Oleh : Yuditeha
Sore itu Yogya jatuh di tangan perampok. Asap gulita yang keluar dari bekas pemboman membumbung. Angin panas melesat cepat lalu menerjangnya, membuat bongkahan asap besar itu seperti mendapat benturan hingga ambyar, lalu menyebar ke segala penjuru. Langit Yogya seketika kelabu, seperti warna tembok yang belum terlabur cairan gamping. Tak lama kemudian angkasa yang muram itu tampak retak-retak, dan dari celah retakan itu seperti muncul gumpalan-gumpalan pekat membentuk wajah-wajah iblis.
“Pasukan iblis merajalela!”
“Celaka!”
“Bung Karno dan Bung Hatta diculik!”
“Perampok telah menguasai kota!”
Teriakan bersahutan tapi tidak begitu terdengar karena kalah dengan riuh kota. Lelaki itu melihat angkara murka sedang terjadi. Meski tanpa jimat, telinganya dapat menangkap suara-suara itu. Dadanya bergemuruh ketika menyaksikan langit bergambar wajah-wajah iblis yang kemudian menyatu, lalu seperti menjelma gergasi dengan mata merah menyala. Perihal keserakahan, lelaki itu mengatakan, jangan pernah merampok jika tak ingin dirampok. Jika perampok berani menyakiti pimpinan kota, dia ingin segera melenyapkannya.
Dengan jiwa juang, lelaki itu tahu apa yang mesti dilakukan. Terlebih dia telah mendapat ajaran dari kiai, yang akhirnya menjadi gurunya. Ajaran keimanan dan tuturan jiwa patriot dari gurunya itulah yang dijadikan tonggak keyakinan atas perjuangannya. Karena itu dia menjadi percaya diri lalu bertekad memerangi angkara murka. Keberanian dan kesalehannya selalu beriringan hingga membuat orang sering mengatakan bahwa meski dalam keadaan perang sekalipun lelaki itu tetap dalam keadaan suci. Pada saat kota dalam kuasa perampok, dia berusaha tetap bertahan dan tak ingin jatuh dalam tipu daya.
Bibit kegeraman lelaki itu berawal ketika dulu para perampok menganggap ilegal Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan di mana dia sedang belajar. Tak lama setelah lulus dia mendirikan Hizbul Wathan—organisasi Muhammadiyah—yang kemudian dia menjadi pemimpinnya untuk wilayah Cilacap. Keimanan dan keyakinannya terhadap kebenaranlah yang selalu menyadarkannya. Kini lelaki itu punya tanggung-jawab lebih besar, menjaga kota dari jarahan perampok.
Lelaki itu menoleh ke arah perbukitan. Dia menatap harapan yang terselip di antara batu cadas, rawa-rawa ganas, dan hutan lebat. Di setapak terjal, berlumpur, dan angker itulah dia seperti menemukan celah cahaya yang akan membawa dia dan para pengikutnya kepada harga diri. Dia akan terus melangkah, melintasi segala medan.
“Kita akan bergerilya, mempertahankan kemerdekaan kota hingga darah terakhir. Selama pejuang masih bersedia berjuang, perampok sebesar apa pun tak berhak mendaku sebagai pemilik kota. Tugas kita menjaganya, tak peduli pemimpin kota sedang diperdaya,” kata lelaki itu kepada pengikutnya.
Di medan yang sulit itu dia berusaha tetap waras, memperhatikan keadaan sembari setia menyakini pengertian tentang hikmah dari derita yang dia alami. Dengan tekad membaja, lelaki itu mengajak pengikutnya untuk terus bergerilya, mempertahankan kewibawaan kota. Dia teguh memegang keyakinan bahwa kesukaran yang mereka tempuh telah dianggap sebagai ikhtiar untuk memperoleh kemenangan atas segala keserakahan.
“Kita tidak kompromi dengan perampok,” kata lelaki itu saat mereka sedang melintasi hutan. “Kita tidak boleh pasrah ketika apa yang menjadi hak kita dirampas,” sambungnya.
Meski begitu sesungguhnya lelaki itu sedang menderita. Paru-parunya hanya berfungsi setengah. Tuberkulosis akut menyerang dirinya. Tapi tampaknya hal itu tak berarti apa-apa, karena baginya lebih baik mati daripada tidak bisa mengembalikan kota seutuhnya.
“Sekuat-kuatnya raga, tak berarti apa pun jika punya sifat pengecut, dan setinggi-tingginya ilmu tak berarti apa pun jika punya sifat pengecut. Latihan kita tidak berguna jika tekad kita lemah,” kata lelaki itu ketika ada salah satu pengikutnya menyarankan untuk beristirahat karena merasa kasihan dengan keadaan tubuhnya yang tampak ringkih.
Sementara, para perampok yang mendengar sepak terjang lelaki itu menjadi berang. Digerakkanlah Pasukan Iblis untuk menangkapnya, bila perlu mencincangnya. Tetapi setiap kali Pasukan Iblis berhasil membumi hanguskan wilayah yang diduga menjadi tempat singgah lelaki itu dan pengikutnya, tapi bom sedahsyat apa pun tak mampu membuatnya terhenti, karena baginya kewaspadaan adalah senjata, dan dia telah berlatih untuk itu.
