saling merasa paling. Untuk kemudian membatasi yang satu dengan yang lain dengan menggunakan simbol-simbol sebagai dari satu jenis kelompok agama dan sampai akhirnya melekat menjadi ciri dan identitas.
Peristiwa teror di Mabes Polri, dapat dikatakan benar bahwa itu adalah atribut atau simbol yang biasa dikenakan oleh kebanyakan kaum perempuan yang memeluk agama islam, tapi tidak benar apabila dikatakan bahwa orang yang dimaksud adalah orang yang beragama islam, lantas mengatakan semua orang yang beragama islam adalah teroris. Sebab perbuatan yang ia lakukan, tidaklah mencerminkan nilai-nilai islam sesungguhnya, sekalipun ia melakukan praktik dari ajaran islam sendiri. Sampai sini dapat disimpulkan bahwa untuk mengidentifikasi apakah pelaku teror yang terjadi di Makassar dan Mabes Polri adalah orang yang beragama islam atau bukan, dapat kita lihat dari perbuatannya, bukan apa yang ia kenakan.
Jika kita masih bersikukuh saling menyalahkan, curiga bahkan menuduh antar sesama anak bangsa, tak ubahnya bahwa teror yang dilakukan oleh orang yang mengatasnamakan suatu kelompok agama tersebut adalah berhasil. Kita gagal dalam menangkap makna simbol. Kita lupa untuk menyibak apa yang tersirat dari yang tersurat, apa yang hendak orang di balik kejadian ini ingin sebarkan. Ini merupakan ancaman. Ia menggunakan “simbol” sebagai senjata. Pertama ia gunakan simbol agama yang menjadi benteng terakhir dari setiap penduduk Indonesia, untuk dapat hidup berkelompok dengan damai. Kedua ia menyerang Mabes Polri, yang mana ia merupakan simbol dari pertahanan dan kemanan negara.
Sebagai anak bangsa, sepatutnyalah kita harus bersatu, jangan mau diadu-domba dan dipecah-belah.
Lahat, 02 April 2021