Oleh : Syukur Budiardjo
Puisi sebagai karya kreatif mengekspresikan pikiran dan perasaan penyair. Pikiran dan perasaan penyair ini sebenarnya merupakan kristalisasi pengalaman penyairnya dalam menyerap, mengalami, dan memandang kehidupan. Penyair berinteraksi dengan orang lain, lingkungan, dan masyarakat. Penyair menginternalisasi semua itu ke dalam jiwa dan raganya dengan menggunakan hati, pikiran, dan panca indranya.
Contoh puisi yang nyaman dan familiar kita apresiasi karena sering kita baca dan terkenalnya puisi tersebut adalah puisi karya penyair Pelopor Angkatan 45, Chairil Anwar. Puisi-puisinya merupakan curahan pikiran dan perasaannya yang ditulis berdasarkan kristalisasi pengalaman yang menggumpal di dalam jiwanya. Misalnya puisi “Derai-derai Cemara”, “Perjanjian dengan Bung Karno”, “Senja di Pelabuhan Kecil”, “Kupu Malam dan Biniku”, “Malam di Pegunungan”, “Doa”, “Diponegoro”, dan “Aku”.
Anak Sekolah Akan Berziarah ke Kuburku
Chairil Anwar, ia penyair legendaris. Penyair yang terkenal dengan larik puisinya, “aku ini binatang jalang” ini lahir di Medan (Sumatera Utara) pada 26 Juli 1922 dan meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949.
Ia disebut penyair pelopor Angkatan 45 oleh kritikus sastra H.B. Jassin. Anak-anak sekolah hafal beberapa puisinya, seperti “Doa”, “Aku”, dan “Doponegoro”. Ia juga sangat terkenal dengan puisi sadurannya, “Karawang-Bekasi”. Puisi “Karawang-Bekasi” terpampang juga di patungnya yang terletak di Taman Monumen Nasional (Monas).
Dalam usinya yang 27 tahun, Chairil Anwar menghasilkan 71 puisi asli, 2 puisi saduran, dan 7 prosa. Sedikit memang. Namun, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Jerman. Selain itu, puisi-puisinya juga telah diteliti oleh banyak mahasiswa calon sarjana, calon magister, dan calon doktor sebagai skripsi, tesis, dan disertasi.
Dalam “Kenangan Menderai Sampai Jauh” Evawani Alissa Ch. Anwar, putri Chairil Anwar, menulis demikian : Pada suatu ketika, Chairil pernah berkata kepada mama, mengenai cita-citanya, “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan”, katanya. (Panggilan kesayangan mama adalah Gajah, karena badannya memang gemuk). “Ah, kalau umurmu panjang kamu bakal masuk penjara,” gurau mama. Kemudian selanjutnya Chairil menyambung lagi. “Tapi kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga,” demikian katanya. (Kata Pengantar Evawani Alissa Ch. Anwar, Derai-derai Cemara: Puisi dan Prosa Chairil Anwar (Cetakan Ketiga), Jakarta: Majalah Sastra Horison bekerjasama dengan PT. Cakrawala Budaya Indonesia, 2006, halaman xii-xiii).
Ia memang berusia pendek seperti yang diramalkannya. Namun, puisi atau sajak karyanya senantiasa menginspirasi siapa pun. Puisi-puisi karyanya tak berusia pendek seperti penyairnya. Namun puisi-puisinya berusia panjang, puisi yang mengabadi dan dibaca oleh masayarakat sastra Indonesia sepanjang masa. Puisi atau sajaknya melegenda.
Puisi yang Meramalkan Kematiannya
Puisi Chairil Anwar “Yang Terampas dan yang Putus” berikut ini tentu sangat menggetarkan.
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan kau bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
Puisi Chairil Anwar tersebut menggambarkan keadaan jiwa penyairnya. Sebuah ramalan kematian yang akan menjemputnya. Memang di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet di Jakarta Pusat, penyair besar itu dimakamkan. Akurasi prediksinya yang mampu menembus masa depan pada kemudian hari ternyata terbukti. Getaran hatinya mampu mengungkapkan apa yang akan terjadi pada masa depan. Seolah-olah Chairil Anwar mampu menerawang apa yang akan terjadai pada dirinya.
Atau puisi “Derai-derai Cemara” berikut ini.
DERAI-DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Gelora harapan Chairil Anwar akhirnya terbentur kenyataan. Ia mengakui kekalahan dan kemudian menyerah oleh berbagai keadaan yang melingkupi jiwanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan mungkin juga negeri yang baru beberapa tahun merdeka.
Hidup hanya menunda kekalahan. Satu larik puisi ciptaan Chairil Anwar ini melegenda. Diamini oleh banyak orang sepanjang masa. Siapa yang tak dikalahkan oleh “maut”? Diktator terkejam, tiran terangkuh, dan raja atau presiden paling ditakuti pun tak mampu mengalahkannya. Konglomerat terkaya di dunia sekalipun juga demikian.
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Dua larik terakhir dari puisi “Derai-derai Cemara” di atas secara gamblang dan tegas sikap penerimaan Chairil Anwar terhadap maut. Sebuah peristiwa dan momen yang dihadapi oleh setiap manusia adalah keadatangan malaikat maut yang akan menjemputnya. Kemudian akan membawanya ke alam keabadian. Ia pun menyerah dan pasrah.
Hidup hanya menunda kekalahan. Pemenang sejatinya hanyalah mereka yang mampu mengakhiri hidupnya dengan husnul khotimah. Menemukan rida Allah dengan ikhlas. Menemukan cinta sejati dari-Nya dengan kepasrahan total. Layaknya Chairil Anwar yang berserah diri kepada-Nya.
Ditilik dari judul puisinya, “Yang Terampas dan yang Putus”, dapat kita tafsirkan bahwa hidup Chairil Anwar terampas (mungkin oleh penyakit yang dideritanya). Ini tentu saja berakibat vatal karena hidupnya di dunia ini akan segera putus, sehingga tak mempunyai kans lagi karena tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.
Layaknya sebuah wasiat, ke mana ia harus dimakamkan. Ia sudah mempunyai tempat untuk tidur panjang, merebahkan dan mengistirahatkan tubuhnya. Ia telah memilihnya: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin.
Juga dari judul puisi “Derai-derai Cemara”, yang sangat terasa bernuansa simbolik, kita bisa menasirkan bahwa hidup manusia layaknya daun yang menua dan menguning dan senantiasa bergoyang kemudian luruh ke bumi karena diterpa angin.
Memang, hidup hanya menunda kekalahan. Sekarang atau nanti, kekalahan itu mengikuti manusia meski tanapa disadari. Kecuali bagi orang-orang yang beriman dan berbuat saleh. Kecuali orang-orang yang bersabar dan bersyukur kepada-Nya.
Cibinong, April 2021.
Syukur Budiardjo, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media daring, dan media sosial. Kontributor sejumlah antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo. Email : budiharjosukur@gmail.com.