CAHAYA MATA PEMIKAT LEBAH
Oleh : S. Prasetyo Utomo
_________________________
“Jangan terima dia kerja di sini,” kata ibu mertua Ki Broto ketika melihat Seto, seorang lelaki kurus berkepala gundul yang baru dibebaskan dari penjara memasuki pedepokan.
Dari penjara Seto mencari Ki Broto. Dia memasuki pedepokan dengan langkah mantap. Sepasang matanya cemerlang, kukuh dalam kemauan. Ibu mertua yang lumpuh, berjemur matahari pagi di pelataran, mendengar percakapan Ki Broto dan Seto di ambang pendapa.
“Saya memerlukan seorang tukang kebun,” tukas Ki Broto santun. Ia sudah mengenal Seto di masa lalu, sebelum dipenjara karena tuduhan membunuh Glemboh, teman penambang pasir, dengan mantra pemikat lebah. Tak ada rencana sama sekali Seto akan membunuh Glemboh. Ia hanya menerima tantangan Glemboh untuk mendatangkan lebah-lebah. Mantra yang dirapalnya menggerakkan lebah-lebah dari berbagai penjuru, merubung tubuh Glemboh, lelaki gempal itu. Glemboh mati dengan tubuh penuh sengatan lebah. Lebam menghitam.
“Lagi pula banyak celeng mati belakangan ini. Saya memerlukan teman untuk menguburkan celeng-celeng yang mati di sekitar tempat ini,” kata Ki Broto, yang selama ini seorang diri menguburkan celeng-celeng yang turun gunung dan mati di sembarang tempat.
“Ia bekerja di sini sebagai pengganti Lik Kapir, tukang kebun yang sudah meninggal,” kata Laksmita, istri Ki Broto, mendukung suami. Ia anak tunggal ibunya.
Ibu mertua Ki Broto tampak tak berkenan. Tapi perempuan tua itu tak lagi menolak kehadiran Seto. Pagi itu Ki Broto meminta Seto untuk menempati salah satu kamar di pedepokan yang ditinggalkan para penari selama wabah celeng-celeng mati. Seto memilih tinggal di gubuk tengah ladang, tak jauh dari pedepokan, yang dulu ditempati Lik Kapir. Gubuk kusam itu dibersihkan, diperbaiki, dan Seto merasa tenang tinggal di dalamnya.
Menjelang sore Seto mengikuti Ki Broto mengubur bangkai celeng yang kedapatan mati di lahan sayuran. Tak seorang pun menguburkan celeng itu, takut bila mereka tertular penyakit. Mereka juga menghindar saat bertemu Ki Broto dan Seto, dengan pandangan curiga dan takut tertular wabah penyakit yang menjangkiti celeng-celeng.
Celeng-celeng terus bergelimpangan di lereng gunung, mati begitu rupa, tanpa diketahui penyebabnya. Tak ada tanda-tanda celeng-celeng itu terkena racun, atau ditembak pemburu. Tidak pula celeng-celeng itu diterkam binatang buas seperti harimau. Celeng jantan dan celeng betina bisa mati mendadak di semak-semak, terkapar menjadi bangkai.
*****
Sambil minum kopi pagi itu Ki Broto merenung di pendapa. Tak seorang penari pun tinggal di pedepokan. Setelah Lik Kapir dikubur, dan celeng-celeng masih terus ditemukan mati bergeletakan di tempat-tempat yang tak terduga, para cantrik mulai takut dan ngeri. Mereka meninggalkan pedepokan.
Dulu Lik Kapir yang selalu menguburkan celeng-celeng yang mati. Tapi sejak Lik Kapir meninggal, tak seorang pun bergerak menguburkan celeng-celeng itu. Orang-orang merasa jijik dengan bangkai celeng, dan tak mau menguburkannya. Mereka takut bila mengubur celeng itu akan tertular penyakit dan mati seperti Lik Kapir.
Dalam hidup Ki Broto sejak mendirikan pedepokan, belum pernah merasakan kesunyian seperti saat ini. Sebelum ini pedepokan selalu ramai dengan para penari, penabuh gamelan, dan pertunjukan-pertunjukan. Kadang ia melakukan latihan tari yang bakal dipentaskan hingga larut malam.
“Mau mengubur bangkai celeng?” tanya Laksmita, ketika pagi itu Ki Broto mengajak Seto bergegas meninggalkan pendapa.
“Seekor celeng mati di pesantren Gus Sarwi,” kata Ki Broto. “Aku akan ke sana.”
Memasuki gerbang pesantren, Ki Broto dan Seto tak melihat seorang pun santri. Mereka memasuki pelataran pesantren, dan saling berpandangan, seperti mengenang akan kebaikan Abah Ajisukmo, guru ngaji mereka yang telah meninggal dan digantikan Gus Sarwi. Tampak dalam mata Seto yang cemerlang itu genangan bening tipis. “Saya belum cukup berguru pada Abah Ajisukmo. Beliau sudah meninggal.”
