Oleh : Dee Hwang
_______________________
Bicara karya sastra dan situasi kita hari ini, maka karya-karya Umar Kayam, bagi pembaca yang familiar dengan kekaryaannya, sebagian menempatkan diri di tema-tema berikut; puasa, menjelang hari raya, mudik. Ia menyorot ketimpangan orang kelas bawah dalam fenomena tersebut. Menjelang Lebaran (1998), misalnya, menggambarkan situasi krisis ekonomi yang dihadapi satu keluarga. Si suami kena PHK, harga-harga di pasar swalayan naik gila-gilaan. Keluarga ini terpaksa membatalkan keberangkatan mudik ke Jawa dan mengatur ulang gaji asisten rumah tangganya. Cerpennya yang lain, Ke Solo, Ke Njati (1991), membawa kita pada keruwetan fasilitas perjalanan yang disesaki pemudik. Tokoh utama dan anak-anaknya berencana melakukan mudik dari Jakarta ke Njati. Sayang perjuangan mereka sejak lebaran pertama dan kedua tak membawa hasil. Mereka tak kunjung mendapat kursi bis, sementara uang mereka menipis akibat karcis calo, ongkos bajaj, oleh-oleh yang remuk.
Dalam Lebaran Ini, Saya Harus Pulang (1999), Umar Kayam masih menggerakkan tokoh-tokohnya di keresahan serupa. Kebutuhan mudik itu ditempatkan dalam posisi terdesak. Nem, tokoh utama, adalah asisten rumah tangga yang membujuk majikannya agar memperbolehkan dirinya pulang kampung. Izin libur didapatkan, namun ia juga gelisah bila harta bendanya habis dijual keluarga karena desa-desa semakin rusuh dan melarat. Gagasan ini sebetulnya bersepakat dengan penjelasan di tengah cerita, bahwa tokoh utama ikhlas harta bendanya digunakan kemenakannya untuk pemenuhan hidup sehari-hari di desa. Buktinya, dalam rasa campur aduk itu, kisah diakhiri dengan “dalam tidur itu, ajaib, mulut Nem masih kelihatan menyungging senyum”. Mudik menjadi jembatan gap nilai-nilai, karena perkotaan menawarkan alienasi, individualisme, dan sifat-sifat berperhitungan.
Umar Kayam bukan satu-satunya sastrawan yang menyentil problema ini. Dalam novel bertajuk Dari Hari ke Hari (1975) karangan Mahbub Djunaidi, meski tak penuh, fenomena ini dijentik jua. Penulis mengangkat situasi bulan puasa di mata para pengungsi. “Pengungsi dewasa terisak-isak, teringat kampung dan beduk suraunya masing-masing”, mereka yang mengungsi oleh gejolak pasca kemerdekaan RI itu, melalui serangkai kepedihan atas kerinduan kampung halaman.
Kemudian, sebutlah Ahmad Tohari dan Putu Wijaya, yang masing-masing cerpennya dimuat bersama penulis Indonesia lain di Mudik (1996). Ahmad Tohari dalam Wangon-Jatilawang menguraikan kisah Sulam, lelaki kerdil keterbelakangan mental. Ia setiap hari melakukan perjalanan dari Wangon ke Jatilawang, dengan rumah tokoh utama sebagai persinggahan. Sementara Putu Wijaya dalam Eyang, menarik pembaca dalam pengisahan sama miris. Tersebutlah tokoh utama dan keluarganya yang tidak mudik, karena terhimpit ekonomi dan berpikir, kalau hati kami sudah di situ hambur-hambur duit aja!
Meski kedua cerita itu terkesan samar dalam menampilkan judul besarnya—merujuk pemilihan judul buku itu sendiri, Mudik milik Mustofa W. Hasyim yang mewakili betul pembahasan kita ini—keduanya tetap menyembulkan keterbatasan kaum marjinal dalam interaksi sosialnya, terkhusus menghadapi fenomena mudik tersebut.
Mudik (homecoming), bolehlah kita dekatkan keterjadiannya karena hadirnya ikatan-ikatan dalam realitas sosial. Dari hubungan sosiokultural yang khusus, ia menjelma kegiatan komunal atas kesamaan waktu-ide, dan bersifat sementara. Mudik menjelma tradisi, semacam jiplakan masa lalu yang dijadikan agenda berkala; paling tidak sekali seumur hidup, mudik telah kita saksikan bahkan pernah kita lakoni. Karena ia dihidupkan di berbagai perayaan bersama, seperti tahun baru, natal, libur semester kuliah, bahkan sebentar lagi, lebaran.
