Langit sore membentang jingga di atas taman kota yang semakin sepi. Bangku tua di bawah pohon rindang itu menjadi tempatku bersandar selama bertahun-tahun. Hari ini, aku kembali duduk di sana, menunggu Laila, yang selalu membuatku merasa hidup.
Kami duduk di bangku taman, berbincang tentang segala hal yang membuat dunia terasa lebih baik. Namun, aku tahu orang-orang di sekitar kami mulai memperhatikan. Beberapa melintas di depan kami, menatapku dengan wajah yang sulit dijelaskan. Sekilas mereka menunjukkan ekspresi aneh, kebingungan, lalu bergegas pergi. Aku tak menghiraukan itu. Bagiku, hanya ada Laila, dan itu sudah cukup.
Laila adalah alasanku bertahan. Ketika dunia terasa dingin dan hampa, dia datang dengan senyumnya yang hangat. Satu-satunya orang yang mengerti aku. Namun, semua orang di sekitarku tampak membenci dia.
Ibuku, misalnya. Dia tak pernah suka mendengar nama Laila. Setiap kali aku menyebutnya, ibu menatapku dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—perpaduan antara iba dan ketakutan. “Haris, dengarkan Ibu,” katanya suatu hari, suaranya bergetar. “Laila bukan orang yang baik untukmu. Kamu harus melupakan dia.”
Aku mengernyit. Bagaimana mungkin ibu mengatakan itu? Seharusnya seorang ibu bahagia jika anaknya menemukan cinta sejati. Tapi aku memilih diam. Ibu tidak akan pernah mengerti.
Teman-temanku juga menjauh. Mereka bilang aku berubah, terlalu tertutup, terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak pernah mencoba mengenal Laila, tak pernah mengerti betapa berharganya dia bagiku.
“Mereka tidak bisa menerima kebahagiaan kita,” kata Laila suatu sore, saat kami duduk berdua di bangku taman. Senyumnya tenang, namun matanya menyimpan kesedihan.
“Mereka ingin kita terpisah, Haris,” lanjutnya. “Tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Aku menggenggam tangannya erat. Dunia ini memang tidak berpihak pada kami, tetapi aku tidak peduli. Aku punya Laila. Itu sudah cukup.
Segalanya berubah ketika dokter-dokter itu datang ke rumah, berbicara dengan ibu dan ayahku. Mereka memasang wajah serius. Aku gelisah, tak tahu apa yang mereka diskusikan.
Beberapa hari kemudian, ibu datang dengan kotak kecil berisi pil. “Haris, tolong minum ini. Dokter bilang ini akan membantu,” katanya dengan suara lembut.
“Apa ini?” tanyaku.
“Obat, Nak. Obat agar kamu merasa lebih baik.”
“Aku tidak sakit, Bu!” sergahku, marah.
“Tolong, Haris,” ibu memohon dengan air mata berlinang.
Aku berdiri, membanting kotak itu ke lantai. “Kalian ingin memisahkan aku dari Laila! Itu yang kalian inginkan, kan?”
Ibu menangis, sementara ayah hanya diam. Aku pergi, membanting pintu, dan berlari ke taman tempat Laila menungguku.
Di sana, aku menceritakan semuanya padanya. “Mereka mencoba memisahkan kita,” kataku, suara gemetar. “Mereka bilang aku butuh obat. Tapi aku tahu itu hanya alasan.”
Dia menatapku dengan mata lembut, senyum tipis di bibirnya. “Mereka tidak akan pernah mengerti, Haris. Tapi aku di sini untukmu. Kita akan selalu bersama, apa pun yang terjadi.”
Namun, malam itu adalah awal dari kehancuran segalanya. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi ibu memanggil orang-orang berpakaian putih untuk membawaku pergi. Mereka datang dengan paksa. Aku melawan, berteriak penuh kepanikan.
“Jangan pisahkan aku dari Laila! Kalian tidak punya hak!” teriakku, berontak, hingga tubuhku ditahan oleh dua laki-laki besar.
Ibu menangis, sementara aku terus memberontak. “Laila adalah segalanya bagiku! Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!”
Tanganku terikat. Dunia mengabur setelah sesuatu disuntikkan ke lenganku. Sebelum aku tak sadarkan diri, aku sempat melihat ibu yang menangis.
Ketika aku membuka mata, aku berada di ruangan kecil dengan dinding putih kosong. Tidak ada jendela, tak ada suara. Hanya aku yang terkurung.