Seperti halnya yang pernah terjadi, ketika lelaki itu memperhatikan langit yang semula biru cerah tiba-tiba menjadi abu-abu. Seisi hutan yang mereka lalui seketika menghitam. Bagi lelaki itu perubahan alam bukan dianggap bencana tetapi justru sebagai pengingat keadaan. Sebentar saja gerimis turun, tapi perjalanan gerilya tidak berhenti. Dia menganggap apa yang terjadi adalah berkah. Air lembut itu membasuh tubuh mereka.
Dalam tawakal lelaki itu lantas mengingat Alfiah, istri yang dia tinggal. Perempuan itu bukan saja mengikhlaskan dirinya kesepian tetapi juga menyerahkan harta yang dipunyainya. Ketika lelaki itu berusaha menolaknya, perempuan itu mengatakan bahwa dia tidak memerlukan barang itu, dan mengerti bahwa suaminya lebih membutuhkannya.
Kejadian haru itu membuat dia mengingat kembali saat pertemuannya dengan Alfiah. Ketika dulu lelaki itu mengajar di SD Muhammadiyah Cilacap bertemulah dengan Alfiah, yang akhirnya dinikahinya. Ketika sekolah di mana dia mengajar dijadikan pos militer Jepang, adalah awalnya dia tidak suka dengan segala bentuk penjajahan. Bagi lelaki itu mereka adalah perampok. Ketidaksukaan itu semakin hari semakin menebal.
“Boleh saja kita bersiasat, tapi jangan melantur, karena ketika kita sibuk berpikir seringkali lupa bersyukur,” kata lelaki itu ketika lolos dari bom Pasukan Iblis.
Mendengar kabar kegagalan Pasukan Iblisnya, Pimpinan Perampok murka. Karena itu Pemimpin Perampok mempekerjakan mata-mata untuk menyusup di antara pengikut lelaki itu. Pasukan Iblis yakin bahwa tak lama lagi mereka bisa melumpuhkan lelaki itu. Tetapi mereka tidak menyadari lelaki itu punya cara untuk meruntuhkan mata-mata.
“Dasar perjuangan kita adalah kesucian, yang artinya semua ada di tangan Allah. Sedangkan penderitaan yang sempurna adalah kebodohan yang disengaja,” kata lelaki itu. Entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba seorang dari mereka lari. Orang itu takut jati dirinya sebagai pengkhianat diketahui. Mata-mata itu kalah sebelum bertanding.
Di sebuah perhentian, lelaki itu dikepung Pasukan Iblis. Si Mata-Mata memberitahu kepada Pimpinan Perampok bahwa lelaki yang ada di hadapannya adalah lelaki yang mereka cari. Dengan satu tekanan pelatuk bedil, Pemimpin Perampok itu akan mampu membuat paru-paru lelaki itu tak akan berfungsi sama sekali. Tetapi ketika mata Pimpinan Perampok melihat lelaki itu seperti tidak percaya dia pemimpin gerilya. Karenanya Pimpinan Perampok merasa dipermainkan hingga pelor bedilnya justru dimuntahkan ke arah Mata-mata. Ketika Pasukan Iblis mundur, pengikut lelaki itu heran. Lelaki itu berkata bahwa dia berusaha untuk suci di mana pun dan kapan pun.
“Tempat terbaik pejuang di medan laga untuk merebut kemerdekaan. Dan kemerdekaan yang benar adalah bebas melakukan kebaikan, bukan bebas melakukan kejahatan,” tambah lelaki itu.
“Apa ajian Bapak hingga Pimpinan Perampok tidak bisa melihat Bapak?” sela salah satu pengikutnya.
“Saya hanya berpegang kesucian yang dicontohkan Nabi,” jawab lelaki itu.
“Bapak sungguh tidak punya jimat?” tanya pengikut yang lain.
“Jika ini bisa disebut jimat, inilah jimat saya,” jawab lelaki itu sembari menunjukkan kendi kecil yang selalu dibawanya.
“Apa khasiat kendi itu, Bapak?” tanya pengikut yang lain lagi.
“Air kendi ini menjaga kesucian wudu saya. Sudah saya katakan, dasar perjuangan ini adalah kesucian,” jawabnya.
“Sehebat itukah kendi milik Bapak?” tanya pengikutnya yang lain lagi.
“Semoga dengan saya mengatakan ini, kalian bisa mengerti maksudnya. Jika kita setia dalam ketakwaan sembari bersiaga, pada saat itulah iman kita berjalan beriringan dengan usaha kita. Sesungguhnya Allah mengerti apa yang sedang kita lakukan,” terangnya.
“Apakah berarti Allah berpihak kepada kita?” tanya lagi salah satu pengikutnya.
“Pengertian itu kita dapat jika kita benar-benar berpihak kepada kebenaran. Artinya kita tidak pernah mendapati sesuatu yang suci jika kita melakukan kesalahan,” jawabnya.
