Oleh : Akhmad Idris
Sapaan adalah kebiasaan sehari-hari yang tak bisa lepas dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial⸻baik yang memiliki hubungan kekerabatan maupun non-kekerabatan⸻begitu juga di dalam karya sastra. Setiap tokoh memiliki kata sapaan untuk menyebut tokoh-tokoh lain yang berkaitan dengannya. Namun bagaimana jika kata sapaan yang digunakan tidak sesuai dengan makna referensial kata itu sendiri? Fenomena seperti ini lazim terjadi di dalam sebuah karya sastra, karena karya sastra ‘dituntut’ memiliki kode estetik untuk memenuhi aspek dulce di dalamnya. Satu di antara cara menyajikan kode estetik adalah mengadakan hal-hal yang tidak biasa ada. Cukup banyak penulis yang menghadirkan kode estetik ‘tidak biasa’, namun salah satu penulis yang dengan lincah ‘mempermainkan’ kata sapaan di dalam karyanya adalah Knut Hamsun⸻novelis asal Norwegia yang berhasil memperoleh penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1920.
Knut Hamsun memamerkan kemampuan tersebut di dalam novelnya yang berjudul Sult. Sebuah novel yang bercerita tentang seorang penulis muda dari sudut pandang orang pertama yang berjuang menahan rasa lapar selama hidup di Christiania. Perjuangannya sebagai penulis muda tidak berarti tanpa hambatan, meskipun kelak ia berhasil menyabet penghargaan prestisius Nobel Sastra. Sang tokoh utama harus mengalami penolakan naskah berkali-kali, hingga terpaksa mengirimkan semua barang miliknya ke rumah gadai. Di kantor penerbitan surat kabar dan rumah gadai inilah Knut Hamsun ‘mempermainkan’ kata sapaan. Sebut saja seperti penggunaan kata sapaan ‘paman’ yang seharusnya digunakan untuk menyebut/memanggil saudara laki-laki ayah atau ibu, ternyata justru digunakan untuk menyapa ‘pemilik rumah gadai’ (halaman 136) & penggunaan kata sapaan ‘komandan’ yang seharusnya digunakan untuk menyebut/memanggil pemimpin sebuah pasukan, ternyata malah digunakan untuk menyapa ‘redaktur surat kabar’ (halaman 145). Hal tak biasa seperti ini disebut apa?
Metafora Konseptual
Menanggapi pertanyaan sebelumnya⸻sapaan yang tidak pada tempatnya⸻George Lakoff & Mark Johnson dalam karya mereka yang berjudul Metaphors We Live By menyebutnya dengan istilah metafora konseptual. Bagi Lakoff dan Johnson, metafora dalam bahasa adalah hasil analogi dari konsep yang dihasilkan oleh manusia. Melalui konsep inilah terjadi pemetaan silang antara ranah sumber (source domain) dan ranah target (target domain). Selanjutnya, proses pemetaan dilakukan dengan cara memahami ranah sumber berdasarkan pengalaman lingkungan fisik dan budaya dalam masyarakat, sehingga ditemui kesesuaian antara ranah sumber dengan ranah target.
Jika dikaitkan dengan penggunaan sapaan dalam novel Sult karya Knut Hamsun, maka sapaan ‘paman’ & ‘komandan’ disebut sebagai ranah sumber (source domain), sedangkan pemilik rumah gadai & redaktur surat kabar disebut sebagai ranah target (target domain). Ranah sumber dapat dimaknai sebagai wujud metafora yang digunakan di dalam karya sastra dan ranah target bisa diartikan sebagai maksud yang sesungguhnya dari metafora yang digunakan.
Berdasarkan deskripsi lingkungan fisik dan budaya dalam novel Sult, metafora ‘paman’ digunakan untuk menyapa pemilik rumah gadai karena didasari atas dua kesamaan, yakni sama-sama diharapkan bantuan dan pengertiannya. Sosok paman cenderung menyayangi kemenakan seperti anaknya sendiri, sehingga diharapkan memberikan bantuan ketika kemenakannya sedang kesusahan.
