Oleh : Wahid Kurniawan
Zaman yang serba digital ini telah merambahi banyak hal. Geraknya yang super gegas telah mencaplok sekian teknologi dan media. Revolusi pun terjadi dengan beberapa adaptasi di sana-sini. Di ranah media, kita telah mendengar bahwa Koran Tempo, sejak bulan Januari 2021, memutuskan meniadakan koran cetak dan beralih sepenuhnya ke versi digital. Dengan penutupan tersebut, artinya ia menyusul media cetak lain yang lebih dulu tumbang, seolah mengamini kalau Senjakala media cetak bukan isapan jempol belaka. Nasib serupa pun terjadi di rubrik budaya di media-media. Sekalipun si media masih berjalan, tak sedikit dari mereka yang menutup penerimaan kolom untuk rubrik budaya.
Bisnis makin kentara cobaannya, dan mereka mesti melakukan itu demi menekan pengeluaran.
Sekalipun masih membukanya, terhitung hanya segilintir media yang memberi apresiasi berupa honorarium bagi penulis pengisi rubrik. Kebanyakan, media-media ini termasuk media menengah atau nasional yang cakupannya luas dan, tampak aman, dalam hal soal dapur keuangan. Pilihan yang lebih masuk akal pun kini terbentang di media-media online. Dalam banyak hal, media jenis ini memiliki kejelasan dalam hal apresiasi, dan bila meniadakannya, mereka mewanti-wantinya dalam ketentuan penulisan untuk media mereka. Dari situ, perkara menulis di media pun tampak bergeser dari tahun-tahun sebelumnya. Penulis sadar, beberapa media tak akan memberi apresiasi dalam bentuk apa pun, selain upaya menyebarkan tulisannya seluas mungkin. Namun, mereka tetap berteguh hati untuk tetap menulis. Tulisan terus menyambung dari hari ke hari. Di antara mereka, terdapat para peresensi buku yang terus bergiat menimbang buku, dengan atau tanpa diperhatikan oleh banyak orang.
Mereka berjalan di setapak sunyi. Saya kerap membayangkan, sama seperti penulis lainnya, nasib penulis yang berjalan di jalur ini seperti itu. Dengan gegas media sosial yang kian banyak dipenuhi akun-akun review buku, pilihan untuk tetap menulis di media tak bisa dipandang sebelah mata. Kesan dari tulisan yang tayang di media, bagaimanapun, masih memiliki kedudukan tersendiri di benak banyak orang. Itu pula yang diamini para peresensi yang menjembatani hubungan antara penulis, karya, dan pembaca. Mereka percaya, dengan menulis ulasan yang tak sekadar menimbang baik atau buruknya suatu karya, upaya mengulas menjadi tonggak yang tak kalah penting dalam menjaga ekosistem perbukuan supaya tetap berjalan dengan baik. Di sisi ini, para peresensi buku tak ubahnya kritikus kecil-kecilan yang menyidang sebuah karya.
Bagi beberapa orang, upaya ini tampak dikedepankan, selain menjadikan tulisan ulasan tak berbeda jauh dengan pengiklanan sebuh karya. Mereka menuliskan pengalaman pembacaan dengan jujur apa adanya, tanpa cela dusta, dan tak melebih-lebihkan. Dengan niat demikian, mereka pun seolah siap dengan risiko bakal dicecar oleh orang yang, sangat mungkin, tak setuju dengan pendapatnya. Atau, bukan tak mungkin pula, dikucilkan sebagai akibat dari tulisannya yang oleh beberapa orang dipandang merusak nama pemilik karya. Akan tetapi, kita memang akan terus membutuhkan orang-orang seperti ini, bukan? Kita memerlukan mereka sebagai pengamat dan penjaga bagi karya-karya yang tiap bulan gegasnya tampak kian ramai.
