Menukam Hantu Langit Merah
Seorang pemuda yang terjatuh di hutan, terjaga dalam keadaan kepalanya telah terluka, syukur ia dapat menemui bapa tua yang memiliki hidung lengkung bagai bulan sabit, perut buncit, dan mata sipit, persis seperti yang dikatakan seorang perempuan dalam mimpinya, tentang bapa tua yang mengetahui segalanya.
“Oh, untunglah saya menemukan anda, Bapa Tua,” katanya dalam keadaan takjub.
“Untunglah,” kata bapa tua pula padanya.
“Saya sengaja masuk ke dalam hutan-hutan, melewati lembah, jurang, lahar, sungai, rawa-rawa, hanya ingin tahu bagaimana ceritanya langsung dari, Bapa Tua.”
“Tentu. Tapi apa kamu baik-baik saja? Lihat luka di kepalamu, darah menetes-netes.”
“Jangan terlalu dipikirkan, Bapa Tua.”Bapa tua mengangguk-angguk. Pemuda itu mengeluarkan kertas.
“Kalau bisa jangan ada yang ditutup-tutupi, Bapa Tua,” kata pemuda itu, “saya akan mencatat semuanya,” lanjutnya. Bapa tua langsung memulai ceritanya tanpa mempedulikan darah segar yang semakin melelehdari kepala pemuda.
Desas-desus pelayaran serta penyusupan bajak laut yang menyebar anutan kepercayaan telah menyinggung Raja Muigani. Ia tahu, satu dua dari rakyatnya telah terpengaruh. Untuk itu, agar tidak menyebar luas hingga terjadi perpecahan, Raja Muiganimemerintahkan suludadu—prajurit handal—untuk memperkuat baluara.
“Kapal-kapal yang melintas di perairan patut dicurigai, bila perlu ditembak atau ditenggelamkan, para awaknya paling kurang disiksa lebih dulu lalu dibunuh dan dibuang untuk jadi santapan ikan-ikan laut,” perintah Raja Muigani.
Sejak perintah itu berlaku,suludadu keranjingan menembak, apa saja yang bergerak langsung diledakkan. Perairan tenggara semakin sepi dilalui kapal-kapal, bahkan para pedagang enggan berlabuh atau sekadar melintas karena mereka takut dituduh bajak laut walau menggunakan sampan ukuran kecil.
Namun tidak semua bisa ditembak dan tidak semua enggan melintas,sebuah kapal pimpinan kapten Komokomo dari Pulau Z, berlayar bak penggila darah pembantaian. Raja Muigani pun terkejut saat diberi tahukapal itu amat menyeramkan dari kapal-kapal lain.
“Kapal itu hitam dan berapi-api di bagian pucuknya, Raja Muigani,” ucap seorang suludadu yang datang menghadap.
Raja Muigani termenung dan mengingat Lalompoto, sang kesatria Pulau Zuna yang dapat mengendalikan air laut. Tiap kali pucuk layar kapal Komokomo tampak dari kejauhan perairan timur laut Pulau Zuna, Lalompoto muncul setelah gelembung membubung ke langit, ia mengendalikan gelombang air, membuat Komokomo dan para awaknya tak sadar air telah membawa merekameninggi hingga menyentuh awan,mereka menyebut nama dewa-dewa yang terlintas di kepala, tetapi itu sama sekali tidak membantu, karena sekejap Lalompoto menyentak mereka terempas hingga kapal terpecah belah sebelum digulung ombak susulan.
Raja Muigani yang tersentak dari lamunan, memerintahkan suludadu untuk memanggil Damargalu—selama ini selalu mendampingi Raja Muigani dalam mengambil keputusan—sesaat kedatangannya, ia langsung bertanya perihal apa yang membuat Raja Muigani tampak gelisah.
“Sebuah kapal pimpinan Komokomo hendak menjarah pulau kita, lihatlah ke arah laut, Damargalu.”
Dari kejauhan tercium aroma busuk seperti kapal itu menumpuk ribuan bangkai. Para awaknya berwajah bengis serta keji bak diciptakan hanya untuk membunuh, meminum darah, dan memakan tulang-belulang. Sambil melongok ke laut, Damargalu menanyakan apa yang harus dilakukan.
“Entahlah,” suara Raja Muigani melemah,“Saya tidak punya cara selain kemustahilan mendatangkan Lalompoto dari dalam laut. Apa Kamu punya saran, Damargalu?”
Wajah Damargalu teduh bagai awan selepas hujan, “Raja Muigani,” katanya sambil mendekat,“Lalompoto mencintai putri saya,”ia bisikkan kalimat itu.
“Lantas apa hubungannya dengan semua ini?”
“Kita bisa memanfaatkannya, hanyutkan selendangPutri saya, maka Lalompoto akan muncul, lalu kita utuskan seorang suludadu untuk mengarang cerita bahwa Putri saya telah diculik Komokomo.”
“Menurutmu, Lalompoto akan percaya begitu saja?”
“Tentu, Raja Muigani. Tempo hari Putri saya bermadu kasih dengan Lalompoto, mereka benar-benar terlibat cinta yang serius.”
Raja Muigani pun tersenyum lebar. Matanya berpancar pelangi. Seorang suludadu diutus menghanyutkan selendang dan mengarang cerita,“satu-satunya cara menyelamatkan Wa Mekameka, putri Damargalu kekasihmu, ialah dengan memenggal kepala Komokomo,” ucap suludadu pada Lalompoto yang muncul di laut.Maka dalam sekejap, Lalompoto telah sampai menghadap Damargalu dan Raja Muigani, untuk mempertanyakan kebenaran.
