ORANG TAK TERCATAT
kadang perlu juga
jadi orang tak tercatat
orang yang tidak dikenal
ini, sore ini. tapi di mana,
bahkan ibuku tak usah tahu
tanpa kopi — juga rokok,
aku tutup sore di sini
sebagai bukan isbedy
lalu, kau mau datang
sekadar bawa senyuman?
segelas kopi + rokok
lainnya percakapan
(tambah perjanjian)
jika kau pamit
titip waktuku
di alamat yang pasti
2 April 2021
BURUNG PEMATUK BIJI
TELAH MEMBAWA PERGI PUISI
jangan minta puisiku pagi ini
burung pematuk bijian telah
membawa pergi
aku kalah dari matahari
tidak ada puisi pagi ini
burung telah membawa pergi
seperti mematuk bijibiji
habis pula hurufhurufku
lalu kupatuk apa?
hujankan lagi kalimat-Mu
agar basah tanah kering ini
dan kau menunggu?
DI PANGGUNG PERTUNJUKAN
ia hanya pemain di panggung itu
setiap kalimat dan gerak tubuhnya
sudah dia hapal di harihari latihan
bahkan, bagaimana ia pegang pisau
sampai tanganya mengepak ke atas
kemudian menancapkan senjata itu
dan penonton melihat seperti
tenggelam di dada lawan mainnya
DERMAGA
berdiri aku di pipi dermaga
tak ada kapal menyeberang
pulau kelam dalam pandang
kau gigil dihantam kesunyian?
di pipi dermaga, kuharap
ada kapal yang menyeberang
sampai malam tenggelam
di laut yang hitam
kini aku yang dipeluk sepi
menyeberang ke pulaumu
tak ada kapal mengantar
KEPADA PENGARANG PANDIR
kau tak akan pernah tahu
dari mana aku datang,
lalu menyimpan rahasia
dalam tubuhmu. sebelum
langit mengubur, matahari
padam — kota jadi lengang,
kita hanya saling pandang
: sebentar — “tak ada kisah
tentangku dari mana dan
ke mana, kecuali kau dengar
dari orangorang itu; pengarang
yang pandir,” bisikku. aku khawatir
ada yang mendengar lalu
ditenggelamkan makin dalam
pengarang yang pandir, piawai
sekali menyusun peristiwa. jadi
cerita, meski sesaat kemudian
dilupakan. kota kembali membuat
kejadiankejadian yang pekat
kita seperti mengenyut cokelat
dengan cara apa kita membaca
cerita yang ditulis pengarang
pandir?
susun pertanyaan demi pertanyaan
sampai kita lelah dan pingsan
SELEPAS SUBUH
selepas subuh tadi
aku tak melihatmu
padahal sudah kusiapkan
segala yang kujanjikan
— jam di lenganku, kalimat
yang tercipta di bibirku, jarak
dalam hitungan di langkahku
bahkan mataku ini yang lama
mengingat wajahmu —
tapi, aku kembali pulang
di semaksemak itu tak ada
jejakmu
di jalan yang kujejaki
tiada pula bekas langkahmu
di pasirpasir yang terbentang
hanya ada ombak pergi dan datang
ISBEDY STIAWAN ZS, lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan menetap di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Dipublikasikan di pelbagai media massa seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Media Indonesia, dan lain-lain. Buku puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI (2020), Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020 Yayasan Hari Puisi Indonesia, dan Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua dinobatkan sebagai 5 besar buku puisi pilihan Tempo (2020), dan Kau Kekasih Aku Kelasi (2021).