Oleh : Ken Hanggara
Aroma malam pembantaian itu bertahan cukup lama sampai Ali Sabidin berhasil kabur dari penjara dan terdampar di suatu pulau dengan siput-siput sebagai penghuninya. Pulau tersebut tidak dihuni manusia, sehingga pembunuh keji yang menghabisi keluarga juragan tembakau itu harus mencari gua dan sumber pangan untuk bertahan dari musim dingin.
Seharusnya, Ali Sabidin tak terjebak di pulau dengan ribuan siput ini. Bahkan, dia tidak seharusnya dipenjara. Orang-orang itu pantas mati, itulah yang dia tuturkan jika tahanan lain di penjara yang mengurungnya empat tahun terakhir bertanya tentang setan apa yang merasukinya di malam pembantaian.
Siapa tak kenal Ali Sabidin setelah peristiwa mengerikan itu? Hampir semua orang di Kota A mengenalnya, dan menyusul orang dari kota-kota dan negeri lain turut hafal atau setidaknya pernah mendengar namanya. Sebagian besar dari mereka mengutuk dan memberi Ali Sabidin julukan pria paling biadab di muka bumi karena perbuatannya.
Foto-foto di TKP yang bocor ke khayalak, juga kabar tambahan (yang tidak begitu diperjelas petugas kepolisian dalam konferensi pers atau dalam berbagai wawancara), membangun image baru bagi seorang Ali Sabidin, dari yang tadinya hanya sebagai lelaki bujang lapuk biasa yang sakit hati, menjadi pria dengan ruh binatang-binatang liar dalam dirinya.
“Tak ada manusia biasa yang bisa berbuat sekeji itu, kecuali ada binatang-binatang gaib yang menghuni setiap jengkal daging dan tulang belulangnya, atau paling tidak di kepalanya tak lagi tersisa kewarasan.”
“Tapi, menurut laporan medis yang diberitakan, dia tidak menderita penyakit jiwa apa pun. Dia seratus persen waras.”
“Artinya memang ada binatang-binatang jahat dalam diri Ali Sabidin.”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Entahlah, mungkin dia bersekutu dengan iblis.”
Begitulah percakapan yang lumrah terjadi tentang Ali Sabidin dari mulut berbagai manusia dari segala kalangan.
Orang-orang bertepuk tangan puas di meja makan, meeting room, depan toko-toko elektronik, WC umum, ruang bersalin, supermarket, dan bahkan di jalanan Kota A yang dicap paling terbelakang karena dihuni kaum marginal yang kerap tertangkap polisi oleh perbuatan pelanggaran hukum kecil-kecilan, begitu kabar hukuman bagi Ali Sabidin itu resmi dinyatakan. Hukuman yang di mata orang-orang paling pantas baginya: hukuman mati. Setiap tempat dan setiap jiwa seakan merayakan hukuman itu bagi sang pembantai. Bapak Hakim yang terhormat diundang ke berbagai acara bincang live di TV swasta karena perannya yang dianggap patut diacungi jempol.
“Ali Sabidin tak berkeluarga dan tak akan ada yang merindukannya. Dia juga layak memetik maut yang dia tanam dalam keluarga juragan tembakau yang tak berdosa itu,” kata netizen bernama Sanny Mudakir, di sebuah page media ternama yang membagikan link berita itu.
“Biar mampus di neraka!” umpat netizen lain dengan nama akun Manusia Paling Imut di NKRI.
“Alhamdulillah,” ucap netizen dengan nama akun terdiri dari empat kata dari huruf Arab yang tak mudah dilafal bagi lidah orang keseringan mabuk dan main perempuan.
Begitu banyak kutukan dan rasa syukur yang melayang di udara, dari Kota A, dan kota-kota lain di seluruh penjuru bumi, yang mendengar kasus pembantaian ini. Malam itu orang-orang terlelap. Seisi rumah tak sadar maut mengintai mereka dari teras depan. Ali Sabidin bekerja sendiri menghabisi seisi rumah dan memutilasi enam orang itu dan membuang potongan tubuh mereka ke sebelas titik berbeda di sudut-sudut Kota A yang paling muram. Tak cukup sampai di situ; potongan kepala keluarga itu, yang tidak lain adalah majikannya sendiri, dipanggang dalam oven untuk disajikan pada anjing-anjing mereka yang kelaparan. Sebuah rumor beredar mengatakan bahwa si pelaku diam-diam ikut dalam acara makan dadakan itu dan menelan daging anak-anak si majikan dengan dibantu dua botol minuman keras.
Ali Sabidin, untuk beberapa waktu lamanya, menjadi bahan pergunjingan di nyaris tiap tempat. Media sosial dan TV dan media online secara perlahan (dan mungkin tak sadar) menjadikannya icon penjahat paling gila dari negeri sendiri, yang tak kalah hebat dari Ed Gein yang selama beberapa dekade menjadi icon pembantai tergila di seluruh penjuru Amerika karena beberapa judul film dan berbagai karya seni terinspirasi oleh aksi bejatnya.
Hanya saja, kian lama, nama Ali Sabidin menjadi usang. Sebagaimana hal-hal yang telah jadi rutinitas belaka, Ali Sabidin tidak lagi dibicarakan, meski tiap orang di Kota A dan kota lain di seluruh dunia menyimpannya di kepala mereka masing-masing sebagai pria paling biadab abad ini. Akan tetapi, hukuman mati tak kunjung Ali Sabidin jalani. Dia tetap mendekam di penjara selama kira-kira empat tahun, sampai dia berhasil kabur dengan membangun perahu dari kayu yang didapatnya di ruang kerajinan tempat para narapidana mendapat tugas bertukang.
Penjara dengan keamanan ketat itu jauh di luar jangkauan Ali Sabidin. Dia yang tak pernah menjalani kehidupan penjara sudah cukup bagus jika berhasil lolos dari sana tanpa tertangkap. Hanya saja pengetahuan tentang navigasi dan laut tidak terlalu bagus, sehingga ketika perahunya hancur, lelaki itu dengan konyol terdampar di pulau dengan ribuan siput. Harusnya dia tidak begini, karena tidak perlu membunuh juragan tembakau dan keluarganya yang tidak tahu apa-apa.
“Harusnya semua berjalan lebih dari ini,” batin Ali Sabidin.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat wanita yang dicintainya diam-diam mendadak gila dan bunuh diri setelah hamil di luar nikah bersama lelaki yang bukan suaminya. Sejak itu, benih dendam tertanam pada jiwa Ali Sabidin. Benih itu menjadi pohon yang semakin lama semakin kokoh. Ali Sabidin tak menjelaskan tentang wanita idamannya. Dia tak bilang juragan tembakau berbuat sesuatu pada wanita itu. Di depan hakim, dia cuma berkata, “Sudah seharusnya mereka mati.”
Kini, bersama ribuan ekor siput, Ali Sabidin bersiap menghadapi hari-hari keras di pulau terpencil. Pertempuran dengan maut itu, ternyata, terjadi usai dia sempat mengira berhasil lolos dari maut.
“Tiada yang mampu lari dari maut,” ucapan salah seorang pemuka agama terngiang begitu saja di kepalanya yang sarat kutu.
Aroma darah dan daging amis para korbannya menguar sekali lagi, melesat keluar dari lubang hidung dan mulutnya, membuat Ali Sabidin percaya bahwa sesungguhnya dia bukanlah malaikat maut bagi siapa-siapa, kecuali bagi dirinya sendiri.
Gempol, 2019-2021
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit kumpulan cerpen terbarunya: Pengetahuan Baru Umat Manusia.