Di tengah kemelut penetapan upah minimum 2023. Masalah utama dalam negara hari ini adalah tingkat pengangguran yang cukup tinggi. Tingkat pengangguran yang tinggi memiliki efek langsung atau tidak langsung pada peningkatan kemiskinan, kejahatan, dan masalah sosial-politik.
Sebenarnya akar permasalahan terjadinya pengangguran adalah lapangan pekerjaan yang tidak mampu menyerap semua angkatan kerja. Lulusan pendidikan tinggi tiap tahun bertambah melebihi lapangan kerja yang tersedia. Disisi lain kualitas fresh graduate dengan kebutuhan pasar terjadi ketidaksesuaian. Kurangnya ketersediaan lapangan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi tidak dapat dilepaskan dari problem struktural ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka pengangguran Indonesia 8,42 juta orang pada periode Agustus 2022, naik dari sebelumnya 8,40 juta orang pada Februari 2022. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan, bahkan mengalami resesi efek pandemi Covid-19, membuat pengangguran semakin bertambah.
Muda Produktif
Ditengah perbincangan mengenai ledakan penduduk usia kerja yang akan terjadi puncaknya tahun 2020 – 2025, dunia masih dihadapkan pada permasalahan yang sangat krusial. Mengutip data Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dihimpun Bank Dunia tingkat pengangguran angkatan kerja usia 15-24 tahun atau pengangguran anak muda di Indonesia mencapai 16% pada 2021. Hal tersebut mempunyai konsekuensi pada pentingnya peningkatan kualitas sumberdaya manusia serta penyediaan lapangan kerja produktif bagi mereka. Meningkatnya jumlah pengangguran kaum muda akan berdampak pada sosial ekonomi dan kemajuan bangsa. Faktor yang menyebabkan kaum muda sulit untuk masuk dalam pasar kerja salah satunya disebabkan oleh kurangnya informasi dan jaringan mengenai. Angkatan kerja yang melimpah salah satu modal perekonomian, namun jika tidak di imbangi dengan lapangan kerja yang memadai akan menjadi permasalahan yang serius. Pengaruh globalisasi yang cukup pesat, angkatan kerja produktif dituntut untuk terus mengupgrade keahliannya ditengah persaingan tenaga kerja asing.
PHK dan Isu Resesi
Indonesia sudah diuji dengan bencana wabah covid-19 yang banyak merugikan masyarakat Indonesia, tak terkecuali buruh di suatu perusahaan. Mengutip dari data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), tercatat dari Januari sampai dengan September 2022 jumlah tenaga kerja ter-PHK di Indonesia sebanyak 10.765 orang paling banyak terdapat di provinsi Banten sekitar 34,40 persen.
PHK dirasa menjadi solusi paling tepat menurut perusahaan untuk menekan biaya produksi mereka. Dalam kondisi ini, distribusi produk terkendala pada daya beli masyarakat dan untuk meminimalisir biaya produksi, maka salah satu cara yang aman perusahaan mengambil kebijakan dengan memangkas para pekerja. Miris, namun inilah yang terjadi dan para buruh terpaksa harus kehilangan mata pencaharian.
Ancaman resesi global di awal tahun 2023 menjadi isu yang sangat mendebarkan bagi para buruh. Tidak hanya perusahaan rintisan (startup), perusahaan lain tak luput dari badai PHK massal. Di era persaingan usaha yang semakin kompetitif, sejumlah perusahaan mau tidak mau harus melakukan penghematan dengan beralih dengan pemanfaatan teknologi. Terlebih lagi perusahaan rintisan melakukan rekrutmen dalam jumlah besar dalam tempo cepat, namun ketika pasar goyah atau tidak menentu mereka akan melakukan efisiensi dengan mengurangi karyawan tanpa jaminan kompensasi yang memadai.
Mencegah PHK
Resesi dan perlambatan daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor terjadinya resesi di tanah air. Beberapa indikator ekonomi seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran Indonesia (NPI), hingga ekspor impor juga harus terjaga. Namun yang menjadi masalah besar adalah terus melemahnya tukar rupiah dan daya beli masyarakat yang masih rendah.
Mencegah resesi global yang berimbas pada PHK harus mutlak dilakukan. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat harus segera dilakukan. Salah satunya dengan mengucurkan dana APBN/APBD untuk menjaga agar permintaan dalam negeri tidak berkurang. Investasi juga harus segera masuk ke Indonesia secara lebih besar serat harus di imbangi dengan kepercayaan agar investor tertarik. Tanpa ada jaminan dan reputasi yang baik, jangan harap investor percaya untuk menanamkan modal dan yang lebih penting untuk menyelamatkan badai PHK yang terjadi di tahun 2023 mendatang. Semoga saja tidak terjadi.
(sumber gambar : freepik)
Biodata Penulis
Yuni Dwi Febriyanti
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Prodi akuntansi