Meski begitu tetapi apa yang terjadi terhadap lelaki itu bukan lantas selamanya kemudahan. Kenyataannya sakitnya semakin parah. Dia harus ditandu agar bisa terus bergerilya. Namun justru penyakit itu dijadikan contoh bahwa manusia tidak punya kuasa atas segala yang di bumi. Kesucian yang diyakini terlepas dari kuasa itu. Baginya kesucian tetap harus diperjuangkan tanpa merujuk kepada nasib yang dijalani. Penjelasan itu membuat pengikutnya senantiasa ikhlas mendukung, termasuk mereka yang bertugas menandu.
“Tak ada guna kita meresahkan derita, karena hal itu akan menghilangkan bahagia. Mereka bisa saja mencelakai badan, mencincang jasad, tetapi jiwa kita dilindungi iman. Hal itu akan terus menyala dalam dada kita untuk merebut hak, tak peduli siapa pun musuh kita,” kata lelaki itu.
Dengan tabah dia menerima keadaan sembari setia kepada celah cahaya di antara batu cadas, rawa-rawa dan hutan lebat. Di celah-celah itu dia menyadari ada harapan tentang keyakinan bahwa seberat apa pun medan akan menemui kemuliaan. Sakit paru-paru yang menggerogotinya dijadikan jawaban atas kesetiaannya. Dia memilih mati jika tak behasil meredakan angkara murka.
“Pejuang harus menyertai kota sampai kapan pun. Untuk apa kita terbebas jika kota bukan lagi milik kita? Untuk apa kita hidup jika kesucian telah mati? Jika kesucian hilang, sesungguhnya sama dengan hilangnya kemanusiaan,” ucap lelaki itu di sela-sela perjalanan.
Meski ada beberapa orang yang mengatakan bahwa derita itu nasib buruk, namun menurutnya pemikiran seperti itu efek dari kebodohan. Lelaki itu juga mengatakan wujud dari kekuatan kelembutan adalah ketenangan.
“Jangan mudah tergelincir di saat tekanan datang, karena sesungguhnya segala muslihat dan provokasi dapat kita lalui dengan selamat jika kita takwa dan waspada,” terang lelaki itu.
Setelah kota aman, lelaki itu bersedia kembali ke Yogya. Meski begitu kesediaan itu bukan isyarat bahwa dirinya lelah, tetapi semacam isyarat bakti keadilan. Satu-satunya yang dipikirkan adalah kedaulatan kota. Keyakinan dan tekadnya tidak pernah luntur. Meski derita di tubuhnya semakin parah tetapi semangat juang masih terpancar di setiap langkahnya.
“Secara fisik saya telah menjadi barang mati tapi Allah masih menghendaki saya untuk menyelesaikan tugas ini,” kata lelaki itu.
Menjelang kakinya menapaki Yogya, mata lelaki itu melihat penampakan yang membuatnya bersedih. Rumah penduduk terbakar, warga bergelimpangan, pohon meranggas, binatang telah menjadi bangkai hingga baunya menyesaki pernapasan. Hati lelaki itu pilu, lantas matanya sempat basah sebelum memejamkan lagi untuk menemukan kesadarannya.
“Ketika kita bisa menghilangkan keserakahan bukan berarti kita boleh sombong dengan mengatakan semuanya itu kekuatan kita. Jika Allah telah berkehendak, sesungguhnya bisa membalikkan keadaan detik itu juga tanpa sempat kita menyesali,” terangnya lagi.
Lelaki itu kembali ke Yogya disambut ribuan warga. Pada saat itu paru-parunya nyaris tak berfungsi lagi. Bung Karno memprihatinkan keadaannya, hingga memintanya untuk berhenti. Tapi lelaki itu tersenyum, lalu memberi hormat pada Bung Karno.
“Paru-paru saya memang sudah tidak berfungsi baik, bahkan ada yang bilang waktu saya tidak lama lagi. Tapi saya masih punya paru-paru iman. Paru-paru inilah yang saya jadikan senjata untuk melindungi kota,” katanya kemudian.
Penyakit lelaki itu semakin parah, dan bertepatan dengan pengakuan kedaulatan kota, lelaki itu roboh. Tepat pada tanggal 29 Februari tahun 1950, langit yang semula biru muda tiba-tiba berubah abu-abu pekat. Rupanya sebuah tanda bahwa lelaki itu menghembuskan napasnya yang terakhir, dan kebumikan di Makam Semaki yang diiringi konvoi empat tank dan delapan puluh kendaraan bermotor. Lelaki itu gugur dan dinobatkan sebagai pahlawan. Penghargaan dari manusia tak berarti-apa-apa dibanding kesuciannya. Kewibawaannya alami hingga meruangi segala macam laku kebenaran. Jejak-jejak lelaki itu ada di batu cadas, di rawa ganas, dan di hutan lebat, bahkan selamanya akan ada di sekeliling kita.
YUDITEHA, Penulis puisi dan cerita. Pegiat Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 17 buku. Buku terbarunya Kumcer Sejarah Nyeri (Marjin Kiri, 2020), dan Kumcer Tanah Letung (Nomina, 2020). Penulis dapat dihubungi melalui Instagram : @yuditeha2 dan email : yuditeha2@gmail.com