Catatan Hefra Lahaldi
Judul seharusnya Politik A-Z (A sampai Z), tetapi kita tahu bahwa *A* adalah angka sempurna. Dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Dulu, satu dekade silam ada salah satu pemimpin yang menjanjikan genap 10juta lapangan pekerjaan. Faktanya baru 3 orang yang mendapat pekerjaan layak. 2 orang anak kandung dan 1 orang menantu. Ini di negeri Latanah Silam negerinya novel Wiro Sableng.
Tujuan politik salah satu calon pemimpin bangsa dalam penyediaan lapangan pekerjaan adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat. Nilai kesejahteraan bagi kita tentu saja tolok ukurnya adalah penghasilan. Tentu saja, bagi laki-laki muslim bekerja/pekerjaan adalah salah satu bentuk eksistensi dirinya di mata keluarga dan khalayak.
Bekerja juga adalah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan psyco-etisnya sebagai alasan menjaga harga diri.
Bekerja adalah bentuk jihad menurut salah satu calon kepala daerah mengutip dalil-dalil agama. Proses awal kerja yang dilandasi semangat jihad itulah muncul semangat-semangat baru dalam bentuk beribadah lainnya.
Pekerjaan/penghasilan menjadi bekal untuk menuju kesejahteraan. Jika negara berhasil dalam kerja politiknya dalam meningkatkan kesejahteraan, maka otomatis rakyat pun meningkat dalam kerja politiknya. Politik BZ (Politik Bayar Zakat). Dengan Bayar Zakat ini lah, rakyat akan memberi asupan kepada calon-calon pemimpin semisal Legislatif sebagai calon dhuafa. Tak lagi “Negara bedagang dengan Rakyat” pilihannya “Rakyat yang berdagang dengan negara”.
Fakir miskin, anak yatim, kaum terlantar dipelihara negara. Itu amanat undang-undang negara kita. Nyatanya, ketiga golongan tersebut justru dipelihara Kita Bisa, Dompet Dhuafa, yayasan Peduli Sesama, Yayasan Lentera Hati dan sebagainya. Dari mana support sistem lembaga-lembaga tersebut?! Tentu saja dari infaq, sedekah dan zakat golongan muslim dan sumbangan sukarela diluar muslim yang mereka memiliki tingkat kesejahteraan (Politik BZ).
Tentu saja, lembaga-lembaga sosial tersebut tidak berafiliasi dengan partai politik atau dipolitisasi kegiatannya. Landasan kerja mereka adalah tentang kemanusiaan. Lembaga-lembaga ini berseliweran dimedia sosial kita menjalankan amanat Pancasila. “KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB”.
Kalau lah sesoal hoax, negara lebih mudah ujar Rocky Gerung membuatnya tersebab instrumennya lengkap. Apatah lagi sesoal mencerdaskan dan mensejahterakan manusianya. Tetapi, kenapa negara atau daerah gagal?! Atau justru memang digagalkan?! Kegagalan mewujudkan Politik Bayar Zakat..
Menjanjikan program lapangan kerja pada kontestasi pilkada bukan soal relevan atau tidaknya, tetapi keseriusan dari calon terpilih untuk mewujudkan janji kampanye. Pemimpin itu juga bekerja, salah satu bentuk menjaga harga dirinya adalah dengan pekerjaannya. Kegagalan dalam pekerjaannya jauh lebih mempengaruhi psyco-etisnya. “Janji nunggu Kate betaruh”.
Politik BZ, adalah puncak dari kerja politik bagi pemimpin. Disitu, kerja yang menghasilkan Muzzaki pada setiap momen kontestasi politik kedepan. Memang, salah satu penantang oligarki dalam “Perang Kekuasaan” baik negara dan daerah adalah para Muzzaki politik .. “Oligarki Syari’ah” ujar Sundan Bahari Wijaya..
Semoga Politik Bayar Zakat menjadi langkah kecil, sebagai mana Umar bin Abdul Aziz hanya butuh 2,5 tahun (setengah periode jawaban pileg/pilkada) mensejahterakan rakyatnya..
Terpenting, tulisan tidak menjurus pada salah satu bakal calon gubernur atau Bupati.