Oleh: Indra Intisa
Puisi lama adalah puisi yang sangat terikat oleh aturan-aturan, baik itu perimaan, jumlah kata, baris ataupun bait. Biasanya puisi-puisi ini sering dituturkan turun-temurun oleh para sesepuh sehingga nama pengarangnya pun kadang tidak dikenal. Barulah kemudian kebebasan dalam puisi sedikit mulai terbuka pada aliran puisi baru yang lebih mengikat pada bentuknya saja, sedangkan isi bisa lebih bebas dan luas dibandingkan puisi lama yang lebih banyak berkutat pada nasihat ataupun cerita. Sedangkan pada puisi modern, orang-orang sudah mulai melupakan dan meninggalkan bentuk-bentuk aturan kaku (konvensional) seperti yang terlihat pada puisi kontemporer.
Dari sekian banyak jenis puisi lama, hanya pantun yang benar-benar hidup dan membumi dalam pemahaman dan pengetahuan masrayarat secara umumnya. Sedangkan jenis puisi lama lainnya, tidak begitu diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Selain itu, sebagian besar orang-orang masih mengira pantun bukanlah sebuah puisi, hingga seolah-olah pantun adalah salah satu jenis seni karya sastra selain puisi. Padahal pantun juga merupakan salah satu bagian dari sebuah puisi. Sangat menyedihkan memang, tetapi begitulah kejadian dan keadaan yang sesungguhnya.
Penyair muda, atau mungkin penyair kontemporer lebih menyukai bentuk kebebasan dalam berekspresi, berpendapat atau mungkin berkarya. Itu ditandai dengan banyaknya bentuk puisi yang isinya lebih menonjolkan bentuk kritikan, cacian atau mungkin terlihat lebih erotis dalam penyampaiannya. Majas sarkasme kadang bisa lebih menonjol daripada majas sindirian seperti majas ironi dalam penyampaian maksud. Mereka berdalih itu adalah seni. Sedangkan dalam puisi lama, bentuk kritikan atau perbaikan lebih sering disampaikan dalam bentuk pesan yang lembut, sopan dan bersahaja, seperti halnya syair nasihat atau cerita legenda. Kesemuanya adalah ajaran yang bisa dijadikan contoh. Sekalipun ada bentuk puisi lama seperti seloka yang isinya mengedepankan bentuk sindiran, tetapi tetap saja unsur sopannya masih melekat.
1. Syair
Syair adalah salah satu jenis puisi lama. Ia berasal dari Persia (sekarang Iran) dan telah dibawa masuk ke Nusantara bersama-sama dengan kedatangan Islam. Kata syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. Kata syu’ur berkembang menjadi kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum.
Syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi, dalam perkembangannya syair mengalami perubahan dan modifikasi, sehingga syair didesain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Selanjutnya, syair tersebut menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri Arab. Penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas Melayu adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya, antara lain: Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir. Ciri-ciri syair:
• Terdiri atas 4 baris tiap bait;
• Setiap bait memberi arti sebagai satu kesatuan;
• Tiap baris rata-rata terdiri dari 4 kata dan (8-16) suku kata;
• Persajakan akhir (rima) a-a-a-a;
• Isi syair biasanya berupa nasihat, petuah, dongeng/cerita.
Contoh syair:
Pada zaman dahulu kala
Tersebutlah sebuah cerita
Sebuah negeri yang aman sentosa
Dipimpin sang raja nan bijaksana
2. Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang terdiri dari 2 larik dalam setiap bait. Gurindam berasal dari bahasa Tamil (India) yaitu kirindam yang berarti mula-mula, amsal, perumpamaan.
Sebagian mengatakan, bahasa tersebut bermula dari bahasa sanskerta. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah, atau perjanjian. Sedangkan baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi. Ciri-cirinya:
• Terdiri atas 2 baris tiap bait;
• Setiap bait memberi arti sebagai satu kesatuan;
• Baris pertama berisi semacam soal, masalah atau perjanjian. Dan baris kedua berisi sebagai jawaban atau akibat dari masalah baris pertama;
• Tiap baris rata-rata terdiri dari 4 kata dan (8-16) suku kata. Jumlah ini tidak terlalu mengikat, beberapa gurindam ditulis dengan jumlah lebih atau kurang;
• Persajakan akhir (rima) a-a
• Isi gurindam biasanya berupa nasihat atau petuah
• Bersajak a-a
Contoh:
Kurang pikir kurang siasat
Tentu dirimu akan tersesat
Barangsiapa tinggalkan sembahyang
Bagai rumah tiada bertiang
Jika suami tiada berhati lurus
Istri pun kelak menjadi kurus
Di Indonesia, gurindam yang sangat terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji.
