“Kemerdekaan sejatinya menjadi narasi atas tuntasnya semua permasalahan bangsa” (Orang Merdeka)
Dalam alam demokrasi, berpolitik praktis adalah tata cara konspiratif yang legal secara konstitusi bagi kita untuk sebuah perbaikan bangsa dan negara.
Tentu saja langkah berpolitik bagi kaum muslimin adalah sebuah langkah membangun proyek peradaban kebangkitan Islam itu sendiri. Sebuah kehidupan yang Islami, dimana semua unsur-unsur kebaikan tumbuh subur dan mekar di taman Indonesia ini..
Membangun proyek peradaban tersebut tentu saja tidak lah mudah. Dibutuhkan sosok pemimpin yang mampu memberikan “kemanfaatan” bagi masyarakat peradaban yang akan dibangun.
Tersebab, memang logika sederhana masyarakat adalah manfaat. Apa yang bisa diberikan oleh pemimpin kepada dirinya, kepada masyarakatnya. Untuk kehidupan kelayakan..
Oleh karena itu, menghadirkan tokoh pemimpin sangatlah kompleks. Semestinya ia didasarkan pada pengetahuannya, akhlaknya dan kemampuannya (ahli). “Jika suatu urusan.” Ungkap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. “Diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran”. Kenapa ahli diksi yang digunakan nabi bukan shalih?! Ini persoalan lain lagi. Idealnya memang keshalihan itu menjadi penopang utama dari keahlian dalam suatu urusan.. shalih namun tidak ahli agak repot juga kita. Itu sebabnya semisal sahabat Abu Dzar al-Ghifari tidak pernah menjadi seorang pemimpin ditengah-tengah umat. Kepiawaiannya (keahlian) dalam berkomunikasi dengan masyarakat tidak membuat nyaman masyarakat itu sendiri..
Mencari dan menggali kepemimpinan, seharusnya berangkat dari kesadaran masyarakat baik pengetahuan dan nilai spiritual jiwanya. Sehingga logika kemanfaatan yang disebutkan diawal tadi menjadi kemanfaatan yang merata bagi kesemua lapisan masyarakat.
Kita tidak ingin menggali sosok pemimpin atas mitos, legenda atau kisah yang membuaikan. Yang bisa jadi justru menjadi layunya proses demokrasi.
Menggadang-gadang salah satu tokoh sebagai ratu adil atau pangeran kesuhunan yang diharapkan mampu membawa keadilan dan kemakmuran bagi negeri sulit untuk dicerna sebagai narasi kemajuan bagi masyarakat yang berpengetahuan..
Tetapi, suka tidak suka negeri kita sudah kadung menerima cerita atas ramalan-ramalan tentang pasang surutnya Nusantara dari masa ke masa hingga nanti arah masa depanpun sudah tertera..
Ada yang menarik ketika periode bangsa ini menuju ke arah kemerdekaan sebagai bangsa. Ada narasi yang menarik dari sang proklamator kemerdekaan Indonesia.
“Bersama kelahiran ku.” Ujarnya saat itu. “menyingsinglah fajar dari hari baru. Menyingsing pula fajar abad baru. Karena aku dilahirkan tahun 1901.”
Lebih lanjut dalam otobiografinya, Bung Karno melukiskan secara plastis, “hari lahirku ditandai angka serba enam. Tanggal enam dan bulan enam. Telah menjadi nasibku dilahirkan dalam naungan Bintang Gemini. Lambang kekembaran. Dan itulah aku paduan antara dua sifat berlawanan.”
Maka, kita mengenal Bung Karno sebagai putra sang fajar..
Kita tak hendak menilai bapak proklamasi berkiblat pada bintang (Rasi) tentang kepemimpinannya. Tetapi, narasi yang dibangunnya atas bangsa ini sebagai bangsa yang akan bangkit diabad mendatang. Sebagaimana metafora yang sudah disampaikan hari baru dan abad baru atas sebuah kelahiran.