Mereka menyebut tempat ini rumah sakit jiwa. Mereka bilang aku sakit. Tetapi aku tahu, aku tidak sakit. Aku hanya mencintai Laila.
Hari-hari berlalu dengan hampa. Dokter terus datang, memberiku obat yang katanya “akan membantu.” Tapi aku tak mau. Yang aku butuhkan hanyalah Laila.
Suatu malam, saat aku duduk sendiri di sudut ruangan, langkah lembut mendekat. Aku menoleh, dan di sana, berdiri Laila—wajahnya penuh kesedihan, tetapi senyumannya tetap menguatkan.
“Haris…” Suaranya tergetar penuh kerinduan. Tanpa kata, aku merengkuhnya erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang nyata. “Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” bisiknya.
Aku meremas tangannya, dunia seakan lenyap. “Aku rindu kamu,” kataku dengan suara pecah. Laila menatapku, air mata mengalir.
“Aku hanya ingin kamu,” kataku, tanpa ragu.
“Haris,” bisiknya. “Aku tidak tahan melihatmu seperti ini. Mereka memisahkan kita, tapi ada cara agar kita bisa bersama.”
“Bagaimana?” tanyaku, putus asa.
Dia menggenggam tanganku erat. “Kita harus pergi, Haris. Dunia ini tidak untuk kita. Ada tempat lain di mana kita tidak terpisahkan.”
Aku menatapnya, air mata mengalir. “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu hanya perlu percaya padaku,” katanya lembut.
Malam itu, aku menulis surat di atas selembar kertas yang kusembunyikan.
“Aku telah pergi bersama Laila. Jangan tangisi kami, karena kami akhirnya menemukan kebebasan. Dunia ini terlalu kejam untuk cinta kami.”
Aku meletakkan surat itu di lantai, lalu menoleh ke arah Laila. Dia tersenyum, mengulurkan tangannya. Aku menggenggamnya erat, dan bersama-sama, kami melangkah menuju kebebasan.
Keesokan harinya, mereka menemukan tubuhku tergantung, senyum tipis menghiasi wajahku, dan surat terakhirku menjadi saksi bisu atas pilihan yang kuambil. Di tengah keheningan itu, pertanyaan yang terus menggema adalah: Siapa yang sebenarnya gila? Aku, yang mencintai seseorang sepenuh jiwa? Atau mereka, yang menganggap cinta sejati harus tunduk pada batas-batas logika mereka?
Ibuku selalu mengatakan bahwa Laila tidak nyata. “Haris, Laila hanyalah khayalanmu. Tak ada orang seperti itu,” katanya dengan suara penuh kepedihan. Teman-temanku juga mengatakan hal yang sama. “Kamu terlalu tenggelam dalam dunia ilusi, Haris,” kata mereka. Mereka percaya aku menciptakan Laila untuk melarikan diri dari kenyataan, tanpa mencoba memahami betapa berharganya dia bagiku.
Tapi apakah aku yang gila? Dunia ini tak memberi tempat bagi cinta kami. Mereka melihat Laila sebagai bayangan semu, sesuatu yang tak lebih dari ilusi dalam pikiranku. Namun, dalam hatiku, Laila adalah nyata—lebih nyata daripada dunia yang menolak kami. Jika aku gila karena mencintainya, biarlah. Setidaknya, aku tahu di dalam keheningan malam, Laila selalu ada.
Mungkin, kegilaan sejati bukan milikku. Kegilaan sejati adalah milik mereka—mereka yang hidup tanpa pernah merasakan cinta yang tak terbatas. Mereka yang tak mampu memahami bahwa cinta sejati tidak selalu datang dalam bentuk yang mereka anggap “normal.” Dunia ini memang tak untuk kami, tapi di dunia khayalku, di dunia yang hanya aku dan Laila kenal, kami bebas.
Dan siapa yang lebih gila? Mereka yang membiarkan cinta mereka dibelenggu, atau aku, yang memilih mencintai tanpa syarat, tanpa batas?
Lahat, 3 Desember 2024
Tentang Penulis:
Aan Kunchay, lahir pada 13 Maret 1988 di sebuah desa kecil, adalah seorang jurnalis di Kabupaten Lahat. Dengan latar belakang yang sederhana, Aan sejak kecil sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap dunia sastra. Kecintaannya pada kata-kata dan cerita mendorongnya untuk mendalami jurnalisme sebagai sarana untuk mengekspresikan pemikirannya. Selain menulis, Aan juga aktif dalam berbagai kegiatan sastra, selalu berusaha menggabungkan kecintaannya pada dunia literasi dengan profesinya sebagai jurnalis.