3. Pantun
Pantun (Jawi: ڤنتون) merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti “petuntun”. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Tetapi, beberapa penelitian mengatakan, sampiran juga berpengaruh dan berhubungan dengan isi. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Ciri-ciri pantun:
• Terdiri atas 4 baris tiap bait;
• Baris pertama dan kedua sebagai sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi;
• Tiap baris rata-rata terdiri dari 4 kata dan (8-16) suku kata;
• Persajakan akhir (rima) a-b-a-b, tetapi ada juga pantun yang ditulis dengan rima a-a-a-a-a.
Contoh pantun:
Tanjung katung airnya biru
Tempat budak mencuci muka
Lagi sekampung hatiku rindu
Tambah pula jauh di mata
4. Talibun
Talibun adalah sejenis puisi lama seperti pantun karena mempunyai sampiran dan isi, tetapi lebih dari 4 baris (mulai dari 6 baris hingga 20 baris). Tetapi ada juga yang mengatakan, kalau talibun adalah pantun yang memiliki susunan genap antara enam hingga sepuluh baris. Talibun kadang sering juga disebut sebagai pantun panjang. Aturan penulisannya, sama dengan penulisan pantun. Hanya saja, persajakan akhir (rima) dibuat: abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dstnya.
Contoh:
Membeli peti tempatnya baju (a)
Peti dibeli hari selasa (b)
Supaya harga menjadi murah (c)
Jikalau hati telah tertuju (a)
Marilah kita merajut asa (b)
Supaya diri tidak terpisah (c)
5. Karmina
Karmina disebut juga sebagai pantun kilat yang terdiri dari dua baris. Baris pertama sebagai sampiran, dan baris kedua sebagai isi. Ciri-ciri karmina:
• Terdiri atas 2 baris tiap bait;
• Baris pertama sebagai sampiran, sedangkan baris kedua adalah isi;
• Tiap baris rata-rata terdiri dari 4 kata dan (8-16) suku kata;
• Persajakan akhir (rima) a-a;
• Ada rima di tengah baris untuk menguatkan bunyi (penggalan frasa awal).
Contoh karmina:
Dahulu parang sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
Kalau kita simak contoh di atas, sebenarnya karmina tersebut terdiri dari 4 larik sebagaimana pantun umumnya.
Dahulu parang (a)
sekarang besi (b)
Dahulu sayang (a)
sekarang benci (b)
Ketika dipenggal menjadi 4 larik, kita akan bisa melihat ada persajakan akhir baru pada setiap lariknya a-b-a-b. Kalau dijadikan 2 larik, kita boleh saja menyebutnya sebaai rima tengah.
6. Mantra
Mantra adalah kata atau ucapan yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib. Kekuatan mantra dianggap dapat menyembuhkan atau mendatangkan celaka. Keberadaan mantra dalam masyarakat pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan kepercayaan, ghaib, dst yang dipakai oleh dukun dan pawing tertentu. Tetapi dalam perkembangannya, mantra dimasukkan ke dalam karya sastra lama yang dinamakan puisi mantra.
Contoh mantra:
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir simayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
Mantra banyak memakai bunyi-bunyian, onomatope (tiruan bunyi) yang seolah-olah terkesan dan terdengar ghaib—memberikan sugesti tertentu terhadap pendengar dan pembaca, atau rima-rima yang seolah membawa unsur tertentu. Jumlah kata, suku kata, larik, dan bait, biasanya tidak terikat.
7. Seloka
Kata seloka berasal dari bahasa Sanskerta sloka. Yang dimaksud dengan seloka adalah bentuk puisi Melayu Klasik yang memuat perumpamaan yang mengandung senda gurau, kejenakaan, khayalan, impian, sindiran, atau ejekan. Biasanya ditulis dalam dua atau empat baris namun juga terkadang beberapa ditemukan enam baris atau lebih dengan memakai bentuk pantun atau syair, gurindam, talibun (bahasa berirama), teromba atau mantra.
