Fragmen Perempuan Sempurna
Oleh: Vito Prasetyo
Kota ini tak berantakan lagi. Peperangan telah membodohi keserakahan manusia. Catatan kisah perang memang tak mudah dihapus dari ingatan manusia. Tetapi ini adalah kisah perjalanan yang menghiasi cerita-cerita panjang, yang dimainkan oleh sebagian orang demi tujuan politik. Sebuah negara tidak akan pernah merasakan kebebasan dan kemerdekaan, tanpa andil penjajah. Dulu musuh, kini menjadi sahabat, begitupun sebaliknya.
Irama musik terdengar hampir di sebagian penjuru dan di sudut-sudut kota, menjadi denting kenangan yang mengisahkan sebagian kisah dari nukilan para pendongeng. Kisah memang tak ada yang abadi. Dan perempuan-perempuan serta secangkir kopi menjadi inspirasi saat melewati jejak-jejak kenangan hingga menjadi ritual waktu di sepanjang kedai atau warung. Ada percikan asmara, yang memaksa dunia ini berdamai atau pun sebaliknya menjadi malapetaka perang.
“Biarkan pikiran kita yang berseteru”
Ada masa dimana kita duduk bersama, bercengkerama sambil memainkan gelas dan cangkir di atas meja. Dan di sudut cafe, para pemusik mengiringi catatan kenangan kita untuk berbagi cerita masa lalu.
/El-Puerto/
-Artifacts of The Black Rain- semasa perang Kuba seakan terkubur pada tumpukan lirik lagu. Syair yang berbaris rapi dirilis dan dinyanyikan oleh grup band In Flame. Tetapi jejak perang itu yang menjadikan sebuah inspirasi. Riwayat sejarah sering hanya menjadi kisah tertulis, bahkan tidak jarang tertumpuk menjadi buku tua, yang memang sengaja untuk memanipulasi fakta. Apalah arti sebuah lagu yang dianggap sebagai kontemplasi seni, bukan lirik yang menceritakan sebuah kisah.
Kapitalisme ningrat telah meruntuhkan idealisme kemerdekaan dan kebebasan. Jika “fragmen pertempuran” adalah mengisak tangis para jelatah, itu sesungguhnya sebuah realita penindasan.Tanpa ketakutan, mewujudkan mimpi-mimpi seni, perjuangan adalah cara terindah bagi frasa puisi untuk memerdekakan diri.Seperti mimpi yang berjalan dalam angan, perempuan kadang terkucilkan ketika perang dianggap simbolitas keperkasaan kaum lelaki. Kaum perempuan dihadapkan pada kodrat tertutup.
Malam-malam panjang laksana tanpa penghujung, sudut-sudut bibir pun tanpa senyum menatap elok rembulan untuk bertahan menghempaskan selimut dingin. Suguhan bir hanya tersaji pada meja para pemurka, untuk memerdekakan kekuasaan kapitalisme ningrat, hingga dahaga para jelatah tak pernah terbasuh.
Hanyalah ampas-ampas kopi telah membakar cinta untuk merayakan kehidupan.Suara musang di keheningan malam bagai El-Puerto yang melagukan “Perempuan Sempurna” dan menyatukan serumpun rahim. Matahari membakar, memecah hening saat dada mulai membara dan menggumpal luka. Kemana harapan ini akan pergi!?
“Seluruh penderitaan harus berakhir”
Jejak waktu hanyalah penggalan sajak yang memendam sebuah kerinduan, menggetarkan kebebasan. Tak akan perlu lagi menyimpan kolong-kolong persembunyian. Saatnya menggemakan kidung cinta yang terkungkung di balik jeruji penjara. – Rumah Opera – hanyalah panggung untuk mematikan revolusi.
Sejatinya sajak tidak hanya tertulis dalam sebuah balada tanpa makna.Menghapus semua kesedihan, nukilan syahdu bahwa cinta adalah rahim yang melahirkan kebebasan sejati. Saat purnama telah beranjak, pikiran pun bagai ruang untuk melahirkan Nueva Cancion. Bukanlah hidup tidak untuk menunda sebuah perjalanan?
Tak ada kekal. Hujan pun suatu saat membasahi tanah. Adalah syair seperti rerumputan tumbuh di padang tandus. Memudar warna untuk memaknai hidup, karena perjalanan hidup itu sebuah pilihan. Apakah ada bedanya memilih mati sekarang atau menunggu waktu untuk memaknai diri di atas perjuangan bangsa!?
Havana, seperti kota-kota lain, dibangun di atas tanah-tanah diam hingga akhirnya terukir menjadi sebuah peradaban. Ini bukanlah sebuah puisi, yang menjadi keindahan tangisan seorang perempuan, kota selalu menjelma dengan tarian-tarian para perempuan sebagai pembakar semangat peperangan. Perempuan yang menumbuhkan kota menjadi sebuah tradisi modern. Tarian Salsa, Mambo dan Rumba mengalir ke seluruh negeri, membangunkan semangat keluar dari penindasan.
