Catatan Pendaki
sepasang puting yang telanjang, Sophia
kita berjalan menyusuri hutan bergaun api
melubangi jejak-jejak hijau di dekat telaga
langkahmu semakin cepat, meninggalkanku
di tempat semula kita berciuman
kemudian kau bertanya, kemana jalan
yang paling tepat untuk kita pilih kemudian
ini sudah terlampau tinggi, melihat
ke bawah hanya kutemukan bayang putih
:kabut memintal perkampungan penduduk
kita tidak akan mengeluh, Sophia, sekadar
mengucap aduh dan duduk di kening batu
alangkah tabah kaki, mengepak debu
terbang ke langit yang jauh
di sini tidak kedap suara, tetapi
kau bebas berteriak untuk luka yang fana
Yogyakarta, 2020
Jalan Menuju Pantai
kau sendiri yang mengatakan
jari dari pohonan sepanjang
perjalanan tidak henti-henti
menunjuk pusaran angin
kita berjalan ke barat
di samping kanan, jerambah
dari pusara
usianya semakin menua
seketika, kuingat kefanaan
;ombak berdebur tak kembali
desir angin tak kunjung rapi
alangkah bangat putaran waktu
detik-detik yang runcing
tiba-tiba saja sampai di laut
biru dan mata kita tak henti bertaut
Yogyakarta, 2020
Kapal Tua
bila kupulang dari perantauan
—melewati jalan biasa, ombak beriak
sisik ikan di muka laut tampak
punggung kapal ini, ibu, betapa tua
alangkah tabah lunas menerima
dan selalu pasrah membaca gerak air
setiap pagi menunggu matahari pertama
menunaikan terik di pucuk angsana
besok-besok kalau berangkat kembali
rasakan, ibu, rasakan punggung kapal ini
bunyi berderik menanggung nyeri nan ngeri
tetapi tidak ada yang mengerti
;sesungguhnya, bahasa kayu
adalah bahasa kita
bahasa ketakutan di tulang dada
Yogyakarta, 2020
Perempuan Kampung
pekan-pekan yang rumit, kemarahan
di kepala kita semakin hari semakin naik
tetapi, bibirmu tetap kembang angin
meruntuhkan musim kering di kening
matamu pikat, pendar dari seluruh jimat
aku berlindung di dalamnya
;seluruh retina terbuat dan benda
ketenangan sebagaimana di dunia
meski jauh, selalu kupersiapkan
dan terus kubusungkan lekuk dada
takut-takut kau menggelar tangis
yang tak pernah kita duga
ini hari-hari yang rumit
setiap detik,
detak kita semakin sempit
Yogyakarta, 2020
Solitude
warna dinding rumah kita sedang bercalit
sementara tubuhmu tidak kutemukan
sepanjang ranjang dari ruang depan
sampai belakang
sepotong pigura, yang merekam
wajah kita. di sana, kau menatap
mataku, kubalas memasuki matamu
tetapi sesungguhnya, tatapan kita
tidak pernah bertemu
halaman rumah kita mulai disetubuhi
ujung rumput setengah kuning
aku menatapnya sepanjang pagi
sampai beranjak nama-nama hari
Yogyakarta, 2020
Tentang Penyair
Moh. Rofqil Bazikh merupakan mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga dan bermukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Duta Masyarakat, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.