Kunang-Kunang Terakhir
Mega Lumina, kota tempat Kenzo tinggal, adalah pusat kehidupan yang berkilau dan tidak pernah tidur. Setiap sudutnya dihiasi oleh lampu LED terang-benderang, yang seolah berkata, “Kami lebih baik daripada bintang-bintang!” Gedung-gedung tinggi yang menjulang seakan ingin mengintimidasi langit, memaksa setiap kilau malam mengalah. Kalau ada yang bertanya tentang bintang, jawabannya sangat sederhana: “Lihat saja layar raksasa di jalan utama, itu lebih terang daripada langit.” Bagi warga kota, kegelapan adalah penyakit yang harus diberantas. Tidak ada tempat untuk “kesendirian gelap” atau suasana malam yang menenangkan—semuanya harus terang, terang, dan terang!
Kenzo, seorang remaja berusia 16 tahun yang hidup di kota penuh cahaya ini, adalah representasi sempurna dari generasi “tercerahkan.” Setiap harinya ia terjebak dalam rutinitas yang tak ada bedanya: makan junk food, main game, dan menatap layar ponsel. Dunia nyata sudah tak menarik baginya, bahkan kalau dia diminta menatap langit malam, dia hanya akan menjawab, “Untuk apa? Udara di luar itu mahal, Kakek.”
Kakeknya, yang jauh lebih sederhana dan sedikit konservatif dalam pandangan hidup, pernah menulis cerita tentang kunang-kunang dalam buku tua yang penuh debu. Buku itu penuh dengan gambar makhluk bercahaya yang dulu menghiasi malam. “Kenzo, waktu masih kecil, aku sering melihat mereka di kebun, kecil-kecil, bersinar terang,” kata Kakek pada suatu hari yang kabur dalam ingatan Kenzo. “Dulu malam itu indah, tidak seperti sekarang. Sekarang malam di Mega Lumina terlalu penuh dengan listrik.”
Kenzo hanya mengangguk saat itu. Mungkin kakeknya berbicara tentang sebuah dunia yang sudah usang, seperti halnya kunang-kunang. Mitos itu ada untuk menghibur mereka yang terlalu takut dengan kegelapan. Kenzo tak terlalu peduli pada kunang-kunang, karena di kota ini, segala sesuatu yang hidup hanya akan menjadi mitos jika ia tidak dapat bersaing dengan teknologi modern.
Namun, satu hal yang tak bisa Kenzo lupakan dari cerita Kakeknya adalah tentang mitos kunang-kunang yang disebut-sebut sebagai “kuku hantu.” Tentu saja, mitos itu adalah taktik yang cerdik untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain di malam hari. “Kalau kau bermain di malam hari, kunang-kunang itu akan mengejarmu, karena mereka sebenarnya kuku-kuku hantu yang hilang,” kata Kakek dengan suara serius, meski Kenzo tahu itu hanya cerita lelucon dari orang tua zaman dahulu. “Karena itulah, nak, malam itu berbahaya. Jangan main jauh-jauh setelah gelap.”
Kenzo menertawakan cerita itu, tapi di sudut hati, ia bertanya-tanya, apakah ada yang lebih dari sekadar lelucon itu? Bagaimanapun, kunang-kunang bukan lagi pemandangan yang bisa dijumpai di Mega Lumina.
Suatu malam, Kenzo sedang asyik bermain game virtual yang bisa mengubah dunia di sekitarnya menjadi apapun yang diinginkan. Saat bermain, ia mendapati pesan aneh muncul di layar: “Cari Cahaya Terakhir di Hutan Bayangan.” Kenzo, yang selama ini tak pernah tertarik pada hal-hal gaib atau kuno, merasa pesan ini menarik—terutama karena ada kata “terakhir” yang membuatnya berpikir, “Apakah ini semacam acara ‘penutupan’ untuk kunang-kunang?”
Ia segera mencari informasi. Setelah beberapa klik, ia menemukan bahwa Hutan Bayangan benar-benar ada, terletak di pinggiran kota. Kakeknya dulu pernah bercerita tentang tempat itu, namun sekarang, tempat itu lebih terkenal sebagai lokasi penelitian yang sudah lama terlupakan—karena siapa yang peduli dengan hutan jika ada mall raksasa yang bisa memenuhi segala kebutuhan hidup?
Dengan rasa ingin tahu yang setengah hati, Kenzo memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut. Ia menyiapkan tas, membawa senter yang sudah kadaluarsa, dan buku kuno milik kakeknya (karena siapa yang tahu kapan buku itu akan jadi barang langka?) lalu bersepeda menuju ke Hutan Bayangan, di mana “cahaya terakhir” katanya bisa ditemukan.
