FRAGMEN
Kerinduan ini
Begitu menghampai nafasku,
Betapa nestapa cakrawala batin ini.
Aku bahkan pernah berpikir,
Biarlah aku menjadi dinding-dinding kamarmu
Agar aku puas menatap wajahmu yang lelah dan luka
Supaya kerinduan ini benar-benar terobati.
Kadang pula aku berpikir
Begitu bodohnya bila aku
Harus menanggung rindu
Atau mungkin aku sedang belajar pintar
Layaknya Khahlil Gibran, Shakespear
Atau Khairil Anwar
Yang menjadikan kata
Sebagai kekuatan hidup.
Oh… bianglala….
Sudikah dirimu menjelma sebagai jembatan?
Yang menghantarkan kegalauan hati keharibaannya?
Dan kemudian aku rengkuh dia
Dalam segenap sendiriku.
Lahat, 21 Desember 2005
—
CATATAN KAKI: TENTANG **#
Aku berharap kau menjadi
Harpa bagi laguku
Mengalun lembut
Membelai jiwaku.
Akupun berharap kau menjadi
Gamelan dalam tarianku
Gemulai mengiring
Langkah-langkah nafasku.
Tetapi harpa yang kau petik
Dan gamelan yang kau tabuh
Adalah badai bagi hidupku
Menjadikan lunglai
Jemariku menggandengmu
Bahkan sekuat hati
Membendung tangis
Air matapun menderai jatuh.
Apakah kemudian perihku
Adalah bahtera bagiku
Mengarungi samudra nan membentangn
Yang mengantarku ke tepian harapan?
-catatan ini lalu aku simpan dalam sepiku-
Lahat, awal Mei 2015
—
CATATAN KAKI:
Senja
Kecapi yang ku petik
Belum usai mengiringi tembangmu
Tapi aku terlanjur tiada.
Jangan saja nadamu
Kemudian sumbang
Karena geguritan harus dituntaskan.
Benih yang kutanam
Belum sudah tumbuh tunas
Tapi aku terlanjur tak ada
Jangan saja tangkaimu menjadi lunglai
Karena kuncup harus menjadi bunga.
Supaya kelak
Ketika kau berziarah
Cukup taburkan kembang
Di pusara hatimu.
Muaraenim, 15 Juni 2015
—
CATATAN KAKI:
Tentang …?
Kekasih
Untuk apa kita membangun
Monumen di dada kita
Sementara hati kita
Tak pernah bisa menjadi pondasi.
Bahkan bangunan pasir pantai
Yang kita ukir
Lebih tajam ceritanya
Ketimbang peran yang kita pilih.
Kita telah kehilangan peran di rumah kita sendiri
Tempat kita membangun kasih sayang
Beratap kejujuran
Dan berlantai saling percaya.
Di sana
Tak ada pintu
Tempat kita saling membuka diri
Untuk memberi dan menerima
Tak ada jendela
Tempat kita saling menyapa dan mengingat.
Hanya sebidang dinding kusam
Tempat setan, jin, roh gentayangan bersemayam
Menjelma di setiap kata-kata.
Lahat, 7 Maret 2016
—
NOTASI PERJALANAN
(tentang sebuah asmara)
Aku bawakan untukmu
Kembang setaman
Dan sepenuh harapan
Agar asmara ini
Segera diresmikan.
Namun kau memintaku
Kembang tujuh rupa
Setetes darah dan sedikit kemenyan
Segenggam beras kuning
Dan beberapa keping uang recehan.
Kau siasati aku
Bukan dengan kata-kata
Jampi-jampi mantra dan seteguk air putih
Sudah cukup membuatku lupa.
……….
……….
(dan kemudian
Kubiarkan airmata
Mengalir bersama kembang kamboja)
Lahat, 5 April 2017
—
HAND
(Ketika melati menjadi ungu)
Aku bahkan tidak bisa bersyair
Tetapi air mata membimbingku menemukan diksi.
Ketika aku hanya memagut angin
Namun desahanmu lenguhan sapi jantan
Mencabik-cabik segala rasa
Malam sepi berbalas sunyi.
Ada segelas soda membeku
Kita bahkan tak bergerak
Hanya hembus nafas dan detak jantung
Pertanda masih hidup
Aku berbicara padamu
Saat punggungmu menjadi
Balok sandaran rapuh
Kala gagak memorakporandakan hidup
aku umpat diriku sendiri
Namun dirimu adalah kenari terindah
Yang hinggap dihatiku.
Satu bait puisi mengalir dari bibirmu
Membasuh malam yang berkabut
Ranjangku bagai dunia kiamat
Menjadi buram
Dan pudar
Jadilah aku cerita ditelan malam.
Lahat, 12 Agustus 2023
—
Fenn
(Kenanga Dipelupuk Mata)
Aku melihat wajahmu yang lembut dan harum
Ada puisi
syair, gurindam dan Soneta
Ketika tengah malam
Ada ranting menusuk rembulan
Lenguhan mu adalah desahan angin yang membelai dedaunan
Dingin menusuk batang-batang rindu
Aku mengaduh
Menahan rasa yang dibelenggu asmara
Dada berdegup
Relung-relung hati yang terhampar luas tak bertepi
Penuh sesak oleh rindu
Ada kembang kenanga di pelupuk mata
Semerbak wangi menghiasi dinding-dinding hati.
Ada teduh….
Ketika tatapan mata terbenam ke syaraf – syaraf retina
Aku damai oleh Nina boboknya.
Lahat, 24022024
—
CATATAN KAKI: DESPEDIDA
Layulah kembang-kembang yang tumbuh di alismu
Bulan luruh
Membias pada bening air mata
Memahat deras halus pipiku
Seulas senyum yang kau simpan
Aku balas isak tangis yang tiada berujung
Mendung gelap mengantar kepergianmu
Berlabuh
Dibawah tumpukan kamboja kering
Hingga aku tak tahu disudut manakah
Harus aku tanam kepedihan ini
Pengap
Terasa dada ingin meledak
Menumpahkan segala rasa
Segala ayat suci aku rapal
Berharap menjadi bekal.
Tidak…
Bukan itu sebenarnya kalimat yang bergemuruh di dadaku
Tetapi aku ingin kau berkisah tentang peluhmu
Ketika pulang dari sawah
Secangkir kopi dan ubi rebus
Teman bertutur siang hari
Dan kau berkisah tentang padi yang menguning
Punggungmu menghitam legam karena panas mentari
Aku tulis cerita itu di buku harianku
Agar kelak anak cucu kita bisa belajar.
Dan….
Matilah kupu-kupu yang hinggap di keningmu
Kutabur kamboja warna jingga
Di pusaramu
Senja melukiskan pikiranku
Sejarahmu aku simpan di catatan kakiku
Yang penuh dengan air mata.
Lahat 19 April 2024
Tentang penulis:
Pindah ke Lahat tahun 2001, dan menetap di Lahat sampai dengan sekarang.
Pernikahannya dengan Sukatmi (almarhumah) dikarunia dua orang anak, : Intan Natria Aurumsari (FIS UNY jurusan Ilmu Sejarah) dan M,. Syarif Sirajuddin Abbas, (Santri Ponpes Darussalam Keban Senabing, kelas 4)
Aktif di Muhammadiyah Lahat sebagai anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik periode 2023-2028.
Pekerjaan: wirausaha.
Kegiatan lainnya, terakhir sebagai ketua PPK Merapi Barat, pada pemilu kepala daerah tahun 2024.
Beberapa karya puisinya terutama periode 1994-1998, dimuat di Majalah Pelajar Kuntum Yogyakarta.