Ladang Puisi
Para petani membajak ladang puisi
yang sebentar lagi panen. Disediakannya
halaman baru tempat ular berkelit
mematuk rezeki, barang tentu untuk anak istri.
Dan ia bersorak
dalam renungan tanpa naungan
:membelah biji-biji padi di tanah bijana.
Oi, ini hidup makan nasi, tak perlu gengsi:
Satu piring dua sendok pastilah kenyang.
Oi, ini hari sudah sore, cepat telan sebelum basi.
2017
Sebelum Pagi Datang
Matahari nyungsep di seberang sana
ini hari petang mengawang
dan kita masih memainkan peran.
kedua kaki menuntunku pada jalan buntu
ada perayaan menyambut frasa-frasa cantik
yang muncul dari tarian sekumpulan kunang-kunang.
Ini petang jangan kau pergi
kutepukkan tangan tetapi bisu
tibalah waktunya rona sejuk buru-buru
mengusir keringat pagi tadi.
Sebelum ia datang menggelepar
kupatahkan semua yang tersisa.
2017
Di Sana Nyawa Dijual Murah
Tidak ada lagi coretan tembok
Tidak ada lagi omongan ibu
Tempat tidurku masih ada,
Di sana
Di sana
Rumahku roboh
Tanahku rusak
Mataku sayu
Senyumku sinis
Di sana
Nyawa dijual murah
Ada yang mau beli?
Pakailah dalih perkembangan
Maka ajal akan datang
Meromantisasi keadaan,
Di sana
Di sana
Setiap hari Israfil siap meniup sangkakala
Setiap jam genderang perang siap ditabuh
Setiap menit serdadu-serdadu kecil siap menghadang
Setiap detik jiwa-jiwa lusuh memuisi
Di sana
2018
Menukar Kematian
Adakah peluru itu di kepalamu?
Di atas tikar bangkar
nasib kami engkau gulung
hidup kami engkau atur.
Apakah suara itu menembus telingamu?
Tidak ada ketenangan angin
dalam hiruk pikuk kota
selalu terdengar desahan sampai tangisan.
Selama air jatuh dari mata
sebuah asa semakin pintar
memanggil cahaya pulang;
terbang bersama derai kekasihnya.
Matahari telanjang disetubuhi
punggung-punggung kotor, menetes
keringat dari ujung langit
dan kepadanya kami menukar kematian
dengan sebiji palawija.
2019
Memancing Matahari
Adik kecil pergi ke sungai ciliwung
Di tangannya terdapat kail dan umpan
untuk memancing matahari.
“Di sini, ia gemar bermain,” katanya.
Batu kali dan sampah ibu kota berjuntaian
mengais pundak hulu, membaringkan jasad hilir.
Perahu getek menyelam, bergerilya
dalam pusaran air payau. Di pintu-pintu
pengaduan, sayap malaikat menyambutnya.
2017
Celaka Belaka
Telah kuterima kado pahit saat kembali ke pelataran,
dua tangan pita melepas pelukannya. Terlihat kuasa
menabrak kata-kata. Duka siapa yang kan bapak bela
jika ufuk terus merutuk bibir kaca
retak seperti terimpit beban.
Dari kejauhan sungai emas berpendar
mencairkan harapan
di hadapan cakrawala yang tertawa. Angin berbisik
mengajak kelana, sekadar mendengarkan
dongeng usang;
Apa yang kau tanam itu yang kau tuai
Apa yang ia hasilkan itu adalah derita
Katanya kebaikan
Nyatanya kebalikan
(Langit mendung, sebentar lagi hujan kan turun,
dan aku mengambil ember-ember bekas
untuk menghadangnya; lantai ini tak boleh basah
sedikit pun)
Sesak
pekat
tetapi hangat.
Oi mimpi haruskah padam?
Jangan kau terlelap di sudut pembaringan,
lihatlah burung-burung menitip doa minta dijawab
Sesak
pekat
terisak.
Ia pulas sebelum temaram nasib
datang mendahului perencanaan.
berkali-kali tubuh ini terbelenggu rantai
yang merasa perkasa.
Sesak
panas
tersiksa.
Udara terus menyulut kekacauan
seakan abadi sekali pun telah dipanggil.
(Langit mendung, gerimis berjalan
dan aku menata ember-ember bekas itu;
tak masalah, hanya sebagian lantai saja yang basah)
Sore hari menutup dirinya, berganti malam
yang melukai bintang-bintang;
ditusuk
dicekik
diikat
kemudian dibuang.
Kedamaian-keadilan tak menampakkan
batang hidungnya.
barangkali ia sedang mengelus nurani
yang diantuk maut
atau terjebak di saku bapak.
Celaka!
(Langit hitam, hujan deras menghantam ember-ember;
lantai basah, semua tenggelam dan terbenam)
2017
Biodata Penulis
Dian Rijal Asyrof, penulis lepas kelahiran Brebes. Bergerak di komunitas Brebes Membaca. Buku kumpulan puisinya Suara dari Tanah (Pohon Tua Pustaka, 2020). Dagang buku di @japacokbook dan bisa disapa lewat Instagram @semi_pudar atau Facebook Dian Rijal Asyrof. Suka ngopi tapi bukan anak indie.