Mengkontruksi Mental Anak Lewat Jalan Sastra
Oleh: Fahrus Refendi
Meningkatnya penyimpangan sosial bukan menjadi hal yang pemali lagi. Kedewasaan umur ternyata bukan agunan seseorang itu menjadi arif. Apalagi sudah bersekutu dengan adikara yang dimiliki. Semua seakan hilang bentuk, remuk tak berbentuk. Dekadensi moral berbanding terbalik dengan dunia pendidikan saat ini. Ketimpangan tersebut sangat berbeda sekali dengan dunia pendidikan dulu, meskipun dunia pendidikan tidak semegah dan sekomplit sekarang. Apa yang sebenarnya yang menyelubungi hal tersebut?
Orang dewasa yang berbahaya, timbul dari anak yang dididik dengan cara yang semena-mena. Anak tak ubahnya sebuah komuditas dari sebuah cetakan. Jika cetakannya bagus maka baguslah hasilnya, begitu pun sebaliknya. Pola asuh anak memang jadi penentu mau dibawa ke mana negeri ini. Anak saya analogikan sebagai seorang nahkoda yang mengemudikan kapalnya. Jika nahkoda tersebut lalai apalagi mabuk bukan tidak mungkin bahtera yang dikemudikannya tersebut suatu saat akan oleng bahkan bisa karam di samudera raya.
Sebagai pemimpin dimasa yang akan datang, dimensi mental rasanya sangat perlu dibenahi pada setiap cucu bangsa. Banyak cara yang akan meneguhkan dan menstimulus mental anak, salah satunya melalui dunia sastra. Dengan sastra para orang tua bisa menyelipkan moralitas pada cerita yang disampaikan saat anak sebelum tidur.
Berbicara tentang mental berarti kita harus siap kembali ke kepingan masa silam. Tak sedikit negara yang sering berduka karena ulah manusia, sebut saja kasus korupsi yang akhir-akhir ini kembali masif. Apakah penyebabnya? Penyebabnya tak lain yakni bobroknya sistematika mental yang ada dalam setiap basyar. Dekadensi mental yang rapuh berimplikasi pada perilaku yang menyimpang sehingga merugikan grama, rakyat pun semakin sengsara.
Lembaran masa silam saya kira penting adanya bagi keberlangsungan kehidupan sekarang. Pemerintahan sekarang adalah buah produk masa lalu. Jadi, logikanya jika mau negara ini berkembang maju dan mempunyai sumber daya manusia yang jujur dan amanah, maka perbaiki mental anak mulai sejak sangat dini. Karena anak hari ini adalah utopis di masa yang akan datang.
Anak serupa kertas putih kosong katanya John Locke pada teori tabularasa. Anak terlahir ke dunia dalam keadaan tidak membawa bakat apa pun. Lantas, apa yang membedakan anak yang satu dengan yang lainnya? Yang paling elementer adalah cekaman serta didikan orang tua, lingkungan, dan dengan siapa seorang anak bergaul, serta yang terakhir adalah derasnya buah budaya layar.
Sebagai maktab pertama, rumah sejatinya harus menjadi tempat ternyaman dan teraman bagi seorang anak. Pada usia balita, seorang anak hanya mampu mengekalkan apa yang dia lihat dan apa yang dia dengar. Sehingga seorang anak menjelma menjadi receptif yang adiluhung. Nah, disinilah kejiwaan mulai terbentuk karena kebiasaan yang diturunkan orang tua.
Adagium Madura mengatakan aeng plancoran riah ta’ kerah aghili ka attas (air dari selang tidak mungkin mengalir ke atas). Pada aforisme tersebut saya menganalogikan bahwa jika ingin mengetahui sikap hidup suatu keluarga sangat gampang sekali. Cukup dengan memperhatikan ragam laku seorang anak. Dengan hal itu kita bisa menebak budi pekerti dan kebiasaan sepenuh keluarga si anak. Karena jika mengacu pada amsal Madura tersebut maka sifat yang dimiliki oleh orang tua pasti akan turun pada anandanya.
Membentuk Karakter Anak Dengan berliterasi Sebelum Tidur
Dewasa ini peristiwa mendongeng bisa dikatakan senasib dengan flora dan fauna yang diambang rembas. Ya, kata rembas saya pilih lantaran para orang tua sudah mengesampingkan literasi ranjang (dongeng sebelum tidur) dengan banyak dalih: tidak punya waktu, cucian banyak, nonton dangdut lah dan yang lebih ironis lagi adalah asyik dengan dunianya sendiri dengan gadget yang selalu menempel di tangan. Payah sekali bukan? Sementara di pihak lain si buah hati yang kering pengalaman terus saja mengalami krisis bacaan dan cerita. Lalu, seberapa pentingkah literasi ranjang bagi tumbuh kembangnya mental si buah hati?
