wartabianglala.com – Warga Kabupaten Lahat, siapa yang tidak tahu dengan lagu berjudul Umak?! Sebuah lagu daerah bernuansa ode seorang anak terhadap ibunya. Dengan lirik, nada, dan aransemen musik menyayat hati, lagu ini mampu membuat pendengarnya termehek-mehek dan mengenang raut sosok pemilik surga di telapak kakinya; umak atau dalam bahasa Indonesia: ibu. Sesedih-sedih pelem India, dide sesedih lagu Umak.
Dirilis pada tahun 2017 silam, Mario KDI atau Mario Prabu menjadi orang pertama yang membawakan lagu Umak. Suara merdu dan easy listening dari Mario, tidak kalah menarik tatkala di-cover oleh para penyanyi kenamaan Bumi Seganti Setungguan, seperti Jhon Adri Agustian dan Reyn Gumay.
Dengan segenap ketenaran lagu Umak, apresiasi tertinggi tentu saja tersemat kepada penciptanya; Oktaza Andiesfa. Pria yang akrab dengan panggilan masa kecilnya, Ancha, merupakan seorang ASN di salah satu instansi Pemkab Lahat. Ancha yang kini berusia 46 tahun, merupakan seorang maestro musik Kabupaten Lahat yang sudah menciptakan sekitar 24 lagu sejak tahun 1995.
Dibincangi tim wartabianglala.com melalui akun whatsapp, Minggu (28/11/2021), Ancha mengisahkan bahwa lagu Umak terinspirasi dari kisah perjalanannya yang kerap melakukan tour ke luar daerah, baik di Indonesia atau di luar negeri.
“Dalam beberapa perjalanan tersebut, banyak ibu-ibu yang sudah tua atau uzur yang masih bekerja dengan berdagang, berkebun, hingga ada juga yang membawa sesuatu yang berat di pundak-pundak mereka. Padahal, kemampuan fisiknya sebenarnya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja,” ungkap Ancha memulai kisahnya.
Ancha lebih terdorong lagi untuk menciptakan lagu Umak tatkala di jalan-jalan, di pasar-pasar, di perkampungan, kota, desa bahkan di beberapa objek-objek wisata sering kali dirinya bertemu dengan ibu tua renta yang msih bekerja. Padahal menurut Ancha, mereka memiliki keluarga yang ekonominya bermacam-macam; dari yang biasa saja, bahkan sampai ada yang bisa dikatakan sukses.
“Kebanyakan di antara mereka (ibu-ibu) yang membesarkan anak-anaknya dari kecil hingga dewasa secara mandiri karena kepergian suami-suami mereka. Karena rasa keingintahuan, peduli, dan ada rasa sedih atau iba yang mendalam, sering kali dalam perjalanan-perjalanan itu saya berdialog dengan ibu-ibu itu. Alasan mereka bermacam-macam. Semua membuat saya prihatin, terharu dan sekaligus bangga karena semangat untuk mandiri tidak memutus rasa kasih sayang mereka kepada anak-anaknya,” lanjutnya.
Tidak hanya tentang temuan dalam perjalanannya, kisah pribadi bersama ibunya tidak luput menjadi bagian dari alur-alur syair lagu Umak yang diciptakan Ancha.
“Ibu saya juga termasuk dalam alur cerita-cerita mereka juga. Saat kami masih memerlukan biaya yang besar, Ayahanda saya meninggal dunia. Jadi, ibu saya yang meneruskan perjuanganya sendiri. Untuk diketahui, kami 9 (sembilan) beradik. Uang pensiunan PNS dari Ayahanda kami tentu tidak mencukupi biaya hidup. Ibu saya bukanlah seorang petani, karena kehidupannya sedari dahulu sudah di kota. Jadi dapat dibayangkan betapa berat perjuangannya,” ungkap Ancha.