Pemengaruh Buku dan Peresensi Buku
Setelah membaca separuh tulisan ini, saya mungkin terkesan meremehkan para reviewer yang lebih akrab berkiprah di media sosial. Selayang pandang, barangkali pembaca menilai bahwa saya seolah mendramatisasi para peresensi buku, sebab apa yang sudah disampaikan mengamini kalau keberadaan mereka di atas para reviewer tadi. Itu tak sepenuhnya salah, memang. Setidaknya, kalau boleh membandingkan antar tulisan yang mereka hasilkan, kita bisa memperdebatkan hal tersebut. Akan tetapi, apa gunanya?
Saya sejak tadi bicara soal para pengulas dan perubahan-perubahan yang terjadi terkait dengan teknologi dan perkembangan zaman. Dari situ, dua hal yang saya angkat sejauh ini berada di tengah-tengahnya. Mereka berjuang supaya tetap eksis dengan cara yang berbeda di satu sisi, tapi memiliki kesamaan di sisi lainnya. Di sisi yang sama, mereka sama-sama memiliki misi baik, yakni menjaga perkembangan ekosistem perbukuan dan literasi tanah air. Oleh sebab itu, membandingkan mereka satu sama lain sungguhlah sebuah hal yang sia-sia belaka. Masalah yang kini mesti diperhatikan adalah bagaimana memupuk kebersamaan dan kesinergian di antara mereka supaya tak saling meremehkan.
Digitilasasi toh tidak bisa kita elakkan pengaruhnya. Sekali lagi, perkara yang dirambahi pun menjalar sampai ke dalam dunia perbukuan dan literasi. Kalau dahulu kita sekadar mengenal istilah “Peresensi buku”, kemudian “Reviewer buku”, lalu kini, kita dikenalkan lagi dengan istilah baru, yakni Bookfluencer atau pemengaruh buku. Pada dasarnya, peran mereka dan apa yang mereka lakukan tak jauh berbeda, tapi kompleksitas tampak lebih kentara dalam jati diri Pemengaruh Buku. Mereka adalah senyatanya produk zaman yang keberadaannya lahir dari sesuatu yang lebih dulu ada (baca: peresensi buku), sehingga memiliki kelebihan dalam hal penyesuaian diri dan penerimaan di masyarakat. Seturut anggapan ini, penulis Okky Madasari menilai bahwa, “Bookfluencer adalah bagian dari upaya merebuat ruang publik media sosial untuk menjadi ruang percakapan gagasan, untuk menyebarkan opini-opini yang berdampak, bagian dari ekspresi kreatif.”
Sampai sini, kita bisa mengatakan bahwa benang merah itu sudah ditemukan: Sinergi. Jika para Peresensi Buku secara umum masih berjuang dari satu media ke media lainnya, maka para Bookfluencer bergelut menyoalkan wacana serupa di medan yang lebih umum, yakni media sosial. Kesan sekadar menjadi buzzer buku yang menempel pada Book Review, diharapkan tidak dimiliki oleh para Bookfluencer ini. Maka dari itu, penyatuan ketiga istilah tadi agaknya perlu dilebur dalam satu istilah saja dan itu cocok dialamatkan ke dalam Bookfluencer atau Pemengaruh Buku. Toh, mereka kan sama-sama menimbang buku, menilai dengan telisik mendalam, lalu membagikan pemikirannya soal isi atau wacana di dalamnya ke khalayak umum.
Transformasi adalah keniscayaan. Mereka—para peresensi buku—akan tetap ada dan mampu beradaptasi serta berkembang lebih jauh lagi, begitu keyakinan saya, sekalipun jalan yang mereka pilih dekat dengan kesunyian dan zaman menuntut mereka untuk merentangkan tangan atas perubahan-perubahan. Kendati wajah media akan terus-menerus berubah, jalan itu tak akan ditinggalkan. Mereka akan terus melakukannya, walau apresiasi yang didapat tak jarang hanya ucapan terima kasih atau konten tulisannya dibagikan oleh segelintir orang di media sosial. Tapi, mereka toh tetap meresensi buku, sebab hanya dengan melakukannya, orang-orang ini menunjukkan bahwa mereka peduli, bahwa mereka masih ada, dan tak menutup mata atas semakin banyaknya buku-buku baru. Begitu.
WAHID KURNIAWAN, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. Dapat dihubungi melalui akun media sosial Instagram @karaage_wahid