wartabianglala.com – Memperingati momen maulid nabi adalah sebuah peristiwa yang akan tetap relevan sampai kapanpun. Dari itu, kita tidak ingin terjabak hanya pada selebresi bersifat Ceremonial semata.
Kelahiran Baginda nabi adalah setulus doa yang tak tanggung-tanggung terpendam selama empat millenium lamanya. Tentu saja makna dari doa tersebut adalah sebuah harapan transformasi bagi sebuah peradaban.
“Duhai Rabb kami, dan bangkitkan di antara mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; yang akan membacakan atas mereka ayat-ayatMu, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaqksana.” (QS Al Baqarah [2]: 129)
Begitu diksi dari munajat Nabi Ibrahim Alaihi Sallam empat ribu tahun di depan Ka’bah sampai pada periode Mekkah dijejali ratusan berhala sebuah transformasi massal oleh Amr bin Luhay..
Memaknai kelahiran nabi artinya kita memaknai sebuah perubahan besar bagi kehidupan. Karena memang kelahiran nabi untuk menjawab sebuah krisis panjang bagi sebuah peradaban. Nabi lahir ditengah-tengah krisis tersebut. Maka hal ini harus diubah. Oleh itu, sejak proses tahanus di gua Hira sampai datangnya Wahyu pertama dan hijrah Rasulullah ke habsyah dan Madinah adalah sebuah pesan perubahan atas zaman..
Perubahan yang paling fundamental adalah perubahan diri pribadi. Sebagai mana ayat diatas prosesnya adalah membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Nabi membimbing manusia pada keshalihan pribadi. Yang kemudia keshalihan masing-masing pribadi itu bertransformasi menjadi keshalihan bersama. Kolektifitas keshalihan inilah yang akhirnya membentuk entitas baru sebuah strata sosial masyarakat Islam pada periode pertama dakwah Mekkah..
Perubahan kedua adalah strata sosial. Inilah yang sangat dikhawatirkan oleh musyrik Quraisy terhadap Muhammad Shalallahu alaihi Wa sallam alaik.. Mendobrak feodalisme bagi bangsawan Mekkah pada masa itu sangat tidak bisa diterima.
Tetapi , justru perubahan sosial masyarakat pada masa itu berlangsung begitu cepat dengan diterimanya Islam dari berbagai kalangan. Sampai pada berlangsung campaign tauhid yang diinisiasi oleh Umar bin Khattab setelah keislamannya. Mekkah bergolak..
Ada dialog yang terasa baru diantara kesenjangan sosial yang mengurat darah sebelumnya. Dialog yang dilandasi rasa cinta dan kebebasan berpikir sesuai tuntunan syariat yang menyebabkan seorang Umar bin Khattab setara dengan Bilal bin Rabah. Abu Bakar ash Shiddiq dengan Abdullah bin Mas’ud. Nilai manusia terletak pada keimanan dan ketakwaan keshalihan masing-masing pribadi. Ini juga yang membuat seorang Bilal yang budak mampu berada pada posisi seorang Gubernur dan Abdullah bin Ummu Maktum suatu ketika menjadi wali Madinah menggantikan ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa Sallam memimpin ghazwah.
Lagi-lagi kita mesti memahami. Kehadiran nabi sebagai pemimpin tak lepas dari determinasi. Itu tantangannya, itulah cara kerja nya. Determinasi ditengah krisis yang diawali dengan peristiwa Amul Huzni (Tahun Berduka Cita) atas kematian dua orang yang paling dicinta nabi dan sebagai penopang kekuatan dakwah.
Entitas sosial muslim di Mekkah mengalami ujian. Mulai dari Boikot massal hingga pembunuhan. Sebagai pemimpin ditengah krisis Rasulullah sangat mahfum akan hal ini. Maka, proses Hijrah adalah sebuah eksperimen perubahan selanjutnya.
Entitas sosial muslim ini harus ditopang dengan kekuatan baru. Ia mesti menjelma menjadi kekuatan entitas politik (negara) sebagai kekuatan.
Menuju transformasi ini dimulai dengan eksperimen hijrah Habasyah. proses Hijrah ini menjadi pukulan telak bagi entitas politik musyriq Quraisy. Ketika puncaknya ahli diplomasi mereka sekelas Amr ibn al-Ash runtuh reputasinya didepan kaum muslimin yang mereka anggap sebagai “Imigran gelap” ditanah Najasyi harus pulang dengan tangan hampa dari negeri raja Nasrani tak mampu membawa pulang kaum muslimin yang hijrah kesana. Mekkah terguncang. Ini langkah perubahan sekaligus kemenangan pertama bagi Rasulullah dan kaum muslimin dalam politik. Langkah cerdas dan cermat.
Hijrah Madinah adalah pilihan yang telah ditetapkan dan dibimbing Wahyu. Ia tak sekedar eksperimen belaka namun mempunyai visi nyata. Yatsrib yang tidak mempunyai kekuasaan sentral dihadirkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai pemimpin baru disana. Tentu saja proses tersebut diawali dengan peristiwa Baiat Aqabah sebagai pondasi awal transformasi menuju entitas baru di Madinah..
Ini transformasi yang sangat krusial bagi kaum muslimin. Menyatukan kaum Muhajir dan Ansor (Muakhkhah-mempersaudarakan kaum muslimin) hingga traktat perjanjian damai dengan kaum Yahudi atas konsep kepemimpinan Madinah kedepan. Bukanlah hal mudah menghadapi Yahudi Madinah yang dominan secara ekonomi dengan konsep ribawinya dan tata administrasi yang mampu menggerakkan pasukan perang. Hal ini tak bisa dibiarkan disisi lain melakukan konfrontasi langsung tidaklah bijak. Piagam Madinah adalah rumusan langkah yang tepat.
Transformasi entitas selama sepuluh tahun menjadikan dakwah ini kepuncak kejayaannya. Dari entitas sosial yang terusir dari Mekkah, kaum muslimin mampu mengubah nya menjadi kekuatan yang menaklukan Jazirah Arab pada mulanya dengan peristiwa Fathuh Mekkah. Inilah awal fase mengguncang dan mengubah kekuatan dijazirah Arab. Sebagai mana sabda sang nabi di perang Khandaq “Mulai sekarang, kitalah yang akan menyerang mereka. Dan mereka tidak akan mampu menyerang lagi”.
Kesemua perubahan yang dilakukan oleh nabi tak lepas dari determinasi dan tantangan. Tetapi, memang sedari awal perintah perubahan hadir dengan kata perintah “Baca” dan yang kedua adalah membersihkan diri dan hati. Yang mengajarkan kepada kita untuk selanjutnya lebih peka dan cermat membaca zaman sepeninggal Baginda nabi.
Dari doa empat millenium sebelumnya dijawab oleh Allah SWT.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang *Membacakan* ayat-ayat-Nya kepada mereka, *Menyucikan* mereka dan *Mengajarkan* mereka kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesetan yang nyata.” (QS. Al-Jumuah : 2)
Itulah proses transformasi yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keshalihan pribadi menuju kepada kolektifitas keshalihan sosial dan kemenangan entitas politik bagi umat Islam. Dari situ, kita bisa mengubah ditengah krisis bangsa maupun dunia sekarang ini. Memang tidak mudah. Melampaui determinasi dengan memaknai peristiwa kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam begitulah cara kerjanya..
“Allahumma shali ala Muhammad wa ala alaihi wa sallam”
Bersalawat lah atas nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi Wa Sallam.
Lahat, 18 Oktober 2021