Oleh: Soufie Retorika & Amrita RH Terang
Lahat – Letak Situs Talang Gardu yang di tempuh dari Kota Lahat sekitar 1 jam memasuki sebuah perkebunan milik warga setempat. Penelusuran ini ditemani Kadus III Arifin, bersama anaknya Finza.
Setelah membaca tulisan Van Der Hoop, 1930-an silam, dalam bukunya Meghalitic Remains in South Sumatera. Pada salah satu tulisan berisi tentang Situs Talang Gardu, di Dusun III (Talang Gardu), Desa Tanjung Menang, Kecamatan Tanjung Tebat yang dijuluki Negeri Celeng Tim Ini Lahat Nian, yakni Irfan Witarto, Yardi, Aan Jasudra, dan Amrita RH Terang sudah ketiga kali turun di lokasi ini, Minggu (5/6/2022).
Akhirnya menemukan 2 Lesung batu di pangkal kebun karet. Dilanjutkan pencarian ke dalam kebun yang juga ditumbuhi pohon kopi ditemukan satu arca tanpa kepala yang dihiasi kalung di lehernya. Satu arca yang rebah, dan satu batu datar yang digores (ada relief) yang berbentuk dua kaki manusia dan sisi lainnya berupa kepala dan ornament lain tapi kini tertutup. Panjang batu datar sekitar 1,4 meter persegi dan tinggi sekitar 1,2 meter (dari buku Van Der Hoop).
Dari dugaan sementara untuk Lesung ini ada 4 lubang dengan 2 lubang di permukaan dan sebagian lubang di bawah permukaan tanah, satu lesung berbingkai sisinya dengan 4 lubang dan separuh lubang belum selesai ditatah sepertinya. Keterangan pemilik kebun Meti (usia sekitar 65 tahun) bahwa di dekat arca tanpa kepala tersebut kepalanya tak jauh dari bagian badannya, namun saat penelusuran tidak ditemukan. Sementara satu arca lagi terlihat gambaran manusia juga sedang beraktifitas, tapi tatahannya memang tidak begitu jelas.
Tidak banyak yang diketahui tentang Negeri Celeng, cerita yang beredar dari masyarakat setempat tentang Situs Talang Gardu ini, sebab warga setempat mengatakan tempat ini angker dan keramat, sehingga mereka enggan ke sana. Menurut Arifin Kadus III Talang Gardu, mereka menyebutnya Dusun Bughuk yang berada di seberang jembatan bambu dan dialiri Ayek (sungai kecil) Keruh.
“Maksudnya dulu tempat ini adalah dusun lama atau Dusun Bughuk, atau pemukiman lama yang setelah itu warga berpindah ke tempat lain. Dari kecil kami lihat batu tanpa kepala ini, tapi takut dekat-dekat, sebab katanya keramat,” jelas Arifin.
Perjalanan dari pemukiman warga menuju Negeri Celeng di area kebun karet menempuh waktu kurang lebih 15 menit. Karena lokasi tepat tidak diketahui maka dilakukan pembabatan rumput dan ilalang dan tim juga berpencar, kata Irfan Witarto selaku ketua tim pencarian.
“Dalam waktu yang berbeda, kita sudah 3 kali ke sini tapi tidak menemukan keberadaan Situs Talang Gardu, atau disebut Negeri Celeng. Akhirnya sama-sama berinisiatif berpencar dan menebas ilalang dan rumput lainnya. Hingga ketemu, beberapa batu megalith,” papar Irfan, Rabu (8/6/2022)di ruang kerjanya saat ditemui penulis.