Seharusnya Celia Sanchez masih hidup, meski tarian mambo dan rumba tak lagi dimainkannya. Kota Media Luna begitu kecil untuk mencatat riwayatnya, tetapi biarkanlah sejarah yang mencatatnya. Celia Sanchez tak pernah mengingkari takdir ketika dia harus hidup di lingkungan rakyat miskin, hidup itu memang sebuah pilihan. Baginya pilihan menjadi revolusioner untuk memerangi imperialisme adalah sebuah martabat tertinggi untuk negara.
“Mungkin rasa cinta akan mengalir ketika perang mematikan rasa kemanusiaan.”
Di ujung mata, antara desingan peluru dan darah yang berceceran, perempuan tetaplah perempuan yang juga butuh akan cinta. Revolusi juga harus dicatat dalam literasi bahasa yang bagus. Bukankah perasaan cinta itu tidak harus menyatukan dua sosok manusia? Dan kematianlah yang menyatukan kisah-kisah cinta sejati, tertuang dalam buku-buku, hingga Celia Sanchez terenggut nyawanya akibat penyakit kanker.
Nueva Cancion, perjalanan indah dalam balada kebebasan yang mewujudkan sebagian harapan Celia Sanchez ketika musim harus berganti. Entah apa bedanya sebuah sajak rindu yang mengalir menjadi sebuah alunan melodi. Meski tak ingin menyatukan esai dan puisi, tetapi Kuba telah menuangkan kisah Fidel Castro dalam fragmen antagonis dan protagonis. Disitulah mungkin padang tandus yang gersang, suatu saat akan tumbuh tanaman indah meski tidak harus berbunga.
Entah mengapa ketika seorang prajurit perang Amerika pada jarak tembak yang tepat, dengan senjata laras panjang berteleskop mengarahkan senjatanya ke arah Celia Sanchez, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya untuk menghabisi nyawa perempuan itu. Perempuan itu terlalu cantik dan sempurna. Biarlah nanti di masa modern, Celia Sanches akan berperang dengan kematian. Wabah penyakit yang diterangkan oleh mata dan pikiran manusia sebagai pandemi.
“adios amigo.”
Sekian musim tak terdengar perang, Celia Sanchez telah merubah diri menjadi perempuan sempurna. Dia telah betul-betul menjadi seorang wanita. Seorang yang hidup di era modern, yang menjadi tempat peperangan teknologi. Era dimana tidak ada lagi keperkasaan laki-laki dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Saya tertarik berangkat ke Wuhan, mungkin disana masih ada sisa-sisa nuklir.”
Regina, seorang dokter hewan yang bekerja di lembaga penelitian pemerintah merasa tertarik untuk meneliti anti serum yang mungkin bisa dikombinasikan sebagai anti virus. Banyak berita yang beredar, bahwa wabah penyakit yang menyebar ke seluruh dunia ini akibat perubahan fungsi metabolisme tubuh hewan, dan dikembangkan dalam teknologi radio-aktif.
Regina adalah generasi masa depan Celia Sanchez, yang tak pernah tau bagaimana perang militer berkecamuk. Medan perang yang dihadapinya di ruang tertutup. Tidak semua orang senang memasukinya. Dalam hidup Regina, laboratorium menjadi pilihan untuk menghindari kebisingan konflik atau peperangan. Wanita ini begitu sempurna di dalam ruangan tertutup, seakan perasaan hatinya seperti itu. Hanya satu atau dua orang lelaki yang cukup dekat dengannya, tetapi itu bisa ditebak karena untuk kepentingan pekerjaannya.
“Langit betul-betul terasa panas.”
“Maaf Nyonya, hari ini ada larangan untuk semua maskapai penerbangan. Akan ada pemberitahuan lebih lanjut setelah pemerintah memberikan izin.”
Tidak ada yang mampu menjawab. Entah apa bedanya peperangan fisik dengan peperangan yang tak berwujud. Apakah harus menghidupkan kembali Celia Sanchez, dan kemudian bekerjasama dengan Regina. Putaran masa ini terlalu jauh, tetapi apakah harus dibiarkan pandemi yang tumbuh subur mematikan cita-cita kemanusiaan.
Pemberlakuan pembatasan ruang gerak seakan memacu peperangan batin, yang menunggu jawaban dari langit. Antara kebenaran dan samarnya kehidupan ddalam pandangan kasat mata. Regina hanya bisa menanti jawaban tak pasti.
Harapan Regina seakan terkoyak. Musnah sudah harapannya untuk berangkat ke Wuhan. Ditinggalkannya bandara, mobil yang dikendarainya seperti tak mau menoleh sedikit pun, melaju kencang membawanya pulang. Langit tampak hitam, meski tidak ada awan yang melintas di atas. Di atas sana seakan terlukis sebuah artefak. Lagu Artefacts of The Black Rain, lembut mengalun menidurkan Regina. Artefak yang dibasahi hujan hitam.