Sama halnya dengan pemilik rumah gadai di novel Sult yang selalu ditemui tokoh utama ketika tokoh utama sedang membutuhkan bantuan untuk masalah uang. Sementara untuk metafora ‘komandan’ dipakai untuk menyapa redaktur surat kabar, sebab antara komandan dan redaktur memiliki kesamaan dalam hal tugas dan fungsinya. Seorang komandan memiliki tugas untuk menentukan nasib kenaikan pangkat anak buahnya, persis seperti tugas seorang redaktur surat kabar di novel Sult untuk memilih tulisan yang layak muat atau tidak. Oleh sebab itu, tokoh utama ingin menghadirkan tulisan terbaik kepada sang redaktur sebagaimana anak buah yang ingin menunjukkan prestasi terbaiknya di hadapan sang komandan.
Kisah ketika tokoh Aku senantiasa meminta bantuan kepada ‘Paman’ terjadi saat tokoh Aku hendak menggadaikan kancing-kancing bajunya (padahal tak akan ada rumah gadai yang menerima kancing baju sebagai jaminan) dengan harapan sosok ‘paman’ dapat membantu meringankan penderitaannya, sebagaimana yang tertulis dalam kutipan berikut,
“Barangkali Paman dapat berikan beberapa ore bagi kancing-kancing ini?…. Tak peduli berapa … Terserah pada P…” (halaman 136)
Jika pada sosok ‘Paman’ tokoh Aku merengek minta bantuan, maka lain halnya ketika berhadapan pada sosok ‘Komandan’. Di hadapan ‘Komandan’, tokoh Aku akan menjaga harga dirinya serta berusaha menunjukkan kemampuan terbaiknya agar sang ‘Komandan’ tersenyum bangga seperti yang tercatat dalam kutipan berikut ini,
Bagaimanapun juga, ia telah memperlakukanku dengan sangat ramah, dan aku berterima kasih padanya untuk kehalusan budinya; dan aku harus tahu diri, dan jangan salah kaprah. Aku bertekad takkan datang padanya lagi sampai aku sanggup membawa suatu karya yang akan membuat “Komandan” terkesan, sehingga ia akan membayarkan sepuluh krone tanpa ragu-ragu sesaat pun. Dan aku pulang lagi, dan mulai menulis lagi (halaman 145).
Lewat kutipan di atas, Knut Hamsun menggunakan sapaan ‘Komandan’ untuk seorang redaktur koran karena ada kemiripan di antara keduanya bagi tokoh Aku. Menilik pada data-data yang telah disajikan, agaknya sapaan metaforis yang digunakan oleh Knut Hamsun dalam novel ini berfungsi sebagai pemanis sekaligus bukti sisi humoris penulis. Meskipun novel Sult bertema penderitaan, tidak berarti sang pengarang tidak mampu menyajikan cerita yang mengandung unsur candaan.
Akhir kata, novel ini memang novel yang bagus dan becus⸻laik menjadi tulisan seorang peraih Nobel Sastra⸻namun untuk edisi terjemahannya ini masih ditemui beberapa kesalahan pengetikan. Misalnya saja kata [percobaal] di halaman 24 yang seharusnya [percobaan], kata [caca] di halaman 123 yang seharusnya [cara], kata [irii] di halaman 148 yang seharusnya [ini], kata [tidak] di halaman 152 yang seharusnya [tindak], dan kata [kertasn] di halaman 238 yang seharusnya [kertas]. Kesalahan semacam ini hanyalah kekurangan ringan di antara keluasan kelebihan, seperti buih di tengah lautan.
AKHMAD IDRIS, lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kelahiran 1 Februari 1994. Saat ini menjadi dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Karya solonya yang telah diterbitkan adalah buku kumpulan esai Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020). Baru-baru ini lolos dalam seleksi terbuka peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) yang ke-3 yang diadakan oleh Balai Bahasa. Beberapa artikel ilmiah juga pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri). Dapat dihubungi di fb Akhmad Idris, dan instagram @elakhmad.