NADHOMAN
Oleh : Dimas Indiana Senja
_________________________
Di bulan Ramadhan ini, kita mungkin lebih banyak mendengarkan masjid/surau/mushola menyenandungkan puji-pujian dibanding bulan-bulan lainnya. Baik ketika menjelang buka puasa, maupun menjelang sholat subuh. Puji-pujian itu sebagai sarana mengajak masyarakat untuk bergegas menuju masjid/surau/mushola, sembari menunggu imam. Puji-pujian itu, selain sebagai sarana wiridan juga sebagai sarana dakwah yang menghibur.
Puji-pujian itu berbentuk nadhoman—kata aslinya nadzam namun pengucapannya lebih familiar menggunakan nadhoman. Nadhoman merupakan bagian dari bentuk sastra. Sehingga, sebagaimana disampaikan seorang pemikir Romawi, Horatius, mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisannya berjudul Art Poetica. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda, yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembacanya. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi. Bagi banyak orang, misalnya, karya sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan yang buruk.
Penggunaan nadhom sebagai media dakwah sudah ada semenjak akhir abad ke-16, yaitu berawal dari Hamzah Fansuri diikuti oleh Syamsudin Sumatrani yang kemudian direspon oleh Nurrudin Al Raniri.
Genealogi Nadhoman
Nadhoman pada mulanya merupakan sebuah tradisi pesantren yang mempunyai kelebihan karena fungsinya sebagai media pengajaran, nasihat, sekaligus sebagai hiburan. Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab kuning karangan para ulama, model penulisannya berbentuk nadhoman, sehingga pembelajarannya pun sembari dinyanyikan atau ditembangkan. Merujuk pada penelitian Braginsky (1994), maka sekurang-kurangnya ada tiga muatan dalam sastra berbentuk nadhoman, yakni (a) fungsi hiburan muncul lantaran hadirnya nadhoman dalam khazanah sastra selalu dinyanyikan baik dengan iringan musik tertentu maupun tidak; (b) fungsi pendidikan dan pengajaran muncul karena di samping nadhoman mengekspresikan nilai-nilai dedaktis, yakni pendidikan nilai-nilai moral Islam dan pengetahuan Islam yang kompleks, nadhoman juga digunakan sebagai bahan ajar dan atau media pengajaran di kalangan masyarakat santri; (c) fungsi spiritual muncul lantaran sebagian besar nadhoman diberlakukan penggunaannya semata-mata sebagai upaya penghambaan diri kepada Tuhan yakni untuk mempertebal rasa keimanan dan ketaqwaan.
Nadhom dan Sastra
Nadhom, mengutip pendapat KH. Musthafa Bisri, adalah kalimat yang disusun secara teratur dan bersajak, baik melalui penguasaan ilmu ‘Arudh atau hanya menyelaraskan wazan (model) yang telah ada. Model nadhoman—sebagaimana diungkapkan KH Husein Muhammad dalam pembukaan buku Nadzam Santri—dapat dinikmati berbagai kalangan, terutama masyarakat bawah, yang saat ini membutuhkan tetesan embun ilahi yang menyirami kegersangan hati serta kerlip cahaya ketuhanan yang bisa membuka nurani.
Nadhoman juga dipakai dalam sastra (puisi) Indonesia saat ini, setidaknya bisa dilihat dalam perpuisian Sofyan RH. Zaid, penyair yang berlatarbelakang pesantren yang konsisten dengan model puisi nadhoman. Salah satunya seperti puisi ini :
MAWAR SIDRAH
jam berhenti sejenak # terdengar suara cecak
seperti denting ribuan logam # kau datang padaku serupa malam
aku lupa menutup pintu # aku luka melupa nafsu
di kamar kita menjadi bisu # mawar dan sidrah bersatu
; jibril di mana wahyu? # khidir di mana waktu?
Nadhoman telah menjadi sebuah gaya bagi Sofyan dalam perpuisiannya. Dalam ini, saya teringat Roland Barthes, yang dalam tulisannya berjudul “Style and its Image” (1971), mengatakan bahwa style is historic concept.
Pernyataannya mengindikasikan bahwa ketika kita beradapan dengan puisi atau sekumpulan puisi yang menunjukkan ciri kesamaan dalam hal gaya, kita tidak bisa mengelak dari kerja menghubungkan atau mempertentangkan dengan sajak-sajak sebelumnya.
Dalam pada ini, puisi-puisi Sofyan, dapat dirunut genealoginya dari puisi-puisi sufistik Hamzah Fansuri yang dikutip dari transliterasi Abdul Hadi W.M. (2001:335)
Nurani itu itu haqiqat khatam # Pertama terang di laut dalam
Menjadi makhluq sekalian alam # Itulah bangsa hawwa dan adam
Tertentu awwal suatu cahaya # Itulah cermin yang Mulia Raya
Kelihatan di sana miskin dan kaya # Menjadi dua, Tuhan dan sahaya
Kita bisa melihat bagaimana permainan rima menjadi sesuatu yang “wajib” dihadirkan dalam khasanah perpuisian saat itu, dan ternyata sekarang kita temukan lagi gaya yang serupa. Dari beberapa puisi Sofyan yang saya kategorikan sebagai puisi nadhom, Sofyan agaknya berkeyakinan besar bahwa gaya ucap sajak adalah identik dengan “keindahan bahasa”. Sajak Sofyan seolah menunjukkan bahwa penyair telaten dengan pergulatan memilih gaya ucap yang menunjukkan pada makna keindahan bahasa. Pilihan kata yang diupayakan membentuk lari-larik sajak yang eufonik, baik melalui persamaan bunyi di akhir larik maupun melalui elitarasi dan asonansi, merupakan penanda akan sikap dan keyakinan Sofyan sebagai penyair terhadap persoalan gaya ucap. Namun begitu, puisi-puisi Sofyan tidak semata menonjolkan sisi ritmis puisi, melainkan tetap mempertahankan substansi dari puisi sebagai sebuah muatan yang ingin disampaikan kepada jamaah pembaca.
Pola bunyi tersebut hadir lebih intens ketika dilisankan. Dalam pada ini, puisi tak sekadar ingin dibaca dalam hati, tetapi juga ingin ditonton dan ingin diperdengarkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena puisi tersebut sebenarnya ingin lebih dekat dengan pembacanya. Kata-kata yang dipilih Sofyan tidak ingin lewat begitu saja tanpa hambatan (otomatis), melainkan dengan membentuk pola-pola bunyi yang khas, kata-kata ingin hadir dengan cara yang tidak biasa (deotomatis), sehingga dipersepsi dengan cara yang tidak biasa pula, dialami secara lebih intens.
Halaman Indonesia, 2021
_________________________
Tentang Penulis
DIMAS INDIANA SENJA. Penyair, Dosen, dan Instruktur Literasi Nasional. Pada tahun 2016 menjadi pembicara dalam UWRF (Ubud Writers and Readers Festival), Bali. Pada tahun 2019 menjadi pembicara dalam MWRF (Mandar Writers and Culture Forum), Sulawesi. Bukunya, Nadhom Cinta, Sastra Nadhom, Suluk Senja, Museum Buton, Pitutur Luhur, Kidung Paguyangan, dan Tantangan Pragmatisme.