“Selamat Hari Perempuan Sedunia.” Secarik kertas bermotif bunga tergeletak di meja kerja Regina. Mungkin itu kiriman dari Celia Sanchez.
Perempuan yang menggulirkan makna perjuangan dan kebebasan berpikir, hanya menanti di balik pergeseran musim yang tiada henti. Kota Wuhan tak lagi menarik untuk dikisahkan, seiring duka yang terus melanda dunia. Hanya saja Regina tak pernah bisa menolak, kenapa negara seperti Kuba mengharuskan warganya untuk membaca buku setiap hari. Andai ini juga bisa ditiru di negerinya sendiri, bagaimana kaum perempuan menjadi kaum yang sempurna.
Saat Regina kembali bersiap-siap untuk berangkat kerja, pagi itu ada sebuah surat ucapan yang tergeletak di bawah pintu rumahnya.
“Selamat Hari Kartini.”
Regina tersenyum, masih ada kemenangan bagi kaum perempuan. ***
Biodata Penulis:
VITO PRASETYO, dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964 — Agama: Islam — Bertempat tinggal di Kab. Malang – Pernah kuliah di IKIP Makassar
Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat Budaya
Naskah Opini dan Sastra (Cerpen, Puisi, Esai, Resensi), Artikel Pendidikan & Bahasa telah dimuat media cetak lokal, nasional, dan Malaysia, antara lain: Harian Media Indonesia (Jakarta) –HarianPikiran Rakyat (Bandung) –HarianKedaulatan Rakyat (Yogyakarta) – Harian Republika (Jakarta) –Harian Solopos (Surakarta) – Harian Rakyat Sultra (Kendari) – Harian Suara Merdeka (Semarang) – Harian Pedoman Rakyat (Makassar) – Harian Suara Karya (Jakarta) – Koran Minggu Pagi –Harian Radar Malang – Harian Bali Post – Harian Denpasar Post (Denpasar) – HarianRadar Surabaya (Surabaya) –Harian Riau Pos (Pekanbaru)- Harian Sumut Pos (Medan) – Harian Lombok Post (Mataram) – Harian Radar Cirebon – Majalah Puisi – Harian Digital LiniKini (Jakarta) – Harian Waktu (Cianjur) – Harian Haluan (Padang)– Harian Fajar (Makassar) – Mingguan Utusan Malaysia – Harian OnlineMalang Voice (Malang) – Majalah SIMALABA (Versi Cetak dan Digital) – Majalah Pewara Dinamika (Universitas Negeri Yogyakarta)– Koran Dinamikanews –Harian Tribun Bali – Harian Online Apajake.Id – Harian Bangka Pos – Harian Duta Masyarakat (Surabaya) – Nusantaranews.co – Buanakata.Com – Wartalambar.com – Harian Padang Ekspres – Harian Malang Post (Malang)– magrib.id– travesia.co.id– Harian Ekspres Malaysia – Koran Merapi (Yogyakarta) – Harian Utusan Borneo (Malaysia) – Kompas.id – Majalah Puisipedia – Portal Media LP Ma’arif NU Jateng – Majalah Semesta Seni – iqra.id – Radar Mojokerto – Metafora.id – Harian Singgalang (Padang)
Buku Antologi Puisi: “Jejak Kenangan” terbitan Rose Book (2015)),“Tinta Langit” terbitan Rose Book (2015) – “2 September” terbitan Rose Book (2015) – “Jurnal SM II” (2015) terbitan Sembilan Mutiara Publishing (2016) – “Keindahan Alam” terbitan FAM Publishing (2017) “Ibu” terbitan FAM Publishing (2017) – “Tanah Bandungan” terbitan FAM (2018) – “Perempuan-Perempuan Kencana (2020) terbitan LISSTRA – Antologi Puisi “Sajak Dwiwangga – Dunia Tak Lagi Dingin” (2020) – Antologi Esai “Menakar Kebergizian Buku” Apajake.id (2021) – Buku Antologi Puisi “Luka Mimpi” WR Academy (2021) – Buku Antologi Puisi “Lelaki Pemburu Hujan” WR Academy (2021) – Buku Antologi Motikal “Bisai” Komunitas Durasi Paralay (2021) – Buku Antologi Puisi “Sabda Bumi” Media Literasi Indonesia (2021) – Buku Antologi Puisi “Sepeda dan Buku” Apajake.id (2021)
Termaktub dalam Buku ‘APA DAN SIAPA PENYAIR INDONESIA” (tahun 2017)
Juara 1 Lomba Menulis Puisi Tema “Patah Hati” Tingkat Nasional Tahun 2020 yang diselenggarakan Writerpreneur Academy
Juara 3 Lomba Menulis Puisi Tema “Asmara” Tingkat Nasional tahun 2021 (Writerpreneur Academy
E-mail : vitoprasetyo1964@gmail.com — HP/WA: 085336361115 fb/vito.prasetyo
Instagram: vitoprasetyo5 Tweeter: @prasetyo_vito