Jejak Sunyi di Bulan Cahaya
Ramadhan datang seperti langit membuka jubahnya
bulan sabit menggantung di cakrawala
seperti perahu yang membawa riwayat lama
jejak langkah Ibrahim di lembah sunyi
ketundukan Ismail pada takdir yang suci
Dari Bilal yang suaranya menggetarkan batu-batu
hingga luka-luka di tubuh Yasir dan Sumayyah
puasa adalah nyala di antara bara
api yang tak membakar
tetapi menerangi jalan gulita
Dulu, di gua sunyi seorang kekasih-Nya
waktu meluruh dalam hening tak bertepi
–wahyu turun sejernih sungai
membasuh dahaga manusia
memaknakan lapar yang sebenarnya
Lapar bukan hanya perih yang menggigit lambung
tetapi rindu yang menahan gejolak dunia
seperti Musa yang berpuasa empat puluh hari
menanti cahaya di puncak bukit Sinai
seperti Maryam yang menahan suara
hingga Isa lahir membawa damai
Dan kita, yang berpuasa di kota yang riuh
di antara pasar yang tak pernah sepi
di antara jari-jari yang terus menghitung laba
mampukah kita menangkap sunyi itu?
Mendengar bisikan malam yang bersujud dalam sujud?
Ramadhan bukan hanya hitungan hari
tetapi jejak yang meninggalkan cahaya
bak purnama yang menyinari lorong-lorong jiwa
agar selepas ia pergi
kita tetaplah fajar yang baru
Di Ambang Gerbang Ramadhan
Di ambang gerbang Ramadhan
aku mengetuk sunyi
menyeret bayang-bayangku yang letih
apakah pintu itu masih terbuka bagiku,
yang langkahnya tertatih oleh debu masa lalu?
Aku datang dengan tangan berlumur senja
jejak dosa yang panjang seperti bayang-bayang
kekelaman yang tak bisa kupeluk
namun juga tak bisa kutinggalkan
Malam-malamku penuh gemetar
mengingat doa-doa yang tak sampai ke langit
raungan rindu yang tersesat di sela gigi
seperti burung yang lupa cara pulang
Apakah Ramadhan masih mengenalku
atau aku hanya tamu yang terlambat datang
duduk di pelataran ampunan
dengan dada yang tak lagi sanggup menangis?
aku bertanya pada angin sahur
pada sunyi yang menjelma muazin
“Masihkah ada cahaya bagi yang remuk?
Masihkah ada jalan bagi yang tersesat?”
Lalu kutemukan jawabnya di gemuruh takbir
di lembutnya fajar yang tak pernah menolak malam
seperti rahmat yang tak pernah letih
seperti Allah yang tak pernah pergi
Di Lembah Badar, Angin Membawa Doa
di lembah sunyi, angin membawa doa
tiga ratus tiga belas wajah bersujud pada pasir
mereka adalah cahaya yang ditiupkan langit
di dada yang hanya mengenal satu nama
malam sebelum perang, langit berbicara dalam bisikan
bulan membelah dirinya di antara pedang dan bintang
sementara di kejauhan, seribu bayangan berkuda
merasa telah menggenggam kemenangan
mereka bukan prajurit yang tumbuh dari baja
hanya para lelaki dengan tangan yang berdoa
hanya mata yang menunggu isyarat angin
di pagi yang menguji keyakinan
lalu debu dan cahaya beradu di udara
pedang tak lebih tajam dari janji-Nya
dan langkah-langkah kecil menjadi gema
yang mengguncang bumi hingga ke sudutnya
perang usai
di antara tubuh-tubuh yang diam
ada sesuatu yang lebih hidup dari kematian:
keimanan yang tak bisa ditebas pedang
dan di atas semuanya
ada tangan tak terlihat yang memeluk sejarah
menuliskan kisah tentang mereka yang sedikit
tetapi tak pernah sendiri
Jejak yang Tak Meninggalkan Luka
di batas fajar yang merunduk
langit tak menuliskan dendam
hanya bayang-bayang sepuluh ribu cahaya
yang melangkah tanpa mengusik debu
makkah menanti dalam gemetar tak bersuara
seperti seorang tua yang baru mengerti
bahwa luka yang ia goreskan di masa silam
telah dijahit oleh tangan yang tak membalas
tak ada pedang yang menagih darah
tak ada amarah yang melebihi keadilan
hanya tangan yang terangkat dalam sunyi
hanya doa yang membelah keangkuhan
berhala-berhala jatuh seperti bayang-bayang
bukan dihancurkan
tetapi ditiadakan oleh cahaya yang datang
seperti malam yang menyerah pada pagi
dan di tengah kota yang takluk oleh kasih
seorang manusia berdiri tanpa mahkota
mengampuni mereka yang dulu melukainya
seperti samudra yang tak pernah menolak sungai
maka hari itu, tak ada yang kalah
tak ada yang menang
hanya rahmat yang turun tanpa batas
hanya cinta yang tak menggoreskan luka
Malam yang Dibelah Cahaya
di hening yang tak bersuara
di gua yang menyimpan sunyi paling tua
seorang manusia duduk memeluk malam
menimbang langit di dalam dada.
gunung-gunung bersaksi
angin menggigil di antara bebatuan
langit menahan napasnya sendiri
menanti cahaya yang akan turun
lalu ia datang
tanpa suara langkah, tanpa bayangan
memeluk manusia itu dengan rahasia langit
dan bumi pun bergetar oleh sebuah kata:
Iqra’
bacalah—bukan dengan mata
tetapi dengan hati yang bersujud
dengan tangan yang menggenggam takdir
dengan nafas yang dititipkan Tuhan
malam pecah, bukan oleh pedang
tetapi oleh cahaya yang tak bisa padam
oleh huruf-huruf yang menetes dari langit
menjadi sungai yang mengalir ke segala zaman
dan manusia itu, yang dahulu sunyi
kini memikul cahaya di punggungnya
melangkah ke dunia yang buta
membawa firman yang tak akan sirna
sejak malam itu
tak ada yang lebih terang dari kata
tak ada yang lebih kuat dari cinta
tak ada yang lebih kekal dari kebenaran
Lahat, 1446 H
Tentang Penulis:
Aan Kunchay
Jurnalis di Kabupaten Lahat