Oleh: Audy Azizah
wartabianglala.com – Proses perkenalan mengenai hakikat nilai-nilai hidup adalah melalui penjajakan dasar yang sangat datar. Yang dalam hal ini masuk dalam wilayah pemikiran, kemudian diinteraksikan sehingga muncul pembelajaran. Berangkat dari keingintahuan yang dibentuk berdasarkan kesadaran, maka diperlukan alat penyokong yang kemudian menghasilkan jawaban tentang baik buruk, keliru, dan benar salah.
Lalu bagaimana jika sebagai makhluk fisik, manusia menjadi selalu haus terhadap hal konkret? Apa kehausan tersebut yang kemudian mengantarkan interaksi benar-benar menjadi suatu pembelajaran?. Sehingga berangkat dari sekitar abad ke 17 di Eropa, muncul gerakan literasi dimana masyarakat menjadi manusia yang sadar akan keilmuan meningkat dan membentuk komunitas intelektual yang menggunakan baca tulis sebagai bekal pembelajaran, lalu hal tersebut membuat para intelektual pada masa itu menetapkan delapan September menjadi hari melek huruf. Sedangkan sejarah lain menyebutkan bahwa dalam peradaban Islam sebenarnya kebiasaan baca tulis sudah ada, hal itu jauh sebelum abad ke 17 berlangsung.
Dalam perjalanannya mencari jawaban terhadap teks dan konteks, seringkali rasionalitas dikedepankan dalam rangka mix and match dengan bagaimana realitas terbentuk. Pertanyaannya kemudian, apakah imajinasi masih berlaku sebagai anasir fungsi dan adiguna sebagai manusia yang haus terhadap hal konkret?. Bahkan ketika kemunculan segitiga saja merupakan hasil dari pikiran bagaimana bentukan dari segi dengan tiga sudut tercipta, maka dapat dibuktikan bahwa memang imajinasi dapat muncul lebih dulu sebelum realitas terbentuk. Maka narasinya adalah “Segala sesuatu yang ada adalah karna sesuatu itu difikirkan melalui imaji”.
Tidak akan menjadi tradisi baku apabila sesekali menjadi imajinatif sebagai bentuk ungkapan keresahan yang diejawantahkan dalam banyak lakonisme. Sebab memang adanya literarian adalah karna imaji termanifestasikan sehingga membaca, menulis, dan mengeksekusi dapat terbentuk. Akan lebih rasional jika hari ini diterapkan pada imajiner, kaum intelektual bahkan, tentang bagaimana semestinya menempatkan imajinasi dalam kesemrawutan keadaan masa kini. Semua yang berimajinasi adalah semua yang berlaku dan berlakon seni.
Pelakon seni yang tercipta dan tumbuh dalam abad ini mampu menempatkan imajinasi pada ruang yang tepat karna diterima dalam banyak kalangan yang kebetulan masuk dalam ‘kesemrawutan’ realitas masa kini. Dengan kesadaran khusus pula, pelakon menggunakan imajinya menjadi jalan perenungan banyak orang menemukan jawaban. Dalam hal lain, penulis meyakini pula seni tersebut dapat setara dengan sains dan filosofi. Sehingga menjadikan pelakonnya sebagai harta karun dalam Respublica Literaria.
Street Art hari ini merupakan satu gambaran kecil mengenai bagaimana berinteraksi yang memunculkan pembelajaran sebenarnya terjadi sekaligus perenungan yang mengantarkan jawaban tentang apakah sesuatu itu salah benar, baik buruk, atau kelirunya suatu realitas. Akan menjadi tanda tanya besar apabila alat perenungan realitas justru dipermasalahkan saat ini.
Diakhir, secara harfiah seni merupakan ungkapan halus dari autentisitas jiwa. Semua yang berdialog adalah yang berliterasi dan semua yang memanifestasikan kejiwaannya adalah pelakon seni. Maka disitulah garis besarnya bahwa memang imajinasi harus selalu terlibat dalam Respublica Literaria masa kini.
SELAMAT HARI LITERASI INTERNASIONAL