Di Indonesia, wilayah pusat dan daerah kentara perbedaan nilai-nilainya, sehingga mudik jadi opsi mewaraskan diri. Kegiatannya dimotivasi dari dalam, bisa jadi personal dan sentimentil, ia dihadirkan karena kesadaran-pemenuhan atas realitas antarpersonal manusia itu sendiri.
Boleh jadi buat menyudahi macetnya komunikasi, atau kesadaran atas posisinya dalam sistem sosial. Ia dilakukan dengan sukarela bukan sekedar karena ikatan emosional, namun juga menjadi wilayah bagi seseorang menentukan standar keunggulannya dalam prestasi-prestasi. Meski demikian, ia secara sadar dilakukan untuk mengisi semangat, refleksi diri, katakanlah dilakukan atas kesadaran identitas, baik melalui sejarah yang pernah ia lalui atau melalui pengakuan orang-orang yang memegang tali perkawanan-perkawinan.
Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra, menjelaskan sastrawan adalah anggota masyarakat; ia terikat status sosial tertentu. Sehingga sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat. Jadi meski ia tidak dapat dikatakan dengan jelas sebagai cermin masyarakat seutuhnya—karena juga mesti dipertimbangkan dari pandangan sosial pengarangnya sendiri—sastra jelas berurusan dengan masyarakat dan interaksinya. Oleh itulah kehirukpikukan mudik sering jadi tema dalam karya sastra.
Karya-karya sastra yang telah disebutkan di atas adalah sejumlah kecil, yang menggambarkan ketimpangan perilaku mudik. Kepasrahan keadaan, termasuk kenyataan bahwa dalam himpitan apapun mudik menjadi semacam keniscayaan buat dilakukan.
Apakah kenekatan itu akan berlaku di tahun ini? Indonesia masih menghadapi persoalan sama; perang melawan COVID-19. Masalah mudik atau tidak, pemerintah telah mengetatkan peraturan. Satgas Covid-19 mengeluarkan addendum Surat Edaran Nomor 13 tahun 2021, tentang peniadaan mudik hari raya Idul Fitri 1442 H. Kini urusan mudik tak hanya dipertimbangkan dari tingkat kesejahteraan pelaku, pelayanan fasilitas perjalanan, atau gejolak politik negara. Namun juga rangka pengendalian penyebaran virus corona. Kita telah melakukan upaya jaga jarak bahkan sebelum bulan puasa, dan ujian masih berlaku, untuk melihat apakah kita termasuk yang masih patuh tentang ini.
Peniadaan mudik seperti meniadakan warna-warna tertentu dalam perayaan. Terasa mengurangi kemeriahan. Namun sejatinya Indonesia dan dunia masih diuji. Dalam kelindan beban bulan ini, urusan menahan diri tidak lagi masalah lapar saja. Nafsu nyatanya makin harus ditekan, agar ego kita tak merugikan orang lain. Kita wajib meringankan beban sesama dengan menahan diri melakukan perjalanan, pilihan waras agar bisa saling menjaga satu sama lain.
Joko Pinurbo dalam puisinya, Mudik, memandang waktu sebagai sesuatu yang simpel dan sederhana, namun lengkap dengan kemuraman yang lekat padanya. Ia menyingkap hasil kerja waktu, yang bisa menimbulkan sedikit penyesalan. Begitu simpel dan sederhana sampai aku tak tahu, butiran waktu sedang meleleh dari mataku. Semacam menyingkap fakta bahwa sesungguhnya waktu bekerja terbalik, dari kegembiraan pertemuan-pertemuan. Tahun ini menawarkan pemaknaan pulang dari sisi berbeda—kita saling berjauhan, kehilangan banyak kawan. Maka menyambut lebaran kelak, bolehlah ingatan menyusupi pembicaraan jarak jauh.
Segembira atau sepahit apa pun kenangan, itu juga salah satu cara memelihara hidup.
_________________________
DEE HWANG, Kelahiran Lahat, 9 September 1991. Tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan online. Aktif sebagai pengisi suara dalam kanal youtube “Secarik Pesan di Saku Bajumu”. Bisa dihubungi melalui Instagram @secarikpesandisakubajumu atau email deedeehwang@gmail.com