Kemanfaatan yang ingin dirasakan oleh masyarakat Indonesia masa itu adalah tentang sebuah kemerdekaan. Tapi, sekali lagi kita enggan berkiblat pada mitos dan tanda alam sesoal terwujudnya kemerdekaan.
Tentu saja narator pada masa itu tidak hanya Bung Karno. Banyak narator lainnya yang bahkan mungkin hingga hari ini tidak tercatat dalam sejarah bangsa. Namun, persamaan atas rasa terjajah yang dinarasikan oleh Bung Karno selama 350 tahun menjadi semangat yang menyala untuk bangkit merdeka.
Karena kebutuhan masa itu adalah tentang kemerdekaan. Masyarakat tak terlalu bergegas untuk berpikir dan mengkaji sekaligus menguji sesoal narasi yang dibawakan. Tentu saja, semangat kolektifitas dari kesemua pemimpin bangsa ini sudah dimulai jauh sebelumnya. Terlepas kesemua arus kolektifitas tersebut bermuara ke pada Bung Karno..
Sekali lagi. Pada kesekian puluh tujuh enam kemerdekaan bangsa ini. Kita tak ingin membangun proyek peradaban dan kepemimpinan kedepan terjebak pada mitos dan rasi ratu Adil sebagainya.
Isyarat mitos, bencana dan objek benda-benda langit sekalipun tidak akan bisa kita beri toleransi atas peristiwa hari esok dan masa datang. Kemerdekaan, menjadi semangat memurnikan pengetahuan dan menjaga akidah masyarakat kita.
Karena, isyarat mitos, bencana, atau peristiwa yang dianggap ganjil serasa rentan menghasilkan ketidak pastian bahkan menjadi dusta. Bukan menjadi kebenaran absolut, yang bisa saja menjadi sebuah relatif baru yang sangat berbeda dengan apa yang kita duga-duga..
Jika pun itu sempat bersesuai dengan apa yang sudah terduga sebelumnya sesoal keyakinan kita terhadap mitos dan gejala lainnya. Justru melahirkan “besar kepala” dan munculnya manipulasi baru terhadap prediksi-prediksi yang sesungguhnya bisa saja salah. Dan hal itu sangat berpengaruh terhadap layu nya keyakinan pikiran maupun jiwa kita.
Semisal, ketika Petruk menjadi ratu, maka yang kita tunggu adalah Semar yang menggulingkan kuasanya…
Atau peristiwa baru-baru ini jatuhnya bendera merah putih disuatu daerah sebagai pertanda bagaimana Indonesia kedepan..?! Keyakinan dan jiwa kita yang mesti memberi jawaban..
Kita teringat dengan puisi salah satu tokoh politik “Sesungguhnya musuh kita adalah Layu”
Untuk itu, kita menjaga layunya pikiran dan jiwa karena dari sanalah narasi-narasi itu dilahirkan.
Dalam menjalani hari-hari kedepan atas kemerdekaan yang telah tercapai. Sejenak kita kembali melirihkan salah satu ungkapan dari Putra sang Fajar.
“Kekuatan doa itu bukan terletak dari seberapa jauh kamu menghapal ayat-ayat Tuhan, seberapa banyak kamu mengucapkan doa dengan hitung-hitungan matematis, kekuatan doa itu justru terletak dari keyakinanmu terhadap doa itu yang kemudian menggerakkan hati.
Ketika hati kamu bergerak, alam semesta akan menggerakkan dirinya untuk mewujudkan keinginanmu, atas dasar itulah saya berani memerdekakan bangsa saya”
“Saya lahir pada tanggal 18 Juni 1984″ telah menjadi takdir saya dinaungi bintang Gemini. Lambang kekembaran. Dan itulah dua sifat berlawanan. Saya bisa baik dan bisa juga lebih baik”
Opini Hefra Lahaldi