Ancha mengenang kejadian pada tahun 2017, di mana taktu itu baru beberapa hari setelah perayaan Hari Ibu. Sewaktu senja di rumah ibunya, kenangan perjalanan-perjalanannya tiba-tiba hinggap ke dalam kepala. Ia terngiang-ngiang pada dialog-dialog bersama para ibu tua renta. Ia pandangi wajah ibunya dengan segenap lukisan keriput di sekujur tubuh. Seketika, tanpa disadari, ada yang menetes dari kelopak mata Ancha.
“Saya begitu menyesali. Kenapa baru di hari itu menyadari akan perjuangan umak selama ini. Ya Allah… kalbu dan jemari saya bergetar, tubuh berkeringat dingin. Batin saya menangis sejadi-jadinya. Saya malu, karena saya tahu rumah ini, semua tanaman dan hewan peliharaan berkat ibu,” Ancha menjeda sebentar, kemudian melanjutkan ceritanya, “Dari dalam rumah, ibu menatap dengan tatapan sayu. Seakan mau berkata tentang rasa prihatin sekaligus bersuka cita karena kalbu saya sudah kembali kepadanya,” ujar Ancha bernada haru.
Setelah itu, spontan Ancha mendekati dan memeluk ibunya. Memeluk dan mengelus sebagaimana ibu menimangnya sewaktu masih kecil, sembari bertanya dengan setengah berbisik dan sedikit tersedan.
“Sehat kamu, Mak?” tanya Ancha.
“Alhamdulillah sehat, Nak.” Sang ibu mengelus lembut tangan Ancha.
“Mak kamu ngikut aq saje, tinggal di humahku saje. Pukoknye, ka kusenaika pehawakan kamu, au Mak. Makan tinggal makan, minum tinggal minum, tiduk tinggal tiduk, au Mak.”
“Au kele nak au. Tehingat uji bapang kamu dulu, huma ni jangan ditinggalka sianu,” jawab Ibu Ancha dengan dibarengi tertawa kecil.
“Mak, badan kamu ni la tue, la iluk kamu senai nikmati niti kehidupan, dek perlu agi sibuk nak bemasak, nyabun, melihare ayam nga ye lain-lain. Tunggula nga anak kamu ni saje. Pacak senai juge pehawakan kamu, Mak.”
Tidak ingin melihat Ancha semakin larut dalam perasaan sedihnya, sang ibu menyembunyikan keharuannya dengan tertawa kecil. Ia langsung mengalihkan obrolan.
“Kaba nak ngupi, Nak? Umak buatka kuday, au!” Ibu Ancha bergegas melangkah ke dapur.
Ancha tertegun. Saat itu, di dalam hati Ancha begitu berharap ibunya bisa ikut, agar meski sedikit, setidaknya bisa membalas jasa ibunya.
“Ngupi jadi juge, Mak. Jadila cangkir kecik saje, pegila ayuk mbuatnye, Mak!” ujar Ancha sejurus kemudian.
Ancha mengakhiri kisahnya dan mengatakan tidak sampai hati untuk terus melanjutkan. Sebagai penutup, Ancha berpesan kepada pembaca untuk senantiasa berbakti dan menghargai orang tua.
“Sebelum terlambat, mari kita jaga dan jangan melawan pada orang tua. Karena kita bukanlah siapa-siapa tanpa mereka. Hormati, sayangi, dan manjakanlah orang tua semampu kita. Semoga Allah SWT mengampuni dan membukakan hati anak-anak yang menelantarkan dan mengabaikan orang tuanya,” pesannya.
Selain lagu Umak, beberapa lagu ciptaan Ancha atau Oktaza Andiesfa lainnya yaitu Bagian Ku Nian, Rasan Dek Jadi, Bujang Buntu, Zapin Lematang, Gulai Ghebung, Kendak’e Nian, Balek Duson, Bemance, Ase Diihis Lambung Ati, Gulai Ayam Nanas, Begareh, Sesame Linjang, dan lainnya.
(Aan Kunchay)