Dari tulisan BPCB Jambi mengambarkan bahwa, Budaya Pasemah dikenal memiliki tinggalan megalitik yang unik. Megalitik Pasemah berbeda dengan tinggalan megalitik lainnya di Nusantara. Salah satu keunikannya terlihat dalam bentuk arca megalitik. Secara teknis, pembuatan arca Pasemah mengikuti bentuk material batu, bahan yang ada sehingga secara visual menyebabkan bentuk arca yang bervariasi, tambun dan memiliki corak yang dinamis. Arca megalitik Pasemah digambarkan sebagai figur manusia yang lengkap bagian kepala, badan, tangan, dan kaki. Arca seringkali digambarkan bersama hewan atau manusia lain yang lebih kecil.
Tidak hanya itu, jenis tinggalan Megalitik Pasemah terbilang beragam. Peninggalan megalitik yang ditemukan diantaranya adalah menhir, arca, dolmen, batu datar, batu gelang, bilik batu, lumpang batu, lesung batu, dan tetralith. Selain itu di Pasemah juga ditemukan “batu tatahan” yaitu sebuah karya seni rupa berbentuk goresan/pahatan pada permukaan batu yang menghasilkan gambar dua dimensi seperti yang ada di Talang Gardu dan Air Puar (Desa Air Puar, Kecamatan Mulak Ulu).
Masyarakat setempat mengenal lokasi tersebut sebagai “negeri celeng”. Batu ini berbentuk persegi panjang dengan permukaan datar. Di atas permukaan batu ini terdapat goresan/tatahan yang menggambarkan bentuk manusia (2 dimensi). Bagian perut hingga kaki tergambar pada permukaan batu pada posisi atas, sedangkan bagian perut-kepala berlanjut ke sisi batu yang lain (sisi utara). Sehingga permukaan penampang batu seolah tidak cukup untuk menggambarkan tokoh manusia tersebut. Posisi kedua kaki tokoh pada permukaan batu ini digambarkan mengarah ke timur dan masing-masing memiliki 3 buah jari. Pada kedua kaki mengenakan aksesoris berupa gelang kaki. Pada bagian pinggangnya digambarkan bentuk menyerupai nekara (?). Kedua tangan dalam posisi terangkat ke atas. Sementara bagian kepala tidak utuh terlihat karena sebagian terbenam tanam. Bagian kepala yang terlihat hanya telinga kanan, sebagian kecil wajah yaitu bagian bibir dan sedikit ujung mata.
Van der Hoop, menyebutkan bahwa tinggalan megalitik Pasemah memiliki pengaruh kuat dari budaya perunggu. Oleh karenanya manusia pendukung kebudayaan megalitik Pasemah dipercaya telah menggunakan peralatan yang terbuat dari logam. Dan perkiraan megalitik pasemah dimulai pada abad ke-3 Masehi.
Pada penelitian oleh Arkeolog RR Tri Wuryani mengatakan Berdasarkan bentuknya, arca Pasemah dapat dikategorikan atas arca manusia, arca hewan, dan arca manusia dengan hewan Penggambaran arca yang sangat bervariasi ini juga menunjukkan tingkat kepandaian yang cukup tinggi dalam bidang seni rupa atau seni pahat yang dimiliki pendukung budaya Pasemah pada waktu itu.
Dengan demikian, komunitas pendukung budaya Pasemah adalah suatu masyarakat yang sudah tertata mampu membuat seni arca yang cukup maju, mampu menyesuaikan dengan bahan materialnya sehingga terkesan
menimbulkan gerak miring ke samping, maju ke depan atau tegak, dan mengesankan adanya suatu aktivitas.
“Yang paling penting karakter kuat dari tatahan, yang disesuaikan dengan bentuk batu, sudah menjadi karakter khas dari megalith pasemah. Seperti pada batu datar yang dibuat goresan,relief, tatahan ini,” ungkap RR Tri Wuryani dalam wawancara dengan penulis.
Daftar Pustaka :
RR Tri Wuryani, Arca-Arca Megalitik Pasemah, Sumatera Selatan: Kajian
Semiotik, 2015, UI.
Van Der Hoop, Meghalitic Remains in South Sumatera (terjemahan), 1932.