Tak Seorang Pun yang Menikah Bahagia
Cerpen Aliurridha
“Tak seorang pun yang menikah bahagia.”
Apa yang dikatakannya mengingatkanku pada seseorang, seorang lelaki yang kata-katanya meninggalkan gema pada lubang di hati. Tiga belas tahun lalu, Dariel, lelaki yang juga merupakan temanku sejak kecil, mengatakan hal yang sama ketika aku bertanya padanya, kira-kira akan nikah di usia berapa?
“Menikah? Buat apa? Tak seorang pun yang menikah bahagia,” jawabnya penuh nada sinis seperti biasa.
“Jangan membawa-bawa masalah pribadimu, seolah-olah pemikiranmu itu mewakili perasaan setiap orang.”
“Aku tak pernah mengatakan aku mewakili setiap orang, aku hanya mewakili golongan yang jujur saja.”
Aku tertawa mendengar jawabannya. Aku tak setuju, tapi tak juga membantah. Aku mengerti sekali apa yang telah dilaluinya, bagaimana kehidupan telah membawanya sampai menjadi pribadi yang selalu sinis memandang hidup. Ia tumbuh besar dengan seorang ayah yang abusif dan ringan tangan. Beruntungnya—duka bagi kebanyakan orang merupakan anugerah baginya—di usia sembilan tahun, ayahnya tertangkap dan masuk penjara karena ketahuan membawa dua kilo sabu. Ayahnya dihukum selama dua puluh tahun, dan sejak saat itu Dariel tak pernah bertemu lagi dengan ayahnya yang mati di lapas—dibunuh oleh preman yang diutus oleh saingan bisnisnya.
Ibunya juga tidak kurang menyumbang derita untuknya. Sehari-hari ibunya hanya berjudi. Setelah suaminya tak ada, aktivitas judinya semakin menjadi-jadi. Uang gajinya sebagai kasir sebuah toko, malah dihabiskan untuk berjudi. Jika uang sudah habis, ia akan menggadaikan tubuhnya pada siapa saja yang mau membayarnya.
Di usia Dariel yang belum genap sepuluh tahun, ia pernah menyaksikan peristiwa yang menggoreskan luka pada kantong ingatannya. Saat itu, ia menyaksikan tiga orang pria serupa preman pasar, datang menagih hutang pada ibunya. Karena tak memilki uang sama sekali, mereka memperkosa ibunya sebagai bayarannya. Aku membayangkan Dariel, di usianya yang begitu belia, dipaksa menyaksikan adegan mengerikan itu. Ketika aku mengucapkan rasa perihatinku, jawaban Dariel sungguh mengejutkanku; “Tak perlu. Kurasa ibu justru menikmatinya.” Aku bergidik ngeri mendengarnya.
Meski aku telah mengerti bagaimana pengalaman hidup membuatnya menjadi lelaki sinis seperti ini, aku tak bisa menahan diriku untuk bertanya alasan di balik pernyataannya itu. Sebenarnya aku punya beberapa dugaan kuat mengenai jawaban yang kupikir akan meluncur dari mulutnya, namun ia tak pernah gagal mengejutkanku.
“Karena menikah membutuhkan pasangan pria dan wanita,” ucapnya.
“Lah, memangnya kenapa dengan itu?”
“Pria itu adalah binatang buas yang tidak akan pernah puas berburu. Menikah adalah kandang yang akan membatasi sifat alamiahnya. Bayangkan seekor singa yang hidup di kebun binatang, bisakah ia bahagia?”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Kenapa kamu tertawa?” tanyanya kesal.
“Aku tak tertawa, aku hanya tersenyum. Metaforamu selalu menarik. Terus-terus…” Aku meminta ia melanjutkan.
“Wanita itu adalah Burung Nuri, pernikahan adalah sangkar yang bagi hidupnya. Meski ia terus diberi makan, disayang, dimandikan, dan dirawat, tak ada Nuri dalam sangkar yang bahagia.”
“Ah, aku kecewa. Pemikiranmu terlalu streotip.”
“Kamu tak percaya?”
Aku menggeleng. Ia tak berkata-kata lagi, lalu menerkam dan mencumbuku—dan kami membiarkan naluri purba menuntun kami. Begitu kami selesai melakukannya, ia bertanya;
“Masih tak percaya bahwa lelaki itu singa?”
Aku hanya tersenyum dan berkata dalam hati; Kamu sangka dirimu singa, padahal akulah singa itu….
“Kamu kok malah melamun?” pertanyaan pria di depanku mengagetkanku. Ia sampai melambai-lambaikan tangannya karena aku tak juga merespon.
“Maaf,” ucapku padanya. “Kata-katamu mengingatkanku pada seseorang. Apa yang kamu katakan persis seperti yang dia katakan.”
“Aku berani bertaruh, orang itu sedang berada di ujung tanduk perkawinannya.”
“Tidak. Justru saat itu dia belum menikah.”
Pria di depanku heran mendengar jawaban itu. Ia heran karena orang lain yang berpikir seperti dirinya, tidak berada dalam masalah yang sama dengannya. Manusia memang seperti itu, selalu menilai orang lain dengan alat ukur dirinya. Ia tak percaya ada orang yang mengatakan apa yang dikatakannya, belum menjalani pernikahan. Mungkin dalam pikirannya, pendapat orang yang belum menjalani pernikahan tidak akan valid. Mungkin juga ia berpikir bahwa orang yang belum menikah, tidak akan tahu atau tidak punya hak untuk menilai soal pernikahan. Mungkin dia tak tahu bahwa ada begitu banyak anak-anak tidak bahagia, lahir dari sangkar emas bernama pernikahan, menyaksikan dengan mata kepala mereka betapa tidak bahagianya kedua orang tua mereka.