Dalam Sastra Melayu, seloka termasuk dalam jenis puisi bebas. Terkadang rima dapat muncul namun beberapa tanpa ada rima. Secara keseluruhan, seloka berisi cerita yang benar-benar telah dikenal dalam masyarakat Melayu, seperti Seloka Pak Kaduk, Lebai Malang, dan lain-lain. Fungsi seloka tetap seperti karya-karya sastra Melayu yang lain, yaitu sebagai pengajaran ataupun panduan bagi anggota masyarakatnya. Berikut contoh Seloka:
SELOKA PAK KADUK
Seloka Pak Kaduk
Aduhai malang Pak Kaduk
Ayamnya menang kampung tergadai
Ada nasi dicurahkan
Awak pulang kebuluran
Mudik menongkah surut
Hilir menongkah pasang
Ada isteri dibunuh
Nyaris mati oleh tak makan
Masa belayar kematian angin
Sauh dilabuh bayu berpuput
Ada rumah bertandang duduk
Seloka Pak Kaduk merupakan sebuah contoh seloka dengan format bebas. Tidak terikat dengan jumlah kata, baris ataupun rima (persajakan akhir larik). Seloka juga bisa dibuat dengan bentuk syair empat larik yang berima a-a-a-a. Perhatikan contoh berikut:
Sudah bertemu kasih sayang
Duduk terkurung malam siang
Hingga setapak tiada renggang
Tulang sendi habis berguncang
Beberapa referensi mengatakan bahwasanya seloka juga dikatakan sebagai pantun berkait. Pola pantun berkait memang sering dikatakan sebagai seloka—oleh masyarakat dan beberapa buku rujukan. Tetapi jika kita simak sejarah dan konsep umumnya, seloka tidak terpaku pada bentuk pantun berkait saja. Tetapi inti yang ditekankan adalah pada isi yang mengandung senda gurau, kejenakaan, khayalan, impian, sindiran, atau ejekan. Berikut bentuk seloka dalam bentuk pantun berkait:
Lurus jalan ke Payakumbuh
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh
Ibu mati bapak berjalan
Kayu jati bertimbal jalan
Turun angin patahlah dahan
Ibu mati bapak berjalan
Ke mana untung diserahkan
Perhatikan pola pada pantun berkait di atas, terlihat keterkaitan antara larik kedua pada bait pertama dengan larik pertama pada bait kedua. Begitu juga dengan larik ke empat pada bait pertama dengan larik ketiga pada bait kedua. Bentuk keterkaitan ini membuat pola menjadi berkait.
Pada dasarnya, tidak semua puisi lama yang mengandung nasihat. Puisi lama yang mengandung nasihat sering terletak pada jenis syair dan gurindam. Sedangkan pantun, seloka dan gurindam lebih bebas dan menyesuikan tema yang ingin diangkat oleh penutur atau penyair. Puisi seloka lebih banyak digunakan sebagai kritik dan ejekan pada seseorang, golongan, ataupun siapapun yang ingin dikritik atau disindir. Tetapi pada semuanya tetap saja mengandung hikmah dan manfaat sehingga bisa menjadi nasehat bagi orang-orang yang mau memahaminya.
Sedangkan puisi mantra adalah puisi yang diambil dari mantra-mantra atau kata dan ucapan yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib. Kekuatan mantra dianggap dapat menyembuhkan atau mendatangkan celaka, atau bisa juga digunakan sebagai pengasihan. Tetapi jikapun begitu, dalam dunia puisi, mantra juga bisa dibuat menjadi lebih luas lagi.
***************
Biodata Penulis
Indra Intisa yang sering dikenal dengan Ompi sudah menulis sejak kecil. Selain menulis, juga suka bermain musik dan menulis lagu-lagu. Menulis buku-buku puisi, cerpen, novel, dan esai-esai. Beberapa karyanya pernah terbit di Koran: Media Indonesia, Utusan Borneo (Malaysia), Riau Pos, Tanjung Pinangpos, Lampung Post, Haluan, Pontianak Pos, Koran Padang, Floressastra dan beberapa media online seperti Kawaca.com, Islampos.com, Sastra-Indonesia.com, dst.
DAFTAR BACAAN
_____. Gurindam [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Gurindam [diakses Tanggal 01 Januari 2015] dan [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Karmina [online]. https://id.wikipedia.org/wiki/Karmina [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Mantra [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Mantra [diakses Tanggal 01 Januari 2015] dan [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Puisi [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi [diakses Tanggal 01 Januari 2015] dan [diakses Tanggal 07 April 2021] dan [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Syair [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Syair [diakses Tanggal 01 Januari 2015] dan [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Seloka [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Seloka [diakses Tanggal 01 Januari 2015] dan [diakses Tanggal 07 April 2021]
_____. Satra Melayu [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Melayu [diakses Tanggal 01 Januari 2015]
_____. Talibun [online]. https://id.wikipedia.org/wiki/Talibun [diakses Tanggal 07 April 2021]
Indra, Ahmad. 1998. “Kesusastraan Indonesia Lama”. Dalam Satyagraha Hoerip (Ed.). 2000. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Indrojionao. 2008. Seloka [online]. http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2129/seloka [diakses Tanggal 01 Januari 2014]
Intisa, Indra. 2015. “Manuskrip Puisi Lama”. Nasihat Lebah II. Trenggalek: Penerbit RoseBook.
Mahayana, Maman S. 2017. Jalan Puisi dari Nusantara ke Negeri Poci. Penerbit: Buku Kompas..
Sugono, Dendy. 203. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas
Dt. Rajo Penghulu, M. Sayuti. 2005. Tau Jo Nan Ampek. Penerbit: Mega Sari Kerjasama Sako Batuah
Zuber, Usman. 2003. “Kesusastraan Indonesia Lama”. Dalam Rieke Diah Pitaloka (Ed.). 2003. Dasar-dasar Penulisan Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama