Oleh : Ramdhanisyah, S.P,d
Wartabianglala.com – Ketentuan system proporsional terbuka dalam memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota (“legislative”) diatur dalam norma Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”);
Argumentasi terkait system proporsional terbuka dalam memilih anggota legislative bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD”) karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkah kapasitas pemilih, dan menurunkan kualitias pemilihan umum (“pemilu”) dan argumentasi terkait system proporsional terbuka dalam memilih anggota legislative yang justru sesuai dengan UUD karena memiliki kelebihan-kelebihan dibanding dengan system proporsional tertutup dapat dirujuk langsung dengan membaca dokumen Perkara No. 114/PUU-XX/2022 yang saat ini tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MKRI”);
Diluar ilmiahnya kedua pendapat terkait system proporsional terbuka dan system proporsional tertutup dalam memilih anggota legislative yang berlangsung dalam Perkara No. 114/PUU-XX/2022, coba kita pahami sebenarnya system proporsional seperti apa yang eksisting dipandang dari sudut mekanisme penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU DPR dan DPRD) pada pemilu 2024;
Penyelesaian PHPU anggota DPR dan DPRD diatur dalam Pasal 473 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 474 UU Pemilu jo. Pasal 74 ayat 1 huruf c, ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya menyatakan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD meliputi perselisihan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi partai perserta pemilu disuatu daerah pemilihan yang pembatalannya dapat diajukan oleh partai politik peserta pemilu sebagai pemohon terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Mahkamah Konstitusi;
Mahkamah Konstitusi telah membuat pedoman beracara Dalam penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD tahun 2024 dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Ada hal menarik dari apa yang diatur dalam PMK N0. 2 Tahun 2023 meskipun sebenarnya telah ada sejak PMK No. 2 Tahun 2018, yakni mengenai perluasan makna Pemohon dalam PHPU Anggota DPR dan DPRD dimana sebelumnya Pemohon menurut Pasal 473 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 474 UU Pemilu jo. Pasal 74 ayat 1 huruf c, ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi secara limitative hanya terbatas pada Partai Politik Peserta Pemilu namun dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a jo. Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK No. 2 Tahun 2023, Pemohon tidak hanya sebatas Partai Politik namun juga Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama;
Perluasan Pemohon dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK No. 2 Tahun 2023 yang memasukkan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD pada awalnya dipahami sebagai penerapan system proporsional terbuka yang diatur dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, namun ketika dipahami lebih lanjut, dalam teknis penerapan mekanisme penyelesaian PHPU anggota DPR dan/atau DPRD, dimasukkannya Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD sebagai Pemohon ternyata dibarengi dengan pembatasan-pembatasan yang mereduksi hak Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD;
Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD untuk dapat menjadi Pemohon dalam PHPU DPR dan/atau DPRD ke Mahkamah Konstitusi wajib mendapat persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik dimana dia tercatat sebagai calon anggota DPR dan/atau DPRD, kedua, yang menjadi Objek permohonan hanya terbatas pada selisih perolehan suara untuk terpilihnya Perseorangan sebagai calon anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah pemilihan bukan selisih perolehan kursi yang pada prakteknya selalu diselesaikan melalui mekanisme internal partai, ketiga materi permohonan yang diajukan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD terbatas pada selisih suara antara Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD dengan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD lain pada satu partai politik yang sama;
Keterbatasan ini tentu menyebabkan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD tidak dapat bertindak sebagai Pemohon PHPU DPR dan/atau DPRD ke Mahkamah Konstitusi terhadap kecurangan yang muncul secara kumulatif yakni yang disebabkan oleh kecurangan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD dalam partai politik yang sama untuk perolehan suara yang berbarengan dengan kecurangan yang dilakukan oleh Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD dari partai politik lainnya untuk perolehan kursi DPR dan/atau DPRD;
Perolehan suara Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD tentu berkolerasi terhadap perolehan kursi suatu partai dan dalam konteks system proporsional terbuka berarti juga terpilihnya Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD peroleh suara terbanyak menjadi anggota DPR dan/atau DPRD, sehingga dengan dibatasinya objek permohonan dan materi permohonan Perseorangan calon anggota DPR dan/atau DPRD dalam PMK N0. 2 Tahun 2023 memperlihatkan jika pada hekekatnya system pemilihan calon anggota DPR dan/atau DPRD yang eksisting adalah system proporsional tertutup;
(Redaksi)