MATA INGATAN
Sejumlah hal yang terlanjur ia simpan telah pecah di akhir Desember. Orang-orang berlintasan seperti sketsa mata yang terkubur di silau lampu atau embun cahaya. Agaknya memang kita terbiasa untuk menempuh jalanan kenangan. Lalu mencatatnya dengan kuat bersama ingatan. Bahkan ketika pagi telah berlalu. Membeku di matamu.
2020
SEBELUM PAGI
Cahaya matahari adalah getih yang menyisa di beranda. Rumah yang masih lelap dan percakapan tentang akhir tahun. Barangkali semacam bekas waktu yang terlanjur membatu. Dan rindu adalah ingatan rekah tentang batas mimpi yang terjaga. Tapi di mana lagi ia menemukan dirinya dengan utuh. Sebab cinta terlalu kecut di pangkal lidah, yang tak bisa diucap. Bahkan ketika barisan iklan dari layar ponsel atau layar peristiwa terkunci dalam sejumlah pesan masuk. Tersuruk namun tak mampu dipeluk. Berapa banyak hal yang cepat menguap dan dilupakan.
Ada yang tertinggal di dalam ponsel itu, diri kita di masa lalu.
Ia akan melintasi hari ini. Tapi tidak dengan tergesa. Sebab ia percaya pagi akan datang lebih cepat di rumahnya. Di sekeliling langkah dan kisah kemarin dari anak-anaknya. Barangkali ia memang mesti percaya untuk menempuh segala yang masih tersisa. Yang pernah ada di tubuhnya.
2020
SEBELUM SIANG
Gesa langkah. Jalanan yang ramai. Kota yang menyimpan sisa hujan. Sebelum para pekerja berbaris di restoran dan rumah makan. Menelusup di gelisah jam istirahat. Namun engkau duduk sendiri. Ruangan kosong dengan berita televisi yang menanak duka. Tiba-tiba, aku ingin menulis pesan nakal padamu. Tentang rindu yang berpetualang di hangat tubuhmu
Mengapa rindu begitu asing dan sering muncul dengan tiba-tiba? Tapi matahari begitu kosong dan setiap percakapan menjelma kertas putih. Menyeret sepi yang terus tumbuh. Menjauhi kerumununan di masa pandemi.
2020
SEBELUM SORE
Jingga senja yang acap kau catat, telah lama remang. Hanya layu kota yang menunggu malam, seperti tak usai mengusap lelahmu. Tapi engkau bertahan untuk menjadi lelaki berani di kota ini. Menyimpan atau menghalau segala petaka.
Sebentar lagi kerumunan akan menunggu. Orang-orang tergesa, melipat jadwal pulang dan menyisir setiap pengap atau harap. Dengan masker warna-warni, menelusuri sunyi. Menepi agar tidak membawa virus tirus ke dalam rumah.
Dari sisa kecut kota dan gerimis yang sebentar. Telah lewat di sisa langkah. Matahari terlipat dengan sempurna.
2020
SEBELUM MALAM
Yang merapat di jejak gelap. Gordin di rumah yang menutup, lampu-lampu menyala dan kota menyimpan segala muslihat atau lelah yang tak kunjung diusap. Seorang perempuan memeluk dirimu dalam kesendirian. Tapi ciumannya menjadi nyata, semacam getah hari yang meluap di tubuhmu.
Beberapa lampu di simpangan jalan kota mulai menyala. Pijar yang serupa desis ular, menyimpan segala kelenjar kabar. Engkau bertahan pada ingatan dari rindu yang pernah lungkrah. Meski percaya belum sepenuhnya kalah.
2020
DI MATAMU ADA JANUARI
Tak ada terompet dan tanggalan berganti. Di matamu ada Januari. Bekas-bekas hujan menggenang di jalanan kota. Merapikan segala suntuk tahun lalu. Ingatan mengelupas seperti tangisan bayi dan erang seorang ibu saat kelahiran. Kau ingin mencatatnya sebagai puisi, tapi tak ada kilau kembang api di langit. Kesunyian menekuk Januari diam-diam. Di setiap pintu rumah, seluruh kota yang diam.
2021
ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, NulisBuku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, NulisBuku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbitbasabasi, 2016). Penyair dapat dihubungi melalui Facebook: Alex R. Nainggolan dan email: alexr.nainggolan@gmail.com