“Ingatan kelam kita diakhir September dan kemenangan di awal Oktober 65′ menjadi pengetahuan utuh menjaga dan merawat ideologi berbangsa” – Hefra Lahaldi
Pancasila hasil konsensus dasar bernegara telah menjadi pemenang dengan sebagai jalan tengah yang dipilih oleh para pendiri bangsa.
Jalan tengah (Kalimatu al-Sawa’) ini dipilih sebagai kemaslahatan atas pertarungan ideologi diawal-awal kemerdekaan. Ada proses negosiasi, bergaining (posisi tawar) yang panjang sehingga menjadi kesepakatan bersama.
Pancasila, kemudian kembali menjadi pemenang kurang lebih 20 tahun setelahnya. Ketika diuji atas terjadinya pengkhianatan ideologi musuh bangsa di akhir bulan September 65′. Momentum Coup yang direncanakan oleh para pelaku dan petualang malam jahanam tersebut menjadi momentum kemenangan ideologi negara pada sehari berikutnya. Dan akhirnya mengubur dalam-dalam ideologi komunisme yang tak setia kepada ideologi negara.
Prof. Salim Said mengatakan bahwa kita memiliki ingatan yang panjang dan terang atas tindakan sepihak komunis bagi bangsa. Tentu saja, 65′ adalah peristiwa yang paling kejam dan kelam.
Lebih dari setengah abad tepatnya 56 tahun. Ingatan kolektif bangsa kita terjaga. Setidaknya berbagai lembaga survey merilis hasil bahwa 46% masyarakat percaya bahwa ancaman PKI itu nyata pada masa sekarang ini.
Sebagian besar kita menjaga dan merawat ingatan itu dengan kembali memutar film pengkhianatan G-30S/PKI. Kita tidak ingin memasuki perdebatan antara pendukung dan pihak penentang pemutaran film tersebut.
Beranjak dari situ, kita hendaknya lebih memilih langkah kognitif dalam merawat ingatan kolektif tersebut. Karena memang diperlukan kedewasaan dan kebijakan berpikir untuk memilah dan memilih tentang isu komunisme sebagai ranah “Pengetahuan” atau ranah “Politik” oleh karena itu, ingatan dan pengetahuan kita secara utuh lah yang harus menjadi kunci awal untuk merawat dan menjaga Idelogi bangsa ini.
Bisa jadi masyarakat kita memahami komunisme secara bulat tersebab stigma-stigma kelam dan buruk dari subjek yang justru menginginkan kekuasaan atas nama isu komunisme. Kita percaya stigma itu, tentunya dengan ingatan dan pengetahuan yang utuh.. itu kuncinya..!
Ingatan kolektifi kita yang menjadi awal referensi pengetahuan yang kita miliki dapat membantu membaca situasi masa lalu dan membaca situasi yang kini sedang terjadi bahkan selanjutnya dapat menentukan arah situasi kita kedepan.
Menarik yang ditulis oleh salah satu tokoh politik. Bahwa, sejarah buruk komunisme dalam tataran global bukan saja hanya gagal dalam penerapan sistem kerja, juga atas jejak kelam dalam pembunuhan massal berpuluh juta manusia dibelahan bumi atas nama ideologi.
Dari kegagalan sistem dan jejak langkah yang mengerikan tersebut. Kesimpulan bahwa Komunisme sebagai ideologi mengalami masa kebangkrutan.
Kegagalan sistem komunisme China justru menghasilkan sebuah kelaparan yang berujung pada pembantaian. Setelah Mao wafat, para suksesornya melakukan terobosan haluan lebih memilih kapitalis sebagai langkah ideologi pada rentang periode 1976. Pun, Uni Soviet saat kalah dan kemudian runtuh selanjutnya bergeser kepada kapitalis global. Rusia menjadi negara yang doyan menggebuk partai Komunis dinegaranya. Bahkan di Ceko museum komunisme berdiri sebagai kenangan atas ide-ide komunisme yang telah gagal..
Berangkat dari itu proses shifting ideologi itu semua, seorang Francis Fukuyama bahkan dalam tesisnye menyimpulkan bahwa Kapitalis adalah ideologi sebagai pemenang dan percaya sebagai ideologi pilihan. Namun, kemudian pendapat itu kembali dia ubah dalam bukunya The Great Disruption sebagai sampling struktur sosial masyarakat Amerika kiblatnya kapitalis global..
Sederhananya begini, sebagai penyuka dangdut. Ada ideologi besar yang mentas diatas panggung. Ideologi itu menyeret kita semua untuk berjoget.Ironisnya, kita menjadi pihak-pihak yang tersikut sampai kepinggir panggung bahkan jatuh dan runtuh. Uniknya, analisis Disruption bagai panggung yang akhirnya roboh menahan aksi kesemua itu. Sebagai muslim saya mesti percaya kepada risalah yang dikatakan bahwa semua isme didunia ini tidak akan pernah bertahan lebih dari 70 atau 90 tahun..
65′ kita mesti menjaga ingatan kolektif kita bahwa peristiwa itu adalah pertarungan “Proxi War” besar dua kutub kekuatan ideologi dunia. PKI yang bermain mata dengan China sebagai kutub sebelah justru harus dijegal oleh Rusia pihak komunisme berikutnya. Dan akhirnya memang arah Bangsa kita lebih berpihak kepada style Amerika..
Mestinya, ingatan dan pengetahuan kita yang utuh atas peristiwa 65′ menjadi musabab naiknya “kelas kasta” negara kita dalam percaturan geopolitik global. Kita tidak boleh melulu terjebak permainan yang mestinya sudah dibaca dengan ingatan dan pengetahuan utuh kita.
Kita mesti beranjak menjadi pemain ketiga dalam Medan tempur supremasi kekuatan ideologi besar dunia. Bukan menjadi medan tempat mereka berseteru. Runtuh kita.. !!
Saatnya Indonesia tampil menjalankan amanat konstitusi negara menjaga ketertiban dunia dengan bahasa operasionalnya politik bebas-aktif. Dan ini mesti menjadi imajinasi kita sebagai bangsa dengan menggerakkan kesemua instrumen negara.
Ketika kita percaya pada isme yang tak laku diusia 70-90 tahun. Maka, keyakinan kita pada agama dan pembinaan keluarga atas nilai-nilai agama tersebut. Menjadi landasan utama bangsa Indonesia. Seperti diatas diejelaskan bahwa pilihan kita (Kalimatu al-Sawa’) selalu diambil sebagai pilihan bangsa yang “Watak Tengah” itu ujar Anis adalah antitesa dari kedua kutub ekstrim baik kiri maupun kanan. Terangkum dalam falsafah Pancasila sebagai platform kehidupan berbangsa..
Terus jaga dan rawat ingatan serta pengetahuan kita secara utuh. Disitulah kita mampu membawa Bangsa ini atas imajinasinya dalam kancah dunia.
(Hefra Lahaldi, Lahat O3 Oktober 2021)