Lahat – Di Pertengahan Bulan Maret 2022 ini penulis melakukan perjalanan ke Kecamatan Pajar Bulan tepatnya Desa Bantunan. Sedikit bercerita tentang Kecamatan Pajar Bulan, Lahat, Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Kecamatan Pseksu, kecamatan Gumay Ulu, Kota Pagaralam, dan Kecamatan Sukamerindu dengan kondisi juga berbukit-bukit. Banyak peningalan sejarah megalitik di 20 desa yang ada.
Desa Bantunan yang kami singgahi sejuk siang itu, mengawalinya kami disuguhi pemandangan kaki Gunung Dempo, jarak yang kami tempuh memasuki Bantunan sekitar lebih dari 80 km dari Kota Lahat, dengan waktu lebih kurang satu jam lebih perjalanaan santai menggunakan kendaraan roda empat. Jalanan sangat lega dan kepadatan penduduk yang tidak seberapa, pemandangan sawah, kebun kopi terutama yang kini tengah memanen saat bulan Maret 2022 ini terasa indah, masih ada beberapa dahan yang bermunculan bunga kopi putih yang mewangi.
Menurut data pusat statistik pada 2021 lalu, bahwa di Pajar Bulan ada industri anyaman rotan sebanyak 19 usaha yang berada di Desa Bantunan dan Desa Pajar Tinggi. Sayangnya tidak ditopang perdagangan yang baik. dari usaha anyaman turun temurun yang masih bertahan dan tertatih-tatih dalam penjualannya, disebabkan jauhnya pusat perdagangan. Masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan Pasar Kalangan saja, sebab hanya seminggu sekali saja.
Produk anyaman ini banyak dipasarkan ke Pagaralam selain ke Kota Lahat, bahkan anyaman tikar purun yang selama ini biasa mereka buat sudah kesulitan mendapatkan bahan baku dan sudah ditinggalkan.
Yang masih dikerjakan anyaman rotan untuk kinjar, bake, piring dan bakul. Bahan baku rotan tidak hanya dari hutan yang ada di Pajar Bulan, tapi mereka membeli dari Tanjung Sakti, Muara Payang, Empat Lawang hingga ke Manna. Meski cukup jauh mereka mendapatkan bahan baku rotan tetap mereka beli,sebab saat panen kopi seperti sekarang,peralatan Kinjar sangat laku dibeli masyarkat.
“Iyo, ini mata pencarian pokok dan turun-temurun,walopun sudah sulit cari bahannye,” ungkap Hasan (45) warga Bantunan. Mereka membanderol harga dari 50 ribu hingga ratusan ribu sesuai dengan besar kecil yang dipesan, tambah Hasan.
Tidak adanya koperasi yang menampung untuk menyalurkan anyaman mereka, dan teknik menganyam mereka juga masih sangat sederhana, intinya butuh bimbingan panjang. Warga sangat setuju jika bimbingan dan pemasaran yang terarah ke depan bisa mempertahankan usaha turun temurun supaya tak punah.
“Tiap rumah masih ada di sini yang menganyam, dahulunya memang menjadi sentra industri anyaman rotan di sini. Yang sudah jarang nganyam tikar purun, dekbedie bahannye,” tutur Wati (55) yang kami jumpai siang itu.
Industri kecil seperti ini jika dijaga bisa menurunkan angka kemiskinan sebab rakyatnya sudah mempunyai kemampuan,ketrampilan alamiah. Tinggal mempertahankan dan memoles kemampuan masyarakat lebih baik lagi. Perjalanan siang itu hingga menuju sore kami kembali ke Kota Lahat,berharap sekian tahun ke depan anak cucu masih bisa melihat kerajinan anyaman di sana.
(Soufie Retorika)