Bujang Penunde
Malam di Talang terasa lebih syahdu di bawah sinar bulan purnama. Jangguk duduk di depan dangaunya, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang teduh. Radio tua di sampingnya memutar lagu dangdut yang seakan menambah keheningan malam. Namun, suara deru motor di kejauhan membuyarkan keheningan itu.
Jangguk menoleh ke arah jalan setapak yang menuju dangaunya. Sebuah motor mendekat, dan pengendaranya, Takim, tersenyum lebar di bawah sinar lampu motor.
“Assalamualaikum, Jangguk!” sapa Takim dengan suara lantang.
“Waalaikumsalam. Mari naik, Takim,” jawab Jangguk sambil berdiri.
Takim mematikan motornya dan melangkah naik ke dangau. Wajahnya cerah, matanya memancarkan semangat yang tak biasa. Setelah meneguk segelas air yang disodorkan Jangguk, ia langsung menyampaikan maksud kedatangannya.
“Jangguk, aku butuh bantuanmu malam ini,” kata Takim, duduk bersandar sambil melipat tangan di depan dada.
Jangguk mengangkat alis. “Bantuan apa?”
Takim tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada serius, “Aku ingin begareh ke rumah Siti. Kau tahu, kan, adat di Talang ini? Kalau aku datang sendiri, rasanya kurang pantas. Aku butuh kau mendampingiku.”
Nama Siti terdengar seperti bisikan halus yang menohok hati Jangguk. Gadis itu, si kembang desa, adalah seseorang yang pernah ia kagumi dalam diam. Tapi sebagai Bujang Penunde, Jangguk tahu tugasnya adalah menjaga tradisi dan mendampingi siapapun yang memintanya.
“Kau yakin malam ini?” tanya Jangguk, mencoba menenangkan gejolak di hatinya.
“Yakin. Aku merasa sudah waktunya. Lagi pula, kita ini masih ada hubungan keluarga jauh, jadi kehadiranmu akan membuat segalanya lebih mudah.”
Jangguk mengangguk perlahan. Ia memaksakan senyum, lalu bangkit untuk bersiap. “Baiklah, kalau begitu, aku akan menghantarmu.”
—
Rumah Siti terlihat terang dengan lampu minyak yang menggantung di beranda dangau. Pak Karim dan Bu Laila, orang tua Siti, menyambut mereka di tangga dengan senyum hangat.
“Assalamualaikum,” sapa Jangguk dengan sopan.
“Waalaikumsalam. Naiklah, Nak Jangguk, Nak Takim,” jawab Pak Karim, mempersilakan mereka ke kursi teras di dangau kecil mereka.
Setelah duduk, Jangguk membuka percakapan dengan nada tenang. Sebagai Bujang Penunde, ia tahu tugasnya. “Pak Karim, kami datang malam ini hanya untuk begareh. Takim ingin bersilaturahmi dan berbincang dengan keluarga di sini.”
Pak Karim tersenyum. “Baguslah, bagus. Sudah lama tak ada yang datang begareh seperti ini. Memang harus dijaga tradisi seperti ini.”
Takim tersenyum lega, lalu mulai berbicara tentang kehidupannya di kota, rasa rindunya pada Talang, dan kekagumannya pada suasana desa yang selalu membuatnya nyaman. Pak Karim dan Bu Laila mendengarkan dengan senang hati, sesekali menimpali cerita Takim.
Beberapa saat kemudian, Bu Laila tersenyum lembut dan berkata, “Pak, mari kita masuk dulu. Biar anak-anak ini berbincang sebentar.”
Pak Karim mengangguk. Ia menoleh ke Jangguk dan Takim. “Kami masuk dulu, ya. Nak Takim, anggaplah ini rumah sendiri.”
Setelah kedua orang tua Siti masuk ke dalam rumah, suara pintu yang terbuka membuat Jangguk dan Takim menoleh. Siti keluar dari dalam rumah, mengenakan pakaian sederhana seperti piyama, rambutnya tergerai alami. Penampilannya tidak mewah, tapi kecantikan alami Siti begitu mempesona. Keanggunannya terasa begitu murni, tanpa ada hiasan apapun, dan senyumnya yang lembut membuat hati Jangguk berdebar.
“Assalamualaikum, Takim. Selamat datang,” ucap Siti dengan nada sopan.
“Waalaikumsalam, Siti,” jawab Takim, wajahnya berbinar melihat gadis itu.
Melihat mereka mulai berbincang, Jangguk merasa tugasnya telah selesai. Ia menghela napas pelan, lalu berdiri. “Takim, Siti, aku pamit dulu. Biarlah kalian lanjutkan berbincang. Sudah malam, aku harus kembali ke dangauku.”
Siti menoleh, menatap Jangguk dengan mata yang penuh kelembutan. “Oh, Kak Jangguk, terima kasih sudah datang. Hati-hati di jalan.”
Jangguk hanya tersenyum kecil. “Pak Karim, Bu Laila, kami pamit dulu,” ucapnya dengan suara yang cukup lantang agar terdengar ke dalam rumah.
Pak Karim menjawab dari dalam, “Hati-hati, Jangguk. Terima kasih sudah menghantarkan Takim.”
Jangguk menuruni tangga dengan langkah ringan, tapi hatinya terasa berat. Sebelum meninggalkan halaman, ia sempat menoleh ke arah dangau. Dari kejauhan, ia melihat Siti tersenyum mendengarkan Takim bercerita.
—
Beberapa bulan kemudian, suasana Talang penuh dengan tabuhan rebana. Arak-arakan pengantin melewati rumah Jangguk. Siti, dengan kebaya kuning keemasan, berjalan anggun di sisi Takim yang tampak gagah dengan pakaian adatnya.
Jangguk berdiri di depan rumahnya, menyaksikan pasangan itu dengan mata yang tak mampu menyembunyikan rasa pedih. Namun, ia segera menyeka air matanya, memaksakan senyum. Setelah mengenakan kopiah, ia melangkah keluar, bergabung dengan kerumunan penduduk yang bersuka cita.
Sebagai Bujang Penunde ia tahu tugasnya adalah menjaga tradisi dan mendahulukan kebahagiaan orang lain. Meski hatinya harus menanggung luka, ia tetap berjalan dengan langkah tegar, karena kebahagiaan Talang adalah kebahagiaannya juga.
Penulis:
Divisi Sastra Dewan Kesenian Lahat