“Saya tahu Anda mencintai Putri saya. Maka dari itu, saya hanya ingin Anda berbuat sesuatu untuk membuktikan cinta itu,” kata Damargalu.
“Kenapa harus dipenggal? Bukankah yang seharusnya aku lakukan adalah merebut Wa Mekameka kembali?” tanya Lalompoto dengan nada membantah. “Aku bisa mengendalikan air, memagar air hingga kapal itu tidak bisa berlayar ke mana pun tanpa harus membunuh, karena aku telah bersumpah takkan pernah membunuh pada ibu laut. Bukankah semua orang tahu akan sumpahku?” lanjutnya.
“Tidak semudah itu, Lalompoto. Anda bisa mengendalikan air laut, juga bisa mengendalikan kapal itu tak bisa berlayar, tapi apakah Anda bisa menjamin Putri saya akan baik-baik saja selagi tertawan bersama Komokomo?”
“Pulu musala!” marah Lalompoto.
“Jika benar kamumencintainya, dan ingin menikahinya, maka inilah pembuktian yang sesungguhnya,” timpal Raja Muigani membuat Lalompoto semakin ingin menjadi apiyang tak padam.
Tanpa berpikir panjang, Lalompoto dialihkan untuk memandang ke arah laut, di mana sebuah kapal semakin mendekat. Lalompoto segera melompat sambil menggenggam badik corak sembilan kepala naga yang bersinar-sinar di pinggangnya, lalu ia tegak menghadap, siap bertumpah darah, demi cinta.
Dari dalam istana, Damargalu merangkul Raja Muigani, ia tersenyum sambil melihat punggung Lalompoto, sedangkan Raja Muigani teringat akan sesuatu hal tentang sumpah Lalompoto, jika ia membunuh lautan akan menjadi lahar api. Entah benar apa tidak hal itu, tak pernah ada yang tahu.
“Sekarang tenanglah, Raja Muigani, Lalompoto akan melakukannya untuk kita,” sebut Damargalu. Raja Muigani mengalih pandang pada langit bersemburat hitam.
“Damargalu, bolehkah saya menanyakan sesuatu padamu?”
“Tentang apa itu, Raja Muigani?” sambil mengalih pandang ke wajah serius Raja Muigani.
“Mengapa kamu inginkan Komokomo mati oleh Lalompoto?”
Lama Damargalu memandang mata Raja Muigani dalam diam, ia tampak kesusahan mengatakan sesuatu sebab terlihat ada yang disembunyikan olehnya.
“Karena Komokomo memang pantas mati, Raja Muigani.”
“Tidakkah kamu tahu apa yang akan terjadi bila Lalompoto membunuh?”
Damargalu diam, ia melempar pandang ke arah kapal yang telah menepi. Terlihat Komokomo yang telah turun langsung menerjang dada Lalompoto hingga terjungkal. Tak ingin menyia-nyiakan keadaan,Komokomo melepas pukulan menukik ke batang hidung, hingga terdengar bunyi debum, darah segar bermuncratan. Lalompoto diinjak berkali-kali tepat di dada hingga napasnya terkuik-kuik.
Saat Komokomomengeluarkan pedang lengkung yang diacungkan ke langit lalu mantra menggema-gema dari mulutnya, badikbersilang, menggorokleherKomokomo, menyelorotkan tubuhnya.Damargalu dan Raja Muigani terheran-heran tak percaya, Lalompoto melakukan hal itu dalam kecepatan yang tidak diduga. Bagai ia tidak bergerak, tetapi leher Komokomo telah terbuka, bermandikan darah tubuhnya.
Sampai di sini, bapa tua terdiam, dari matanya menggenang air, menjadi kaca yang bening hingga memantulkan diri pemuda yang bisa melihat darah segar telah membuat merah seluruh tubuhnya.
“Kenapa berhenti, Bapa Tua?”tanya pemuda.
Tidak menunggu jawaban, pemuda meminta bapa tua untuk tidak menghiraukan tubuhnya yang telah memerah oleh darah segar, tetapi bukan hal itu penyebab bapa tua tidak melanjutkan ceritanya, melainkan sebuah penyesalan.
Pemuda bingung, sebab penyesalan bapa tua ialah tidak mengganti Komokomo dengan seekor ikan laut saat badik membelah silang leher Komokomo. Sementara penyesalan larut dalam sekejapan mata, bapa tua mendadak tertawa sambil bibirnya bergumam pulu musala dan tangannya memukul-mukul kepalanya sendiri.“Ingat-ingatlah lagi, ingat-ingatlah. Pulu musala!”
Betapa darah di kepala pemuda sudah mengalir sampai ke ruas-ruas pepohonan, hinggap di sela-sela bebatuan, tenggelam dan larut pula dalam lautan membuat separuhnya menjadi merah.Namun pemuda tidak hirau, ia melihatkertas yang tadi ia keluarkan tak ada satu kata yang dapat ia baca untuk mengingat bagaimana bapa tua memulai cerita, karena seluruh kertas telah basah oleh darah, terpaksa ia mengingat yang tersimpan di dalam kepala, sayang ia terlambat karena seisi kepalanya juga telah basah oleh darah, otaknya memerah membuat ia tidak bisa memikirkan hal lain.
Dalam samar-samar pandangan pemuda, ia melihat bapa tua melompat lalu lesap di langit yang sudah menjadi merah.
***
Biodata Penulis
Beri Hanna bukunya akan terbit “Menukam Tambo”, memenangkan sayembara Kelompok Renjana, 2021.