Oleh: Aan Kunchay
Ramadhan bukan sekadar bulan yang disucikan karena ibadah puasa, melainkan juga menjadi saksi dari banyak peristiwa besar yang mengubah jalannya sejarah. Salah satu yang paling monumental adalah Fathul Makkah, peristiwa pembebasan Kota Makkah oleh Rasulullah SAW pada 10 Ramadhan tahun 8 Hijriah. Ini bukan sekadar ekspansi wilayah atau kemenangan militer, tetapi sebuah episode agung yang menampilkan esensi kepemimpinan sejati: kebijaksanaan, kasih sayang, dan keadilan.
Di tengah pusaran sejarah, kepemimpinan selalu menjadi faktor utama dalam menentukan arah perjalanan sebuah bangsa. Seorang pemimpin bukan hanya mereka yang memiliki kekuatan, tetapi yang mampu menyatukan, mendamaikan, dan memberikan solusi tanpa menanamkan dendam. Rasulullah SAW, dalam Fathul Makkah, menampilkan kepemimpinan yang bukan hanya berbasis strategi perang, tetapi lebih jauh dari itu: kepemimpinan yang berlandaskan kebijaksanaan dan hati yang luas.
Bayangkan, setelah bertahun-tahun kaum Muslimin dianiaya, diusir, dan diperlakukan dengan kezaliman oleh penduduk Quraisy, Rasulullah SAW justru masuk ke kota itu dengan penuh kelembutan. Tidak ada pembantaian, tidak ada dendam yang dilampiaskan, tidak ada hukuman bagi mereka yang dulu menjadi musuhnya. Sebaliknya, Rasulullah SAW mengucapkan kalimat yang mengguncang kesadaran dunia:
“Pergilah kalian! Kalian semua bebas!”
Inilah titik paling luhur dalam sejarah kepemimpinan. Sebuah kemenangan sejati bukan terletak pada jumlah musuh yang ditundukkan, tetapi pada seberapa banyak hati yang dimenangkan. Rasulullah SAW tidak sekadar menaklukkan Kota Makkah, tetapi beliau menaklukkan jiwa-jiwa yang selama ini diliputi kebencian.
Korelasi dengan Kepemimpinan Saat Ini
Dalam kehidupan modern, kita sering melihat kepemimpinan sebagai ajang adu kekuatan, pertarungan politik, dan perebutan kursi kekuasaan. Banyak pemimpin yang berpikir bahwa kejayaan terletak pada dominasi dan penaklukan, bukan pada kebijaksanaan dan pengayoman.
Padahal, Fathul Makkah mengajarkan kepada kita bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang menundukkan lawan, tetapi tentang merangkul dan menyatukan. Seorang pemimpin yang hanya mengandalkan kekuatan fisik tanpa kelembutan hati, cepat atau lambat akan kehilangan kepercayaan rakyatnya. Tetapi pemimpin yang hadir dengan ketulusan, kesabaran, dan kebijaksanaan akan tetap hidup dalam hati rakyat, bahkan ketika fisiknya telah tiada.
Kita bisa melihat contoh di sekitar kita—bagaimana pemimpin yang zalim, penuh kebencian, dan hanya memikirkan kekuasaan akhirnya tumbang karena ditinggalkan oleh rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan tetap dikenang dan didoakan dalam kebaikan.
Hikmah yang Bisa Dipetik
1. Kemenangan Sejati adalah Menaklukkan Hati
Rasulullah SAW tidak menghancurkan Makkah, tetapi justru membebaskannya dengan kedamaian. Dalam kepemimpinan, keberhasilan bukan hanya tentang meraih jabatan, tetapi tentang bagaimana seorang pemimpin bisa menyentuh hati rakyatnya dengan keadilan dan kasih sayang.
2. Memaafkan Lebih Tinggi daripada Membalas Dendam
Sejarah telah membuktikan, balas dendam hanya akan melahirkan dendam baru. Rasulullah SAW memilih jalan maaf, dan justru itulah yang membuat Islam semakin kuat di hati manusia. Seorang pemimpin sejati harus mampu mengendalikan emosinya dan mengutamakan kemaslahatan umat.
3. Kepemimpinan adalah Amanah, Bukan Keistimewaan
Rasulullah SAW masuk ke Makkah bukan untuk membanggakan diri atau menuntut balas, tetapi untuk membawa keadilan dan rahmat bagi seluruh manusia. Seorang pemimpin bukanlah penguasa yang harus dilayani, tetapi pelayan bagi rakyatnya.
4. Kejayaan akan Kembali kepada Mereka yang Bersabar
Meskipun bertahun-tahun mengalami penderitaan, Rasulullah SAW dan para sahabatnya tetap bersabar dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Kemenangan datang pada saat yang tepat, di saat kebijaksanaan lebih dikedepankan daripada emosi sesaat.
Penutup
Sebagai jurnalis, saya melihat bahwa nilai-nilai Fathul Makkah seharusnya menjadi pedoman bagi siapa saja yang mengemban amanah kepemimpinan. Keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan adalah pilar utama yang akan membuat seorang pemimpin dicintai dan dikenang.
Di tengah hiruk-pikuk politik dan kepemimpinan yang sering kali diwarnai oleh kepentingan pribadi, Fathul Makkah mengajarkan bahwa kemuliaan sejati tidak terletak pada kekuatan atau kekuasaan, tetapi pada keikhlasan untuk mengayomi dan menyatukan.
Sejarah akan selalu berpihak pada mereka yang menebar kebaikan. Dan kepemimpinan yang sejati adalah kepemimpinan yang membawa kesejahteraan bagi umat, bukan sekadar kemenangan bagi diri sendiri.
Wallahu a’lam.
Lahat, 8 Maret 2025
Penulis: Aan Kunchay, jurnalis di Kabupaten Lahat, seorang pria yang suka berbuka dengan yang manis-manis.