Tak pernah diduga Ki Broto bila pesantren senyap, tanpa seorang santri pun. Ki Broto diikuti Seto memasuki pelataran pesantren yang kosong. Mereka mengambil bangkai celeng.
Bangkai celeng itu tampak agak membusuk. Lalat-lalat merubung bangkai celeng betina yang memisahkan diri dari kawanannya, memasuki pesantren dan mati. Tanpa rasa jijik Ki Broto dan Seto menyeret bangkai celeng ke ladang belakang pesantren. Mereka menggali liang dan memasukkan bangkai celeng ke dalamnya. Menimbuni liang itu.
Mereka tak bergegas pulang. Ziarah ke makam Abah Ajisukmo, ayah Gus Sarwi yang dulu memimpin pondok pesantren. Mereka berdoa, berdiam diri, merenung, dan menemukan ketenteraman. Ki Broto mencari kembali kenangan-kenangan bersama Abah Ajisukmo, yang sesekali hadir dalam mimpinya menjelang dini hari. Dalam mimpi yang paling akhir dialami Ki Broto, ia ditemui Abah Ajisukmo dengan serban putih jubah putih, memintanya, “Terimalah Seto bekerja di tempatmu.”
*****
Ke mana pun Ki Broto pergi menguburkan bangkai celeng, ia bersama Seto. Lelaki kurus itu mengikuti segala kemauan Ki Broto. Seto masih memiliki kekuatan mantra memikat lebah. Setiap kali ia melangkah, di atas kepalanya berdengung lebah-lebah. Ia bisa mengendalikan lebah-lebah untuk mengikuti perintah mantranya.
“Kamu tak ingin kembali kerja sebagai penambang pasir?” tanya Ki Broto.
“Tidak lagi. Lebih baik saya berada di pedepokan ini.”
Ki Broto menemukan pengganti Lik Kapir, tukang kebun yang setia mendampingi hidupnya. Seto memiliki kesetiaan sebagaimana Lik Kapir. Hanya saja, ia lebih memiliki keberanian untuk melawan orang-orang yang tak selaras dengan kemauannya.
*****
Sang juragan yang mendengar Seto sudah kembali dari penjara, datang ke pedepokan. Masih pagi, dan betapa sang juragan menampakkan ketuaannya. Hotel miliknya sepi. Hampir tak ada tamu yang singgah di hotelnya selama wabah mematikan celeng-celeng, dan penambangan pasir di lereng gunung kurang tenaga manusia. Hampir tak ada kuli yang mau menambang pasir di dasar sungai.
“Kembalilah bekerja padaku,” pinta sang juragan. Ia sangat mendambakan kembalinya Seto, yang diketahuinya rajin bekerja. “Akan kuberi kau upah yang tinggi.”
“Saya lebih tenteram bekerja di pedepokan.”
“Atau kau ingin jadi mandor?”
Seto menolak segala bujukan sang juragan. Ia lebih suka tinggal bersama Ki Broto, menguburkan celeng-celeng, membersihkan rerumputan di pedepokan, dan mengolah ladang. Sang juragan meninggalkan pedepokan dengan pandangan sayu.
Pagi itu Seto memperoleh kesempatan mencari madu lebah hutan. Tubuhnya lincah ketika mendaki lereng hutan dan kakinya kukuh memanjat pohon-pohon besar yang liar.
Memanen madu, dan menjelang sore tiba di pedepokan. Mempersembahkan sebotol madu murni pada Ki Broto.
Ki Broto memberikan sebotol madu murni itu untuk ibu mertua yang masih saja duduk di atas kursi roda. Ibu mertua meminum madu pemberian Seto dengan malu-malu. Ia mulai bisa berlatih berdiri, berjalan setapak dua tapak di pelataran pedepokan. Laksmita mendampingi ibunya berjalan tertarih-tatih. Ia melihat ibu kandungnya yang kini mulai mengangguk dan menyapa Seto. “Kalau medu ini habis, tolong carikan lagi untukku.” Tentu Seto membalas permintaan perempuan tua itu dengan senyum dan anggukan.
Hati Seto membisik: memang mungkin di pedepokan inilah tempat kehidupanku. Abah Ajisukmo selalu datang dalam mimpi dan meminta, “Bekerjalah pada Ki Broto, kalau hatimu ingin tenteram.” Dalam redup langit senja tampak sepasang mata lelaki kurus itu kian bercahaya.
Pandana Merdeka, April 2021
Tentang Penulis
_________________________
S. PRASETYO UTOMO, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Semenjak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di media massa. Penerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Tergabung dalam antologi cerpen Kompas, seperti “Penyusup Larut Malam” yang dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian (Cerpen Kompas Pilihan 2009), diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris “The Midnight Intruder” (2018), juga “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen terbaru Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).