Pria di depanku berhenti bicara, mengambil sebungkus rokok dari kantongnya, menyalakan sebatang. Lalu dihisapnya rokok itu dalam-dalam, kemudian dihembuskan asap-asap itu jauh-jauh, seolah-olah dengan menghembuskannya asap itu jauh-jauh, masalah hidupnya juga akan menjauh.
Langit begitu gelap dan udara terasa sangat dingin. Tak ada sebutir pun bintang di langit, seolah-olah kota ini sedang menyembunyikan mereka. Benda-benda bercahaya yang berjarak jutaan tahun cahaya itu kini telah kalah oleh gemerlap cahaya yang lebih dekat dan lebih terang. Kota ini begitu gemerlapan oleh berbagai jenis lampu, namun lampu-lampu itu masih tak mampu menerangi hati-hati warganya yang gelap. Kadang aku berharap lampu di seluruh kota ini mati saja, dan biarkan benda-benda langit jauh di atas sana, kembali bercahaya. Aku berharap cahaya bisa sampai di hati-hati mereka yang gelap. Mungkin dengan itu warga kota ini bisa sedikit berbahagia. Dengan itu aku bisa mengambil libur beberapa hari menghibur hati-hati yang tak berbahagia ini.
***
Hujan membasahi bumi sejak pagi tadi. Nyaris setengah hari aku berdiam diri, malas-malasan di kamar. Sedari tadi aku hanya menatap dunia luar lewat jendela kecil kamarku yang mengabur oleh rintik-rintik air hujan. Aku selalu menyukai hujan. Aku menyukai bau tanah yang menyeruak begitu hujan pertama turun. Aku menyukai bau udara yang terasa melegakan setelah hujan menyapu polusi bumi. Aku juga menyukai pemandangan yang kusaksikan di luar jendela kamarku ketika hujan masih berupa rintik pelan, hingga perlahan berubah menjadi guyuran yang lebat. Bagiku setiap perubahan itu memberikan penggambaran berbeda-beda, memperhatikannya, mencari perbedaannya selalu menarik—membuatku selalu betah berada di dekat jendela. Dan yang paling membuatku betah menatap jendela ketika hujan adalah karena jendela ketika hujan membawa ingatanku padanya. Saat itu aku dan dia juga sedang menatap jendela yang sama, dan hujan juga tak berhenti sedari pagi.
“Kamu tahu tidak kalau pada dasarnya manusia tidak diciptakan untuk hidup bermonogami,” ucapnya padaku saat itu.
Tiba-tiba saja ia mengatakan sesuatu yang membuatku menerka-nerka, akan ke mana arah pembicaraan ini?
“Memang tidakkan? Bukannya pria selalu berpoligami,” balasku padanya.
“Bukan-bukan itu. Semuanya, baik wanita maupun pria sebenarnya tidak diciptakan untuk hidup secara monogami,” ia terdiam sebentar mengingat sesuatu. “Aku pernah baca di sebuah artikel kalau pada dasarnya manusia itu sama saja dengan binatang, secara alamiah mereka tidak bermonogami. Dan manusia adalah satu-satunya yang melakukan hubungan seksual untuk rekreasi, kalau binatang lainnya melakukan hubungan seksual untuk prokreasi….” ia terdiam seperti memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya. “Buktinya adalah ukuran penis manusia yang jauh lebih besar dibandingkan milik gorila jantan, yang secara volume dan berat jauh di atasnya.”
“Memangnya apa hubungannya?” tanyaku yang masih mencoba menerka-nerka maksudnya.
“Karena manusia adalah satu-satunya binatang yang melakukan seks untuk rekreasi itulah alasannya penis pria lebih besar daripada jantan jenis apa pun.”
“Kuda…”
“Kenapa dengan kuda?” tanyanya seperti orang bodoh.
“Miliknya jauh lebih besar daripada manusia. Jadi apakah kuda juga melakukan seks juga rekreasi?”
Ia nampak kebingungan dengan pertanyaanku. Wajahnya terlihat bodoh, jauh lebih bodoh dari yang tadi.
“Memangnya kamu mau apa sih muter-muter gitu?”
“Mau nggak… kamu melakukannya denganku?”
“Melakukan apa?”
“Rekreasi…” wajahnya memerah. Ia nampak sangat malu ketika mengatakannya.
“Aku punya pacar—bukannya kamu juga punya?”
“Kan sudah kubilang, manusia tidak cocok bermonogami.”
Itulah pertama kalinya kami melakukannya. Sejak saat itu kami menjalani hubungan tanpa status, hubungan yang tidak monogamus. Lama kami menjalani hubungan yang seperti itu sampai ia tidak pernah lagi mendatangiku—membuatku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Aku menunggunya, terus menunggu, sampai kemudian sebuah undangan pernikahan datang: dia akan menikah…
Sebuah pesan masuk layar hapeku. Pesan itu dari pria dua hari lalu. Pesan itu menjadi semacam kode jika dia ingin bertemu denganku. “Oke,” balasku singkat. Lalu aku mandi dan bersiap untuk berkencan. Sampai saat ini telah ratusan lelaki dengan pernikahan yang tak bahagia menghubungiku, mencari sedikit kesenangan dariku. Dari ratusan lelaki yang menghubungiku, aku selalu berharap salah satunya adalah lelaki itu: Dariel. Mungkinkah dia menjadi satu-satunya orang yang berbahagia dengan pernikahannya di kota ini?
Gunungsari, Desember 2020
Aliurridha Penerjemah dan penulis partikelir. Sehari-hari menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di beberapa media baik cetak maupun daring. Cerpen-cerpennya telah terbit di Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Fajar Makassar Lampung News, Medan Pos, Magrib.id, dan Metafor.id. Aktif berkegiatan dan berproses dalam komunitas Akarpohon.