Hutan itu sunyi, hanya diiringi suara angin yang berbisik seolah mengatakan, “Kamu sudah terlalu terlambat untuk menyesal.” Di tengah kegelapan, Kenzo tiba-tiba melihat cahaya kecil yang bergerak, tidak jauh dari situ. Dengan hati-hati, ia mendekati cahaya itu.
“Siapa di sana?” teriak Kenzo, suaranya sedikit gemetar, meski ia mencoba bersikap percaya diri, seperti karakter utama dalam film action.
Dari balik semak-semak, seorang gadis kecil muncul dengan gaun putih yang tampak agak usang dan rambut hitam panjang yang bersinar di kegelapan.
“Aku Lila,” kata gadis itu, seolah tidak merasa aneh dengan situasi ini. “Penjaga Cahaya. Apa yang kau cari di sini?”
Kenzo, yang mulai merasa sedang berada di dalam sebuah cerita horor, menjawab, “Kunang-kunang. Aku ingin tahu apakah mereka masih ada.”
Lila tersenyum misterius, yang rasanya lebih mirip senyuman setan daripada senyuman seorang anak. “Mereka ada, tapi ini mungkin malam terakhir mereka,” jawabnya.
Kenzo, yang tak terlalu memahami apa yang dimaksud, mengangguk, dan Lila pun melanjutkan, “Kunang-kunang hampir punah karena kota ini terlalu terang. Semua orang menghabiskan malam mereka dengan layar ponsel atau duduk di depan TV. Jadi mereka kehilangan jalan pulang.”
“Bagaimana kalau kita mematikan listrik?” Kenzo bertanya, seolah itu adalah hal biasa yang bisa dilakukan hanya dengan menekan tombol.
“Kalau kau mematikan listrik di kota, mereka akan kembali,” jawab Lila tanpa ragu.
Kenzo terdiam. Mematikan listrik di Mega Lumina? Itu jelas terdengar seperti rencana bunuh diri massal. Tapi kemudian ia memikirkan sebuah hal yang mungkin lebih mengerikan—listrik di kota ini jauh lebih penting daripada keberadaan manusia itu sendiri.
Akhirnya, mereka berjalan menuju pusat kontrol listrik kota. Sesampainya di sana, Kenzo dengan gagah berani menekan tombol besar bertuliskan “Matikan.”
Beberapa detik kemudian, dunia di sekitar Kenzo berubah. Mega Lumina, yang biasa dipenuhi cahaya terang benderang, tiba-tiba tergelap. Semua lampu neon, layar iklan, dan papan digital mati seketika. Kota yang biasanya berisik kini terbenam dalam keheningan.
Kenzo dan Lila berlari ke danau di tengah hutan. Ribuan kunang-kunang mulai terbang, bercahaya di udara seperti bintang-bintang yang jatuh. Kenzo merasa terharu, tetapi dalam hati, ia juga bertanya: “Apakah ini semua hanya fantasi?”
Saat fajar menyingsing dan listrik kembali menyala, kenyataan kembali menggigit. Mega Lumina, kota yang tidak pernah tidur, segera hidup kembali, tanpa menyadari keajaiban kecil yang telah terjadi.
Kenzo duduk di jendela apartemennya, menatap langit yang telah dipenuhi dengan cahaya bintang-bintang—atau mungkin itu hanya refleksi dari layar ponselnya yang baru saja menyala. Tiba-tiba, seekor kunang-kunang terbang ke dekat jendela.
Namun, ketika Kenzo membuka jendela, yang ia temui bukan hanya kunang-kunang—tapi Lila, gadis kecil itu, berdiri dengan senyuman yang jauh lebih misterius dari sebelumnya. “Aku hanya ingin mengingatkanmu, Kenzo,” katanya pelan, “Kunang-kunang adalah kuku hantu. Dan mereka, seperti kita, tak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya bersembunyi dalam kegelapan sampai akhirnya kau mematikannya.”
Kenzo terdiam, menyadari bahwa mungkin tidak ada yang benar-benar hilang—hanya saja ia tidak pernah melihat dengan mata yang tepat. Ia tertawa miris. Sepertinya, ia tidak hanya mematikan listrik. Ia juga mematikan seluruh dunia yang terlalu terang untuk melihat yang seharusnya dilihat.
Tentang Penulis:
Aan Kunchay, seorang jurnalis di Kabupaten Lahat.