Di Eropa sana, iklim literasi tak ubahnya sebuah virus yang menjangkit setiap individu, literatur yang pernah saya baca mengutarakan bahwa, literasi di sana berjalan, hidup, dan berkembang melalui kafe-kafe. Artinya, sebuah kafe bukan hanya pasif akan tetapi sangat masif adanya. Kafe bukan hanya dijadikan arena gastronomi akut, melainkan juga berfungsi sebagai epidemi keilmuan yang terus menjalar.
Hipotesis saya begini: jika iklim literasi sudah berada di taraf sosial (kafe) maka hal itu merupakan punca dari cakapnya literasi rumahan (baca buku). Sedangkan unsur primer dari hal itu semua saya kira bersumber pada literasi ranjang yang acapkali sering ditunaikan dari para orang tua ke anaknya semasa kecil. Ada hukum kausalitas yang bermain di sana.
Seorang anak tak ubahnya seperti padang tandus yang kering-kerontang. Sebagaimana anggana gersang, yang mereka butuhkan hanyalah seberkas tirta yang dapat mengobati dahaganya. Kekurangan si anak yang minim segala hal itu justru yang jadi problematika. Di lain hal, anak juga kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada orang tuanya meski yang mereka tanyakan kebanyakan nyeleneh dan tak masuk akal. Namun pada ambang inilah kecakapan para orang tua diuji. Terkadang banyak orang tua tidak menggubris pertanyaan si anak, malah ada sebagian yang memarahi si anak lantaran pertanyaannya itu. Saya kira diskursus ini yang perlu dikaji ulang oleh para orang tua.
Membangun iklim literasi ranjang saya kira menjadi hal primordial dengan catatan: proses pembelajarannya harus menyenangkan. Situasi belajar yang bangka barangkali sangat menghambat mobilisasi belajar. Dengan kata lain, kita sadar penuh bahwasanya dunia anak penuh dengan fantasi dan dolan. Nah, berangkat dari hal itu, bagaimana menciptakan situasi belajar sambil bermain yang disukai oleh anak-anak.
Saya kira dunia sastra bisa menjadi preferensi pembelajaran yang menyenangkan, karena di sana para orang tua bisa menyelipkan pesan-pesan moral dari cerita yang disampaikan. Cerita-cerita bisa berupa dongeng, fabel, dan cerita-cerita anak lainnya. Bisa juga para orang tua merancang sendiri lakon yang akan disampaikan kepada buah hatinya.
Narasi besar yang kebanyakan dianggap tidak esensial adalah pentingnya mencuci tangan. Kecakapan orang tua dalam menyampaikan ceritan haruslah menarik supaya si buah hati tertarik pada apa yang diceritakan, jangan lupakan juga sediakan media pembelajaran berupa ilustrasi-ilustrasi dampak dari menyepelekan mencuci tangan. Contoh eksplisit yang bisa diambil semisal yang terjadi pada dunia sekarang ini, yaitu tentang menyebarnya virus corona.
Jelaskan dengan runtut terkait apa itu virus korona, cara menularnya ke orang lain serta cara pencegahannya. Tentu cara penyampaiannya harus disesuaikan dengan etiket anak-anak dan usahakan semenarik mungkin agar animo anak mendengarkan juga tinggi. Ranah sastra tidak berhenti disitu saja. Sastra yang dinamis dan statis akan terus hidup sesuai dengan keadaan zaman. Bercerita sebelum tidur (literasi ranjang) saya kira penting adanya, disamping menumbuhkan sikap kritis pada si anak, dunia sastra juga bisa menumbuhkan semangat kemanusiaan sekaligus membentuk mental yang baik.
Melalui dunia sastra imajinasi seorang anak sedikit banyak akan terpenuhi. Dan tidak hanya itu, melalui cerita-cerita yang disajikan, anak akan lebih peka terhadap sifat simpati dan empati, contoh kecilnya semisal dalam cerita yang disampaikan si tokoh utama mengalami siksaan (batin maupun lahir) terkadang si anak juga merasakan kesakitan yang dialami si tokoh tersebut. Hal itulah yang saya kira akan menjadi tembok kokoh pembentuk psikis dan mental anak suatu saat nanti.
Akhirnya, Jika kita mau menarik ke belakang bahwa esensi sifat sastra itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Heratius terdiri dari dua hal yaitu: dulce dan utile (menyenangkan dan mendidik). Dua hal tersebut saya kira krusial adanya bagi keberlangsungan hidup pada anak sebagai juadah hidup hari ini, esok dan nanti.
****
Biodata Penulis
Merupakan mahasiswa Universitas Madura program studi Bahasa & Sastra Indonesia. Kini menetap di Pamekasan Madura. Bergiat di Sivitas Kóthѐka.
Facebook: Fahrus Refendi
IG: fahrusrefendi_